Rute yang ditempuh Prabu Jaya Pakuan yang disebut juga Bujangga Manik, Rakaki Bujangga Manik, Ameng Layaran, atau terkadang dijuluki sekaligus dengan sebutan Bujangga Manik Rakean Ameng Layaran untuk pertamakalinya pada saat meninggalkan kerajaan Sunda di ibukota Pakuan dari komplek istananya di Pakancilan adalah Pakancilan, Umbul, Windu Cinta, Manguntur, Pancawara, Leubuh Ageung, Pakeun Caringin, Nangka Anak, Tajur Mandiri, Suka Beureus, Tajur Nyanghalang, Engkih, Cihaliwung, Banggis, Talaga Hening, Peusing, menyeberangi sungai Cilingga, Putih Birit, Puncak, di mana di sana dia beristirahat sambil melihat pemandangan ke arah Bukit Ageung sembari berujar “itu lah hulunya kawasan Pakuan”. Dari Puncak dia bergerak kembali menuju ke alas Eronan (hutan Eronan), Cinangsi, dan kemudian menyeberangi aliran sungai Citarum.

Dari Citarum dia terus bergerak menuju ke Cipunagara yang disebutkan sebagai lurah Medang Kahiangan (kelurahan dari Medang Kahiangan), Tompo Omas, Cimanuk, Pada Beunghar, Cijerukmanis, Conam, Bukit Ciremay, Luhur Agung, Cisanggarung, dan tiba lah dia di tungtung Sunda (ujung kawasan Sunda), kemudian menyeberangi aliran sungai Cipamali, hingga tiba di alas Jawa (hutan wilayah Jawa), mengunjungi lurah-lerih Majapahit (kelurahan-kelurahan dari wilayah Majapahit), alas Demak (hutan Demak), Jatisari, dan Pamalang. Di Pamalang Bujangga Manik tiba-tiba disergap oleh perasaan rindu yang mendalam yang membuatnya memutuskan untuk segera pulang tanpa mau menapaki jalur yang sudah pernah dilewatinya tersebut. Maka kemudian dari Pamalang tersebut dia memutuskan untuk menumpang kendaraan laut yang disebutnya parahu Malaka (perahu Malaka), dimana kelasi kapalnya dibangun oleh komposisi orang-orang Tanjung, Angke, dan Kalapa.

“Sanepi ka Jati Sari, datang aing ka Pamalang. Di inya aing teu heubeul. Katineung na tuang
a(m)bu, lawas teuing diti(ng)galkeun. Tosta geura pulang deui. Mumul nyorang urut aing.”

(Setiba ke Jati Sari, datang aku ke Pamalang. Di sana aku tidak lama. Terkenang kepada Ambuku, lama nian ditinggalkan. Sudah saja pulang kembali. Enggan menelusuri bekas aku.)

Dari Pamalang kemudian sandar di Kalapa, bergerak kembali ke Pabeyan, Mandi Ramayan, Ancol Tamiang, Samprok, Leuweung Langon, Cipanas, Suka Kandang, Cikencal, Luwuk, Ciluwer, Peuteuy Keru, Kandang Serang, Batur, Cihaliwung, Pakeun Tubuy, Pakeun Tayeum, Pakeun Teluk, dan kembali tiba di Pakancilan.


Naskah dibuka dengan perkataan Mahapandita yang mengabarkan peristiwa yang tiba-tiba yang menggegerkan istana bahwa Prabu Jaya Pakuan memutuskan akan pergi untuk berkelana mencari tempat kedamaian. Mahapandita tersebut seakan-akan seorang Guru Homeschooling yang tengah cemas menghadapi sikap anak Muridnya. Namun demikian aspek penulisan narasi dalam naskah tersebut tanpa melakukan suatu upaya transisi dari sudut penceritaan yang dibuat terlalu ketat.

Mahapandita menggambarkan adegan bahwa Prabu Jaya Pakuan mulai melangkahkan kakinya yang disambung dengan percakapan antara ibunya yang disebut Tohaan dan di bagian lain disebut Ratu dan anaknya yang juga disebut Tohaan dan dibagian lain Prabu tengah berusaha mencegahnya. Sehingga pusat kesadaran narasi terlihat ada di Mahapandita. Dan kemudian tanpa transisi kembali dan tanpa pemindahan sudut pandang penceritaan, cerita dilanjutkan langsung dengan adegan perjalanan dimana Bujangga Manik mencatatkan seluruh nama-nama tempat, gunung-gunung, sungai-sungai, dan gejala-gejala alam lainnya yang ditemui.

Pada fase ini kesadaran narasi tanpa disadari telah berada pada sosok Bujangga Manik itu sendiri. Bahkan hingga akhir tulisan ketika Bujangga Manik mencapai pencerahan dan memasuki Suwarga dan tengah mendeskripsikan penampakan alam spiritualitas tersebut. Sebuah hal yang bagi logika umum akan sedikit aneh, dimana seseorang yang Moksa yang telah berpisah jiwa dan raganya masih bisa menuliskan catatannya. Tentu saja dengan demikian harus dibaca dalam suatu kesadaran pembacaan yang lain.

Sayangnya, terlihat juga bahwa naskah tersebut sebetulnya belum berakhir, masih menampakkan adanya bagian yang hilang, ada adegan yang bukan seharusnya hanya akan berhenti di sana. Dan bahkan ketika mendeskripsikan alam Suwarga saja belum sempat dituntaskannya hingga selesai. Sementara orang meninggal tentu saja tidak akan bisa menulis, kecuali suatu gagasan meninggal yang bisa didekati dalam pengertian gagasan yang bersifat esoterik, tarekat, tasauf, mistik, atau kebatinan; yakni suatu upaya mencapai kebijaksanaan untuk bisa meninggal sebelum meninggal.

Adanya suatu transisi yang tidak ketat dan beberapa catatan lainnya yang bisa diketengahkan dalam lain kesempatan, menunjukkan bahwa penulis naskah atas nama Mahapandita atau atas nama Bujangga Manik adalah sama. Suatu proses penulisan ulang yang bersifat rekonstriktif dan tidak live atau real time. Bujangga Manik atau Mahapandita atau penulisnya tersebut telah mencatatkan gagasannya sebagai kisah nostalgia, kisah kenangan, kisah pengajaran yang ingin ditinggalkan untuk dibaca; pada waktu yang sudah lanjut. Itu tampaknya gagaasan yang masuk akan yang bisa diberikan atas beberapa hal yang tampak baur dalam pencatatannya, kecuali dalam soal Geografi yang bersifat tajam dan jelas.

Nama-nama daerah dicatat jelas, sebagian masih sama namanya dan sebagian butuh dokumen lain untuk menginterpretasinya lebih jelas presisi tempatnya (skala umumnya bisa diperoleh jelas) . Nama-nama sungai telah diperjelas dengan penambahan kata Ci didepan nama spesifik sungainya. Sehingga bermakna sungai dan bahkan diperjelas dengan perkataan meuntas yang artinya menyeberang. Sebagian kecil pada kata rangkaian berunsur Ci tersebut tidak ditegaskan sebagai sungai dengan kata menyeberang yang mengindikasikan telah tumbuh maknanya menjadi suatu lahan pemukiman atau daerah yang terikat dengan sungai tersebut.

Kata Ci Tarum yang dituliskan di atas adalah kata Ci Tarum yang pertama kali dicatatkan Bujangga Manik pada saat bergerak dari Pakuan. Rutenya masih cukup jelas Bogor, Puncak, Cipanas, Cikalong Kulon, Cikalong Wetan, melalui antara Subang dan Purwakarta modern ke Sumedang. Jadi berada sedikit di Utara kawasan Cekungan Bandung (Bandung Raya). Namun demikian bukan berarti kawasan Selatan Cekungan Bandung tidak bisa dilalui, sebagaimana nanti pada kesempatan selanjutnya adegan penyeberangan Ci Tarum juga bisa dilakukan sembari mencatatkan Gunung Patenggeng sebagai Sakakala (Saka-Kala; Penanda Waktu/Peringatan) Sang Kuriang yang kesiangan.

Sementara itu, ini lah redaksi dimana kata Ci Tarum pada lintasan awal tersebut dicatatkan oleh Bujangga Manik tersebut. Sebelum kemudian pulang kembali dari Pamalang dengan menggunakan perahu Malaka dengan anak buah kapal yang dimotori oleh orang-orang sekitar kawasan Jakarta itu sendiri yakni Kalapa, Angke, dan Tanjung. Barangkali ini bisa menjelaskan kenapa dasar penguasaan bahasa Betawi pada prinsipnya adalah Melayu, karena terhubung kuat dengan Malaka yang dalam periode tersebut telah menjadi Kesultanan.

Sementara Alas Demak jika diterjemahkan dengan bahasa Sunda atau Jawa ada kemungkinan jika Alas artinya Hutan bisa juga Alas artinya wilayah atau Daerah. Alas Demak adalah Hutan Demak atau Wilayah Demak. Dia menunjukkan suatu kekhasan regional atau geografis namun demikian pada saat ini jelas masih terintegrasi sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit. Dia belum menjadi suatu unit kekuasaan tersendiri. Pada masa Kesultanan Malaka eksis dan pada masa sedikit lagi waktu dimana Kesultanan Demak (sebenarnya didahului oleh cikal bakal Kesultanan Cirebon yang didiriakn oleh Pangeran Walangsungsang) berdiri, masa Bujangga Manik hidup dalam seting waktu.

Sadatang aing ka Punycak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahididan a/wak. Teher sia ne(ny)jo gunung: itu ta na bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.

(Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di
sana ia melihat pegunungan: terdapat Bukit Ageung, tempat tertinggi dalam kekuasaan
Pakuan.)

Sadiri aing ti inya, datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi, meu(n)tas aing di Citarum.

(Setelah pergi dari sana, aku pergi ke daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi
Sungai Citarum.)

Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, meu(n)tas di Ci-Punagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meu(n)tas aing di Ci-Manuk, ngalalar ka Pada Beunghar, meu(n)tas di Cijeruk-manis, ngalalar aing ka Conam, katukang bukit C(e)remay.

(Setelah berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari
daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tampomas, menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay.)

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".