Putra ketiga Sanghyang Bunisora Suradipati yang bernama Dewi Banowati atau Dewi Mayangsari dikatakan banyak keterangan yang beredar kemudian menjadi ratu di Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) yang pada saat itu berkedudukan di Kerajaan Galuh dengan ibukotanya di Kawali dengan istananya bernama Surawisesa.
Dengan kedudukannya sebagai ratu, Dewi Banowati dengan kata lain orang yang sama dengan Dewi Mayangsari. Dan dalam sumber-sumber Sejarah, Dewi Mayangsari dengan sangat jelas dan meyakinkan telah menjadi isteri dari sepupunya sendiri yang menjadi raja di Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu), yakni Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa yang naik tahta menggantikan pamannya Sanghyang Bunisora Suradipati.
Selain menikahi Dewi Banowati atau Dewi Mayangsari putra Prabu Bunisora Suradipati, Prabu Niskala Wastu Kancana memang memiliki isteri yang lain; yakni Dewi Ratna Sarkati putri Susuk Lampung. Khusus mengenai keturunan Prabu Niskala Wastu Kancana dari Dewi Ratna Sarkati kita bahas lebih khusus dalam titik tekan putra Prabu Niskala Wastu Kancana secara umum dan khususnya putra dari Dewi Ratna Sarkati pada lain kesempatan.
Adapun putra Dewi Banowati atau Dewi Mayangsari dengan Prabu Niskala Wastu Kancana dikaruniai empat orang anak, yakni: Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Ki Gedeng Sindang Kasih, Surawijaya Sakti atau Ki Gedeng Singapura, dan Ki Gedeng Tapa.
Prabu Dewa Niskala
Pertama, Ningrat Kancana atau Dewa Niskala yang menjadi raja di Kerajaan Galuh. Kedudukan Prabu Dewa Niskala tersebut hanya berkuasa secara terbatas di atas tahta Kerajaan Galuh yang membentang dari bagian Timur Ci Tarum hingga bagian Barat Ci Pamali (Jawa: Kali Pemali).
Sementara di kawasan sebelah Barat dari Kerajaan Galuh, berdiri Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan atau Prabu Dewatmaka, saudara satu ayah dari Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana itu sendiri namun berbeda ibu (putra Prabu Niskala Wastu Kancana dan Dewi Ratna Sarkati putri Susuk Lampung).
Kerajaan Sunda yang menjadi wilayah kekuasaan Prabu Dewatmaka membentang luas dari bagian Barat Ci Tarum hingga bagian Timur dari Selat Sunda; atau bahkan sesungguhnya masih meliputi bagian Selatan dari Pulau Sumatra, yakni kawasan Lampung pada saat ini.
Selat Sunda adalah jalur penting perniagaan yang dapat menghubungkan Pulau Sumatra di Barat-Laut dan Pulau Jawa di Timur. Dan dengan kemampuan dalam mengarungi lautan yang baik, melalui Selat Sunda; jalur niaga dapat langsung berhubungan dengan Pulau Sri Langka dan pelabuhan-pelabuhan di Selatan anak Benua India, tanpa harus menempuh perjalanan yang jauh melalui celah di antara Semenanjung Malaya dan bagian Utara Pulau Sumatra. Demikian nilai strategis kawasan Selat Sunda dan pelabuhan-pelabuhan dagang di kawasan Teluk Lada, Teluk Banten, dan Sunda Kalapa bagi Kerajaan Sunda.
Di atas kekuasaan Prabu Dewa Niskala di Kerajaan Galuh dan Prabu Dewatmaka di Kerajaan Sunda, masih terdapat kekuasaan pusat yang dituakan yang memayungi dua buah administrasi kerajaan tersebut; laksana sebuah pemerintahan Federal (United) yang mengkoordinasikan unit-unit dari pemerintahan Negara Bagian (States atau Provinces).
Tugas pemerintahan Federal tersebut dipikul oleh orang tua dari mereka sendiri, yakni Maharaja Niskala Wastu Kancana yang berkuasa atas tahta Kerajaan Sunda dan sekaligus berkuasa atas tahta Kerajaan Galuh. Pusat pemerintahan Federal pada masa Maharaja Niskala Wastu Kancana tersebut berada di Kerajaan Galuh.
Penerus kekuasaan Federal atas Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) kemudian tidak dilanjutkan oleh salah-satu dari kedua anak Prabu Niskala Wastu Kancana tersebut, melainkan jatuh kepada Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata (Jayadewata) merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala dan sekaligus menantu dari Prabu Dewatmaka.
Pada masa kekuasaan Sri Baduga Maharaja, pusat pemerintahan Federal Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) berada di Kerajaan Sunda dengan ibukotanya bernama Pakuan Pajajaran dengan istananya bernama Sri Bima Punta Narayana Suradipati.
Adapun Dewa Niskala dikaruniai putra-putri dari beberapa isteri yang dinikahinya, yakni:
Putra-putri pasangan Prabu Dewa Niskala dengan Dewi Ratna Huma, yakni:
Pertama, Banyak Catra atau Aria Banyak Catra atau Aria Kamandaka atau Lutung Kasarung yang berkuasa di wilayah kerajaan daerah Pasir Luhur (Banyumas). Banyak Catra menikahi Dewi Ciptarasa putri Prabu Kandadaha yang berkuasa di kerajaan daerah Pasir Luhur. Dari pernikahan tersebut Banyak Catra mewarisi tradisi kekuasaan di Pasir Luhur.
Banyak Catra berputra Banyak Wirata. Banyak Wirata berputra Banyak Rama. Banyak Rama berputra Banyak Kesumba. Banyak Kesumba berputra Banyak Belanak. Banyak Belanak berputra Banyak Tole.
Dalam tradisi babad yang berkembang baik di Dayeuh Luhur maupun Pasir Luhur (Banyumas), keislaman kawasan tersebut terkait dengan dahwah Syeh Makdum Wali yang diutus oleh Sultan Demak. Orang yang pertama kali masuk Islam adalah raja daerah (Raja atau Adipati) Banyak Belanak. Setelah menjadi Muslim oleh Syeh Makdum Wali, Banyak Belanak menjadi Senapati Mangkubumi I pada masa Kesultanan Demak di bawah Sultan Trenggana.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Sultan yang tengah berkuasa adalah Sultan Trenggana sementara Syeh Makdum Ibrahim dalam babad adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim yang dikenal juga dengan nama Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel (Raden Rahmat atau Sayid Ahmad Rahmatillah putra Maulana Malik Ibrahim).
Dalam naskah Cirebon, Maulana Ibrahim adalah guru dari Nyai Lara Bedaya atau Rara Bedaya putra pasangan Nyai Aci Putih (Dewi Padmawati) dengan Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata). Sementara Nyai Aci Putih adalah putra Rara Ruda putra Ki Gedeng Kasmaya putra Bunisora Suradipati dengan Ki Dampu Awang. Dalam sebuah diskusi kecil di grup Bares Resi (Varman Institute) dikatakan oleh Prof. Hasan Djafar seorang Arkeolog dan Epigraf Senior bahwa “Dampu Awang mah rupina ti tradisi Malayu. Margi dina prasasti-prasasti bahasa Malayu Kuna mah sok disebat Dang Puhawang. Di tradisi Jawa mah aya sesebatan Juragan Dampu Awang.” (Dampu Awang sepertinya dari tradisi Malayu. Sebab dina prasasti-prasasti bahasa Malayu Kuna suka disebut Dang Puhawang. Dalam tradisi Jawa ada sebutan Jurgan Dampu Awang.)
Dampu Awang telah berkembang menjadi tradisi lisan yang merata di kawasan lintasan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, terutama pesisir Utara Pulau Jawa, pesisir Timur dan Barat Pulau Sumatra, dan pesisir Timur dan Barat Semenanjung Malya. Saya sendiri menduga, nama Ma He, Sam Bo (Sam Bao), Sam Po (Sam Pao), atau Cheng Ho (dialek lainnya Zheng He) tidak dikenal secara familiar dalam fonetik tradisi masyarakat Sunda.
Dampo Awang secara hipotesis bisa diduga adalah Ma Cheng He (Haji Mahmud Syamsyudin) itu sendiri. Nama Awang sebagai makna Pohawang atau Puhawang (Nakhoda atau Juru Mudi) berkembang setelah abad ke-16 M, karena dalam sebuah naskah Bujangga Manik istilah Pohawang masih digunakan dengan tepat. Bujangga Manik ketika menumpang dalam Kapal Malaka memberikan salam yang berbeda tidak sebagaimana seperti ketika di istana Pakuan (“Nama Siwayah”), yakni “Aiding Puhawang”.
Naskah tersebut semasa peristiwa yang dimaktubnya denga ketika Niskala Wastu Kancana berkuasa dan Haji Mahmud Syamsyudin melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali nyaris tanpa meninggalkan kunjungan ke Pulau Jawa sama sekali. Pada masa tersebut tentu saja Susuk Tunggal berkuasa di Barat dan Ningrat Kancana di Timur, sementara calon putra makhkota pelanjut kakeknya tengah leluasa untuk mengeksplorasi pengetahuan dan mengeksperimentasikan konsolidasi sosial kewilayahan.
Lara Bedaya kemungkinan setelah dititip untuk belajar agama di Campa, tentu akan kembali ke Lemah Putih di Cirebon atau ikut bersama rombongan Maulana Malik Ibrahim dan keluarga ke kawasan Jawa bagian Tengah dan sangat mungkin beranak-pinak dengan keluarga para wali keturunan Campa dan Malaka di sana (harus mengkorespondensikan dengan tradisi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta). Karena tidak ada suatu keterangan di kawasan Nanjing atau Beijing atau di Yunan (Kranjang) bahwa Cheng Ho memiliki keturunan kecuali dari keturunan adik dan kakaknya yang hingga saat ini masih ada sebagai komunitas Hui (China Muslim).
Kembali kepada Babad Pasir Luhur, maka setelah masa Banyak Belanak; kawasan Banyumas masuk Islam. Ketika Kesultanan Pajang berdiri, Banyak Galeh atau Wirankencana adik dari Banyak Belanak menjadi Senapati Mangkubumi II pada masa Sultan Hadiwijaya.
Kedua, Banyak Ngampar atau Gagak Ngampar atau Aria Banyak Ngampar atau Silih Warni yang berkuasa di kerajaan daerah Dayeuh Luhur (Cilacap). Banyak Ngampar menikahi Dewi Purwati atau Dewi Pringgisari adik dari Prabu Pulebalas yang merupakan penguasa daerah Dayeuh Luhur. Dari pernikahan tersebut selanjutnya Banyak Ngampar mewarisi tradisi kekuasaan di Dayeuh Luhur.
Banyak Ngampar berputra Candi Kuning yang bergelar Banyak Ngampar II dan Dewi Ratnasari atau Dewi Niken Rantamsari yang dinikahkan dengan putra Banyak Catra, yakni Banyak Wirata di Pasir Luhur. Candi Kuning berputra Candi Laras yang bergelar Banyak Ngampar III dan Dewi Niken Kurenta yang dinikahkan dengan Banyak Rama putra Banyak Wirata di Pasir Luhur. Di Pasir Luhur putra Dewi Niken Kurenta dan Banyak Rama yakni Banyak Belanak dan Banyak Galeh (Wirakencana) telah masuk Islam di bawah Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang.
Di Dayeuh Luhur, Candi Laras berputra Ki Hadeg Cisagu, Ki Hadeg Cibungur, dan Dewi Santang. Dewi Santang dinikahkan dengan Adipati Suratin dari Kadipaten Wirasaba dan sudah beragama Islam. Demikian juga kedua kakak Dewi Santang yakni Ki Hadeg Cisagu (pindah ke Sidareja) telah menjadi penyebar Islam. Putra Ki Hadeg Cisagu bernama Ki Arsagati. Sementara Ki Hadeg Ciluhur (pindah ke Majenang) juga telah menjadi penyebar Islam. Ki Hadeg Ciluhur berputra Ki Ranggasena. Kakak beradik Ki Hadeg Cisagu dan Ki Hadeg Ciluhur menjodohkan kedua putra-putrinya secara bersilang. Ki Arsagati menikahi putri perempuan Ki Hadeg Ciluhur, dan Ki Ranggasena menikahi putri Ki hadeg Cisagu (nama kedua anak perempuannya belum diperoleh datanya).
Garis kepemimpinan Dayeuh Luhur dipegang oleh Ki Hadeg Cisagu kemudian kepada putranya Ki Arsagati dan kemudian kepada putea Ki Arsagati yakni Ki Raksagati dan setrusnya. Pada masa Ki Arsagati dan Ki Raksagati Dayeuh Luhur telah masuk wilayah Mataram Islam. Sementara pada masa Ki Hadeg Cisagu dan Ki Hadeg Ciluhur telah menjadi sekutu dari Banyak Belanak dan Banyak Galeh dari Pasir Luhur dalam upaya penyebaran Islam untuk Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang.
Ketiga, Dewi Ratna Ayu Kirana atau Dewi Ratna Ayu Pamekas. Dewi Ratna Ayu Pamekas menikah dengan Aria Baribin atau Raden Aria Baribin Pandita Putra. Aria Baribin merupakan adik satu ayah beda ibu dari Bra Kertabumi yang baru saja melakukan suksesi kekuasaan di Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit terhadap Brawijaya IV (Suraprabawa). Kertabumi kemudian naik tahta menjadi Brawijaya V.
Kabarnya adanya peta persaingan antara Arya Baribin dan kakaknya Bra Kertabumi sehingga mengungsi ke kawasan Tatar Sunda. Namun demikian perlu diuji lebih baik lagi karena tampak kurang masuk akal sebagai argumentasi, yang masuk akal adalah mulai ada usaha penyatuan kekerabatan kembali (paska tragedi Palagan Bubat) antara trah Majapahit dan trah Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh) dalam hal ini diinisiasi oleh Kerajaan Galuh di bawah Prabu Dewa Niskala dan Prabu Bra Kertabumi di Kerajaan Majapahit melalui pernikahan adiknya Raden Aria Baribin dan Dewi Ratna Pamekas.
Oleh Prabu Dewa Niskala, Aria Baribin dinikahkan dengan Dewi Ratna Ayu Pamekas yang merupakan putrinya. Dewi Ratna Ayu Pamekas dan Aria Baribin kemudian menempati wilayah kerajaan daerah Wirasaba (Purbalingga). Pasangan Raden Aria Baribin dan Dewi Ratna Ayu Pamekas melahirkan keturunan yakni Raden Jaka Ketuhu berkuasa di Kadipaten Wirasaba, Raden Banyak Sasra tinggal di Kadipaten Pasirluhur, Raden Banyak Kumara berkuasa di Kadipaten Kaleng, dan Raden Ayu Ngaisah (logat Jawa untuk lughoh Arab: ‘Aisyah) tinggal di Banyumas.
Raden Jaka Ketuhu kemudian menjadi Adipati di Kadipaten Wirasaba (Purbalingga) dan dikenal dengan nama Adipati Anom Wirasaba atau Adipati Anom Wirautama atau Adipati Margautama. Raden Jaka Ketuhu atau Adipati Margautama I memiliki seorang putri yang dinikahi oleh Jaka Kahiman yang kemudian menjadi Adipati Margautama II (Raden Warga). Pada masa Adipati Margautama II, Kadipaten Wirasaba telah masuk Islam di bawah Kesultanan Demak.
Raden Banyak Sasra menikah dengan putri dari Banyak Galeh (Wirakencana atau Senopati Mangkubumi II di Pasir Luhur [Banyumas]) dan berputra Bagus Mangun atau Jaka Kahiman. Jaka Kahiman kemudian menjadi menantu Margautama I dan menggantikan jabatan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba bergelar Margautama II. Melalui Margautama II dan putri Margautama I, keturunan Raden Baribin (Wilwatukta) dan Dewi Ratna Ayu Pamekas (Sunda) dari Raden Jaka Ketuhu dan Banyak Sasra telah menjadi Muslim.
Sedangkan Rara Ngaisah atau Nyai Mranggi menikah dengan Ki Mranggi atau Ki Kejawar atau Ki Jaka Jawar tinggal di Kejawar. Rara Ngaisah dan Ki Mranggi mengangkat anak Jaka Kahiman atau Ki Bagus Mangun putra saudaranya Banyak Sasra. Pada saat akan menikahkan Jaka Kahiman, Banyak Kumara yang masih merupakan saudara Ngaisa membantu pembiayaan Jaka Kahiman pada saat dipulung mantu oleh saudara mereka yang pertama Jaka Ketuhu atau Margautama I. Nyai Rara Ngaisah dan juga Banyak Kumara atau Banyak Kusuma yang menjadi Adipati Kaleng (Kebumen) tampaknya tidak memiliki keturunan. Garis keturunan keluarga Raden Baribin kemudian diteruskan lewat garis Banyak Sasra dan putranya Jaka Kahiman yang menikah dengan putri Jaka Ketuhu.
Keempat, Aria Banyak Blabur atau Kusumalaya atau Ajar Kutamangu menikahi Ratu Simbarkancana putri Prabu Talaga Manggung atau Sunan Talaga Manggung. Melalui pernikahan tersebut Aria Banyak Blabur mewarsi tradisi kekuasaan di kerajaan daerah Talaga Manggung (Majalengka).
Putra pasangan Banyak Blabur dengan Simbarkancana lahir Sunan Parung. Sunan Parung memiliki putri bernama Ratu Parung. Ratu Parung kemudian dinikahi oleh Rangga Mantri putra Mundingsari Ageung putra Sri Baduga Maharaja putra Prabu Dewa Niskala. Melalui pernikahan dengan Rangga Mantri, Ratu Parung masuk agama Islam dan Kerajaan Talaga Manggung berubah dari agama Budha menjadi agama Islam. Rangga Mantri diberikan gelar oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati II sebagai Pucuk Umun Talaga atau disebut juga Pucuk Ulum Talaga.
Keturunan Banyak Blabur atau Ajar Kutamangu putra Prabu Dewa Niskala dari Dewi Ratna Huma dengan demikian diislamkan oleh Rangga Mantri putra Mundingsari Ageung putra Prabu Jayadewata putra Prabu Dewa Niskala dengan Dewi Uma atau Uma Dewi. Putra-Putra Prabu Dewa Niskala dengan isteri-isteri yang lainya akan dibahas pada tulisan selanjutnya untuk menghindari panjangnya tulisan.

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.