(3) CANDI
Seluruh kawasan, tempat, perkampungan, dan bangunan dimana pusat peribadatan Sanata Dharma dan Budha Dharma digunakan dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu; dan atau pun dalam bahasa-bahasa lainnya yang ada di Nusantara disebut dengan nama Candi. Istilah Candi tersebut cenderung berupa warisan arsitektural dari masa lalu, namun demikian seperti di Bali istilah Candi (selain Pura) mengalami kontinuitasnya yang aktif hingga hari ini.
Mengenai asal-usul istilah Candi itu sendiri, para ahli Sejarah kemudian mencoba untuk mencari menjelasan; dari manakah asal-usul kata Candi berasal dan apakah arti sesungguhnya dalam bahasa asalnya tersebut. Dalam hal ini, para ahli Sejarah umumnya hanya mengaitkan pada dua pendekatan dan dua kata yang ada. Pertama melalui pendekatan Sanata Dharma atau Hindu (dibaca: Sanata), dimana asal-usulnya berasal dari bahasa Sanskrit. Kedua, melalui pendekatan Budha Dharma atau Budha, dimana asal-usulnya berasal dari bahasa Pali.
Melalui pendekatan pertama, para ahli menghubungkan kata Candi dalam bahasa di Nusantara dengan kata Candi yang berasal dari bahasa Sanskrit Candi atau Candika. Dalam konteks tersebut Candi atau Candika adalah salah-satu nama dari Parvati, yakni isteri Shiva. Nama lain dari Parvati, selain Candi atau Candika adalah Sati, Durga, dan Kalika. Fokus perhatian kepada Dewi tersebut dalam Sanata Dharma mengindikasikan bahwa preferensi yang dijadikan rujukan adalah aliran agama dan puja terhadap Shakta yang artinya pemuja Shakti (Sunda: Sakti).
Sementara Sakti itu sendiri artinya kekuatan, yang dalam konteks keyakinan Sanata Dharma bahwa Sakti arti lugasnya adalah perempuan atau isteri yang dimiliki oleh seorang Dewa. Sementara Sakti yang diambil dalam konteks pengambilan nama Candi atau Candika adalah Saktinya Shiva. Selain adanya indikasi Shakta (puja Shakti), pengambilan nama tersebut menunjukkan kedekatannya dengan aliran Shaiva (puja Shiva). Candi dan Candika dalam konteks Parvati memiliki asosiasinya dengan kehidupa setelah kematian. Candi dan Candika kemudian bisa berasosiasi dengan monumen peringatan atas suatu kematian seseorang.
Melalu pendekatan kedua, para ahli menghubungkan kata Candi dalam bahasa-bahasa di Nusantara dengan kata kata Cedi yang berasal dalam bahasa Pali. Secara umum bahasa Pali dimasukkan oleh para ahli ke dalam rumpun bahasa Prakrit. Sehingg induk dari bahasa Pali adalah bahasa Prakrit, dimana dengan kata lain bahasa Pali adalah salah-satu tahap perkembangan lanjut dari bahasa Prakrit. Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk menulis kitab Weda (Sanskrit: Veda) dalam Sanata Dharma, maka bahasa yang digunakan untuk menulis kitab Tripitaka adalah bahasa Pali dari rumpun Prakrit. Para ahli bahasa secara umum memasukkan bahasa Sanskrit dan Prakrit ke dalam rumpun bahasa Indo-Arya.
Namun demikian saya melihatnya agak berlainan, berdasarkan bukti-bukti Egigrafi; kemunculan bahasa Prakrit mendahului kemunculan bahasa Sanskrit. Maka secara kasar dapat dikatakan bahwa bahasa Sanskrit bersumber dari bahasa Prakrit yang telah dimodifikasi berdasarkan suatu keperluan dan tahapan gramatika tertentu. Jika Sanskrit berakar dari bahasa Prakrit dan melahirkan suatu karakteristik tersendiri, maka Pali cenderung mempertahankan cita rasa bahasa Prakrit sebagaimana awal mulanya. Dan berbeda dengan Sanata Dharma yang menginduk kepada Sanskrit, maka Budha Dharma menginduk kepada bahasa Pali yang dengan kata lain bahasa Prakrit. Secara sederhana bahasa Prakrit adalah bahasa pasar, bahasa rakyat jelata, dan bahasa umum; ssmentara Sanskrit adalah bahasa cendekiawan, bahasa kaum bangsawan, dan bahasa istana.
Di dalam cita rasa bahasa Pali, Cedi mencakup makna antara lain tumpukan batu-batu yang tertata, bangunan yang tertata sebagai tempat peribadatan, atau dengan kata lain rumah ibadat berupa kuil yang diserap ke dalam bahasa Nusantara menjadi kata Candi. Jadi dalam pendekatan Budha Dharma, Candi sesungguhnya berasal dari Cedi yang berasal dari bahasa Pali. Dalam bahasa Sanskrit, Cedi disebut dengan kata Caitya. Variasi kata Caitya lainnya dalam bahasa Sanskrit adalah Cetiya dan Ceti. Dengan kata lain jika di dalam bahasa Pali (Prakrit) menggunakan konsonan (D) maka di dalam bahasa Sanskrit menggunakan konsonan (T), sehingga kata Cedi (Pali) sama dengan Ceti (Sanskrit). Dalam bahasa Sanskrit, sebagaimana Cedi dalam bahasa Pali juga memiliki cakupan makna yang sama. Yakni meliputi tiang batu penciri tempat, batu monumen peringatan, formasi batu-batu pemujaan, tempat, bangunan, dan ruangan peribadatan.
Jika direkonstruksi maka Candi dalam istilah bahasa Sanskrit dan Ceti bahasa Pali yang merujuk pada bahasa Prakrit tidak ada perbedaan mendasar. Karena salah-satu pengertian umum Candi dalam bahasa Sanskrit adalah Menyembah atau Menyembah kepada Dewa. Candi dalam bahasa Sanskrit, Caitya atau Cetiya, atau Ceti dalam varian lain pengucapannya maka kemungkinan berhubungan juga dengan kata Arcanti yang juga berarti Menyembah atau Memuja dalam bahasa Sanskrit. Arcanti yang artinya Memuja atau Menyembah dalam bahasa-bahasa di Nusantara kemudian juga mengalami distorsi menjadi kata Arca yang diartikan Patung. Hal demikian dapat dimengerti karena di dalam tempat peribadatan agama Dharma biasa diletakkan patung yang menggambarkan Dewa dan Karakteristiknya (Iconografi) dan juga Prasada berupa sesajian seperti bunga-bunga dan makanan di dalam suatu tempat atau ruangan khusus.
Maka dengan demikian Arcanti, Arca, Ceti, Cetiya, Caitya, dan Candi (Sanskrit) dan Cedi (Prakrit) artinya sama yakni Memuja atau Menyembah. Namun demikian seiring waktu maknanya berubah menjadi merujuk pada tempat, atau penanda, atau bangunan, atau ruang tempat dimana pemujaan dilakukan di dalamnya. Jika merujuk pada basis awal penamaan pada khazanah awal, Candi seharusnya disebut dengan kata Devalaya atau Devakula. Di Nusantara, istilah Devaya atau Devakula kemudian bergeser seiring waktu yang kemudian menjadi kata Candi. Dalam pendekatan Sanata Dharma di Nusantara Candi artinya tempat pemujaan Hindu, sementara dalam pendekatan Budha Dharma, Candi artinya tempat pemujaan Budha; atau bahkan artinya mengerucut lebih sempit lagi untuk menamai apa yang disebut dengan nama lain sebagai Stupa.
(4) CANDI BOJONGMENJE
Candi Bojongmenje secara administrasi terletak di Kampung Bojongmenje Desa Cangkuang Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Aspek penamaan Candi Bojongmenje sendiri berasal dari nama perkampungan tempat dimana reruntuhan dari bangunan Candi tersebut berada, yakni Kampung Bojongmenje. Sehingga kita sebenarnya tidak tahu apa nama sesungguhnya bangunan Candi Mojongmenje tersebut pada zamannya. Karena nama itu penting sebagai identitas dan alamat yang jelas, maka Candi yang ditemukan kembali antara tanggal 17 dan tanggal 18 pada bulan Agustus 2002 M tersebut dengan nama Candi Bojongmenje.
Dalam pendekatan Toponimi (nama-nama tempat) yang merupakan bagian dari Onomastika (kajian nama-nama yang meliputi Toponimi dan Antroponimi [nama-nama orang]) sebuah kajian khusus nama-nama dalam disiplin ilmu bahasa (Linguistik), dapat diurai sebagaimana berikut. Bojong artinya suatu daratan atau tanah yang menjorok atau mengarah menuju ke suatu wilayah perairan. Bagian yang menjorok atau mengarah kepada suatu wilayah perairan entah itu danau, rawa-rawa, ataukah sungai itu biasanya mengkerucut atau bidang yang menyempit dibandingkan pada bidang pangkalnya yang bersatu dengan daratan atau tanah yang lebih luas.
Dalam Kamus Umum Basa Sunda
yang disususun oleh Panitia Kamus Lembaga jeung Sastra Sunda terbitan Tarate Bandung (1981) dikatakan bahwa: “Bojong, ilikan Bobojong, mindeng dipake dina ngaran tempat atawa kampung: Bojongpicung, Bojongmeron, Bojongsalam, jeung saterusna.” (Bojong, lihat Bobojong, sering digunakan dalam nama tempat atau kampung: Bojongpicung, Bojongmeron, Bojongsalam, dan seterusnya). Kemudian dalam enteri Bobojong dikatakan bahwa “Bobojong, jojontor, jajirah, tanah nu nyodor ka cai (walungan, talaga, laut)” (Bobojong, jajirah, tanah yang menjorok ke air [sungai, telaga, laut]). Dengan kata lain Bojong, Bobojong, Jojontor, dan Tanjung dalam bahasa Sunda artinya sama yakni bagian tanah yang menjorok ke perairan, dimana dalam bahasa Arabnya disebut Jazirat atau Jazirah yang kedalam bahasa Sunda diserap menjadi kata Jajirah.
Setelah identifikasi kawasannya berupa landskap (Inggris: Landscape) atau bentukan alam terlihat dengan jelas. Maka leluhur yang membabak suatu perkampungan biasanya akan melihat gejala lainnya yang paling mencolok di sana. Salah-satu gejala yang paling diamati manusia dan dijadikan inspirasi penamaan tempat setelah aspek Landskap atau Morfologi, yakni bentukan alam hasil pengerjaan suatu tenaga alam misalnya hasil pengerjaan tenaga air atau sungai; adalah pohon. Bojongsalam karena di kawasan Bojong tersebut didapati banyak pohon Salam. Bojongpicung karena di kawasan Bojong tersebut di dapati banyak pohon Picung. Dan meskipun di dalam Kamus Umum Basa Sunda tersebut tidak didapati entri Menje, dari beberapa penelusuran data yang paling kuat bahwa Menje adalah nama lain dari kata Pucung atau Picung atau Kapayang dalam bahasa Sunda.
Dalam bahasa Jawa, kata Pucung, Picung, Kapayang, atau Menje dalam bahasa Sunda tersebut dikenal juga dengan nama Kuwak, Kluwek, dan juga Menje. Bojongmenje sebagai nama tempat (proper name/place) dengan demikian berarti suatu kawasan yang menjorok ke perairan dalam hal ini adalah menuju ke aliran sungai Ci Mande, dimana di sana didapati penciri yang mencolok entah karena banyaknya pohon Menje tersebut ataukah karena sebegitu monumentalnya sebuah pohon Menje tersebut yang menjadikannya poros dan penciri identitas suatu tempat.
Jika di lihat pada peta, letak Candi Bojongmenje tersebut berada di sebelah Barat delta sungai Ci Mande. Pada delta tersebut, sungai Ci Mande membuat lengkungan setengah lingkaran dengan pola aliran sungainya, dimana Candi Bojongmenje berada pada bagian dalamnya. Pola lengkung tersebutlah yang membuat kawasan tersebut menjadi Bojong yang mengarah ke perairan mengarah ke arah Timur dimana tidak jauh dari sana terdapat Gunung Geulis. Sementara itu, selain terdapat anak sungai Ci Mande yang mengalir dari Gunung Geulis, namun demikian aliran sungai kecil (Sunda: Wahangan) Ci Mande yang utama tersebut sesungguhnya berasal dari Kawasan Konservasi Taman Buru Gunung Masigit dan Gunung Kareumbi yang berada di sebelah Selatan kawasan Bojongmenje.
Dari kawasan Gunung Masigit dan Gunung Kareumbi yang menjadi pembatas kawasan administrasi Kabupaten Sumedang di Timur Laut, Kabupaten Garut di Barat Daya, dan Kabupaten Bandung di Barat Daya mengalir aliran sungai Ci Mande melalui Kecamatan Nagreg, Kecamatan Cicalengka, hingga tiba di Kecamatan Rancaekek. Pola aliran tersebut bergerak ke arah Barat Daya Gunung Masigit dan Gunung Kareumbi hingga kemudian bergerak ke arah Timur Laut dan membuat delta di kawasan Bojongmenje. Dari kawasan Bojongmenje aliran sungai tidak bergerak ke arah Utara menuju ke Kecamatan Cileunyi, melainkan bergerak ke arah Barat Laut menuju ke Kecamatan Solokanjeruk.
Aliran sungai Ci Mande kemudian bertemu di antara Kecamatan Bojongsoang (Kampung Sapan, Desa Tegal Luar ) dengan Kecamatan Solokanjeruk (Kampung Bojongemas Desa Bojongemas) pada aliran sungai Ci Tarik. Aliran hulu Ci Tarik mengalir juga dari Gunung Masigit dan Gunung Kareumbi melalui aliran sungai Ci Kareumbi yang melahirkan Curug Cinulang (varian lainnya: Sindulang) yang mengalir di sebelah Barat Daya Ci Mande. Namun demikian, aliran utama sungai Ci Tarik sesungguhnya berasal dari Danau Ciharus di lereng Gunung Rakutak di perbatasan antara Kecamatan Majalaya dan Kabupaten Garut. Jika membandingkan dengan catatan Bujangga Manik, pemulis berpendapat justru titik hitung terjauh aliran Ci Tarum itu sendiri bukan melalui aliran sungai Ci Santi (Dano Cisanti), melainkan aliran sungai Ci Tarik (Dano Ciharus) yang dianggap lebih utama.
Dari sini kita dapat mulai memaknai Candi Bojongmenje dalam seting lingkungan yang ada. Bahwa di ujung kawasan Timur Cekungan Bandung di suatu persimpangan jalan menuju ke arah Kabupaten Sumedang (via Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Jatinangor) dan jalan menuju ke arah Kabupaten Garut (selepas melalui Kecamatan Cileunyi, Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Cicalengka, dan Kecamatan Nagreg) terdapat suatu komplek percandian tua.
Komplek percandian tua tersebut dibentengi oleh kawasan pengunungan yang memisahkannya dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut yang melingkar dari Utara ke Timur dan ke Selatannya. Pada kawasan tersebut terdapat pedataran yang cukup luas yang menghampar dari Cileunyi, Rancaekek, Cicalengka, dan Kendan di sebelah Timur yang relatif lebih tinggi dan kawasan Solokanjeruk dan Bojongsoang yang lebih rendah, termasuk kawasan Ciparay dan Majalaya yang menjadikannya titik rawan banjir tahunan karena merupakan wilayah terendah dalam kawasan Cekungan Bandung yang paling dekat dengan aliran sungai Ci Tarum terutama melalui anak sungainya Ci Tarik.
Melalui upaya pemulihan Ci Tarum beberapa waktu lalu, diketemukan juga Candi Bonongemas pada aliran sungai Citarik tersebut, tidak seberapa jauh dari titik pertemuan antara sungai Ci Mandi dan sungai Ci Tarik. Sehingga kita akan menemukan bahwa keberadaan Candi Bojongmenje dan Candi Bojongemas sangat dekat terkoneksi dan terhubung melalui jalur aliran sungai Ci Mande itu sendiri. Sebenarnya, setidaknya pada kawasan Bojongmenje itu sendiri menurut informasi masyarakat setempat terdapat tiga buah kompleks bangunan dimana dua diantarnya telah terkubur oleh pendirian bangunan pabrik pada tahun 1980-an.
Dalam pengamatan penulis, konstruksi batuan yang ditemukan paska eskavasi oleh Bale Arkeologi menunjukkan adanya batuan beku (andesit) sebagai isian, dan batuan cadas (tuff) yang tampak solid dan massif namun demikian sesungguhnya rapuh jika terkena hantaman yang keras, dan juga bata merah yang terbuat dari lumpur tanah merah yang likat dan dibakar. Di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sesungguhnya bukan sama sekali tidak ditemukan bangunan-bagunan percandian, melainkan ditemukan bangunan-bangunan percandian yang mencukupi untuk dieskavasi, direkonstruksi, dan dianalisa bobot dan nilainya dalam pengetahuan arsitektural periode Hindu-Budha. Dan di lain sisi, juga masih banyak kemungkian potensi temuan lainnya yang belum terungkap atau sudah terungkap namun tidak mendapatkan respon yang memadai baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah itu sendiri.
Untuk memahami bagaimana bobot nilai percandian di kawasan Tatar Sunda, kita jangan membandingkannya dengan kemegahan puncak arsitektural Candi Prambanan atau Candi Borobudur misalnya. Melainkan diuji dengan suatu pertanyaan manakah yang lebih tua antara Candi Batujaya, Candi Bojongmenje, Candi Bojongemas, atau Candi Cangkuang misalnya dengan Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Dieng misalnya. Para ahli menyepakati bahwa tahap perkembangan candi di Tatar Sunda melampaui masa pembuatan candi di Tanah Jawa. Hal ini memberikan suatu konstelasi bahwa betapapun sederhana candi-candi di Tatar Sunda memiliki bobot dan nilainya tersendiri dalam rantai transformasi penguasaan pengetahuan teknis arsitektural candi pada umumnya di Pulau Jawa.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.