Kritik Sastra Lutung Kasarung dalam Ekofeminisme Sunda

Ekofeminisme Lutung Kasarung

Pada tanggal 26 September 2021, saya telah membaca tuntas buku “Kritik Sastra Lutung Kasarung dalam Ekofeminisme Sunda” yang diterbitkan oleh UPI Press, melalui cetakan pertama yang diluncurkan pada Juni 2021, sebuah karya tulis yang dilakukan oleh Chye Retty Isnendes; seorang dosen, akademisi, penyair, dan sastrawan Sunda. Buku tersebut merupakan hasil penyederhanaan dari kajian terhadap cerita Lutung Kasarung dengan menggunakan sudut pandang Ekofeminisme (Ekologi-Feminisme).

Ekofeminisme, Eko-Feminisme, atau Ekologi-Feminisme sendiri adalah sudut pandang dimana sosok perempuan dan sosok alam dianggap memiliki keterhubungan dan kesebangunan pola nasib yang sama yang selalu ditimpa oleh sesuatu supremasi yang berada diluar kehendak dirinya sendiri. Dimana baik perempuan maupun alam, seringkali sama-sama diposisikan dalam keadaannya yang tidak berdaya dan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Kondisi tidak berdaya dan rasa tidak adil yang menimpanya tersebut, seringkali datang dari sosok laki-laki dan dari struktur kebudayaan yang dibangun sebagai manifestasi dari sudut pandang kelaki-lakian yang mendatangkan sifat eksploitatif dan kapitalistik.

Gagasan Ekofeminisme itu secara konseptual mulai diformulasikan oleh Francoise de Eaubonne (1920-2005 M), seorang Feminis asal Prancis pada tahun 1972 M di Paris dengan membangun Pusat Ekofeminisme, dan pada tahun 1974 M mengeluarkan sebuah risalah Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Mati) sebagai kritik dan antitesa terhadap gagasan Paul Ehrilich (1854-1915 M) seorang dokter asal Jerman. Paul Ehrilich, di dalam buku The Population Bomb, mengajukan solusi untuk kerusakan bumi akibat kelebihan populasi adalah dengan cara melakukan penghentian atau pembatasan reproduksi terhadap perempuan.

Dari sana Francoise de Eaubonne menyatakan bahwa perempuan selama ini tidak diberikan hak untuk menentukan persoalan reproduksinya sendiri, dimana sistem reproduksi oleh budaya laki-laki (patriarki) dianggap harus terus berlanjut. Tapi Francoise de Eaubonne dalam hal ini juga pada dasarnya sejalan dan menyokong gagasan paul Ehrilich itu sendiri dengan menerima tindakan aborsi dan kontrasepsi sebagai pemaknaan atas wujud perlawanan atau penolakan terhadap budaya patriarki yang ada.

Melalui Ekofeminisme yang dijadikan sudut pandang dan pisau bedah analisa terhadap cerita Lutung kasarung, Chye Retty Isnendes berusaha merumuskan tiga buah fokus kajian. Pertama, presentasi tubuh tokoh perempuan pada cerita pantun Lutung Kasarung dalam wacana realitas sosial masyarakat di Pasirbatang. Kedua, Interpretasi wacana tubuh tokoh perempuan cerita pantun Lutung Kasarung dalam hubungannya antara manusia dan non manusia (alam), yang dikaitkan dengan empat kaitan penting teori Merchant, yakni: ekologi, produksi, reproduksi, dan kesadaran. Dan ketiga, pemahaman akan adanya ketidakadilan terhadap tokoh perempuan bahkan meskipun dengan tampilan luar suatu aktifitas pengaguman terhadapnya sekalipun.

Di dalam penelitian tersebut, Chye Retty Isnendes melihat bahwa situasi yang mendorong pada keadaan tidak berdaya dan tidak adil, dalam hal ini terhadap sosok perempuan bernama Purbasari oleh kakaknya Purbararang terbukti mendapatkan proses: marjinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang berlebihan. Tindakan Purbararang dalam penelaahan Chye Retty Isnendes, merupakan tindakan yang tidak alamiah dan melawan kodrat nilai perempuan. Adanya pergeseran tersebut ditengarai oleh adanya pengaruh tidak baik yang dilakukan oleh orang terdekatnya, sosok laki-laki bernama Indrajaya yang memanfaatkan kedudukan Purbararang untuk kepentingan penetrasi dan mobilitas sosial vertikal politik kekuasaan.

Sementara Purbasari, yang mampu menyikapi keadaan buruk yang ditimpakan saudarinya dengan kualitas kepribadian yang baik, pada akhirnya dapat membalik keadaan kepada kemenangan dirinya atas bantuan Lutung Kasarung atau Guru Minda, sosok Sanghyang yang mendapatkan hukuman dan pelajaran dari alam Kahyangan menuju dunia Panca Tengah, karena suatu kesalahan. Tapi bagaimanapun juga suatu keberhasilan, menurut Chye Retty Isnendes pengalaman yang tidak berdaya dan perlakuan tidak adil, akan menjadi bagian dari kenyataan pahit yang telah dialami sosok perempuan dalam memori dan psikologisnya yang akan sukar untuk dilupakan dan dipulihkan sekejap mata.

Dalam hal ini, saya tidak akan terlalu mengkurasi terlalu jauh dan mendalam soal basis filsafat, ideologi, konsep, paradigma, pendekatan, metode, atau sepaket core ideology dan core value system dalam wacana pergerakan Feminisme secara umum dan Ekofeminisme secara khusus dan termasuk konstelasi dan spektrum-spektrum urat-nadi pergerakannya yang cukup majemuk. Dalam hal ini, saya akan lebih memberikan elaborasi terhadap Lutung Kasarung itu sendiri sebagai sebuah prodak narasis pantun atau sastra, dimana tanpa adanya narasi tersebut usaha pembacaan, penafsiran, dan pemberian nilai atas peristiwa di dalam sastra; baik itu aspek simbologi, semiotika, dan hermenetika bahkan tidak akan terjadi sama sekali.

***

Lutung

Lutung di dalam sistem pengelompokan ilmiah Biologi (Taksonomi) dinamai dengan Marga (Genus) Trachypithecus, berdasarkan hasil penelitian Reichenbach, tahun 1862 M. Lutung (Trachypithecus) dengan demikian sekelompok hewan setingkat Marga (Genus). Marga Lutung (Trachyputhecus) itu sendiri pada gilirannya merupakan bagian dari kelompok hewan Monyet (Monkey), atau lebih tepatnya kelompok Monyet Dunia Lama (Old World Monkey), yang dalam bahasa ilmiahnya (scientific name) disebut dengan Keluarga (Family) Cercopithecidae, berdasarkan hasil penelitian Gray, tahun 1821 M. Lutung dengan demikian adalah sekompok hewan setingkat Marga, dengan nama ilmiah Trachypithecus, sebagai bagian dari sekelompok hewan Monyet Dunia Lama pada tingkat Keluarga, dengan nama ilmiah Cercopithecidae.

Di dalam khazanah Taksonomi tersebut, selain terdapat sekelompok Monyet Dunia Lama (Old World Monkey), terdapat juga sekelompok Monyet Dunia Baru (New World Monkey), yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Platyrrhini, berdasarkan hasil penelitian Geoffroy, tahun 1812 M. Dunia Lama dalam gagasan Monyet Dunia Lama tersebut, maksudnya adalah sekelompok Monyet yang mendiami kawasan di Benua Afrika dan Benua Asia. Sementara Dunia Baru dalam gagasan Monyet Dunia Baru, maksudnya adalah sekelompok Monyet yang mendiami kawasan di Benua Amerika, baik di kawasan Benua Amerika bagian Utara maupun kawasan Benua Amerika bagian Selatan.

Lutung (Trachyputhecus), dengan demikian masuk ke dalam kelompok Monyet Dunia Lama (Cercopithecidae), yang habitatnya khusus menempati kawasan Benua Afrika dan Benua Asia. Namun demikian, yang mendiami kawasan Benua Asia dan Benua Afrika itu, sekelompok Monyet Dunia Lama (Cercopithecidae) secara umum. Sementara Lutung (Trachyputhecus) itu sendiri, secara lebih khusus lagi, hanya mendiami kawasan di Kepulauan Indonesia bagian Barat (Bali, Jawa, Sumatra, Borneo), Asia Tenggara lainnya (Indo-Cina, Semenanjung Malaysia, Kepulauan Filipina, dan Borneo), Cina bagian Selatan dan Taiwan, Banglades, India Timur-Laut, India Selatan, India Barat-Daya, dan Srilanka.

Lutung ini bertubuh langsing, berekor panjang, memiliki proporsi tangan yang pendek jika diibandingkan dengan proporsi kakinya, dan warna bulunya bermacam-macam mulai dari hitam, abu-abu, dan juga kuning emas. Tingginya antara 40-80 cm, dan beratnya antara 5-15 kg, yang mana ukuran jantannya jauh lebih besar dibandingkan dengan betinanya. Namun demikian, terkadang, baik dalam analisa popular maupun analisa Taksonomi/Biologi, apa yang biasa kita sebut sekelompok Lutung, biasa juga disebut dengan kata Langur (sinonim). Namun demikian, jika dikaji lebih mendalam dan teliti, istilah Langur secara khusus sebenarnya lebih identik dengan sekelompok Bagian Keluarga (Sub-Family) Colobinae, berdasarkan hasil penelitian Jerdon, tahun 1867 M.

Demikian juga istilah Lutung, biasa juga diidentikan dengan sekelompok Marga Surili, yang secara ilmiah disebut Presbytis berdasarkan hasil penelitian Eschscholtz, tahun 1821 M. Sementara Surili atau sekelompok Marga Presbytis itu sendiri, termasuk kedalam bagian dari sekelompok Langur (Colobinae). Dalam analisa ilmiah dan popular memang ada sedikit tumpang tindih dan perbedaan penamaan yang biasa saling dipertukarkan antara Lutung yang berasal dari bahasa Sunda dan Langur yang berasal dari bahasa Hindi dan Urdu dan termasuk di dalam bahasa Melayu. Dimana baik Lutung maupun Langur terkadang digunakan untuk merujuk Marga Trachyputhecus dan juga termasuk Bagian Keluarga Colobinae (dimana didalamnya termasuk Marga Presbytis).Hanya saja, jika mempertimbangkan aspek penamaan lokal (Vernacular Name) yang disandingkan dengan aspek penamaan ilmiah (Scientific Name), maka secara lebih ketat istilah Lutung seharusnya hanya merujuk secara lebih khusus pada Marga Trachyputhecus. Dimana tidak termasuk di dalamnya Bagian Keluarga Colobinae (dan juga Marga Presbytis).

Adapun Lutung yang secara umum hanya hidup di kawasan Indonesia bagian Barat dan secara khusus tinggal di Pulau Jawa, adalah Trachypithecus auratus, berdasarkan hasil penelitian E. Geoffroy, tahun 1812 M. Lutung inilah yang identik sebagai sekelompok Monyet berekor panjang dengan warna bulunya yang hitam legam, yang biasa juga disebut Lutung Budeng. Di kawasan Jawa Barat dan Banten hari ini, Lutung Budeng masih terkonservasi pada habitatnya antara di Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Halimun Salak, Gede Pangrango, dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran.

Di Taiwan, terdapat nama kota yang dalam bahasa Cina (Mandarin) dengan sistem ejaan Pinyin disebut Luodong, Wade-Giles Lotung, dan Peh Oe Ji Lotong yang datang dari bahasa pribumi Taiwan/Formosa Kavalan (Austronesia) Rutung yang berarti secara umum Monyet atau secara lebih khusus lagi Trachypithecus obscurus, yakni Lutung khas di Taiwan yang masih satu Marga beda Spesies dengan Lutung Budeng di Pulau Jawa atau Tatar Sunda. Karena kuatnya informasi mengenai folklore Lutung Kasarung ke dunia internasional, itu kenapa istilah Lutung untuk menamai Marga secara umum digunakan secara internasional melalui bahasa Sunda.

Kasarung

Istilah Kasarung berasal dari kata dasar Sarung. Jika mau menelusuri aspek kebahasaan yang dapat disokong juga oleh bukti Filologis, kata Sarung dalam bahasa Sunda ini berasal dari bahasa Arab Sharun. Variasi kata Sarung atau Sharun ini ada dalam bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Sinhala, Tamil, dan kawasan Arab terutama Yaman. Kata Sarung ini sudah masuk ke dalam kosa-kata bahasa Inggris sejak tahun 1834 M, Sarong yang berarti Sarung Melayu atau berarti Menutup (to Cover/to Sheat). Apa bila secara kebahasaan kosa-kata Sarung telah masuk ke dalam tradisi Pantun dan Sastra Lutung Kasarung, maka bisa diduga jiga proses transmisi cerita rakyat tersebut telah diaransemen pada masa ketika kebudayaan Islam dan Arab telah memberikan pengaruh di Pulau Jawa. Atau suatu transmisi tua dari periode Hindu-Budha akhir namun sampai pada transmisi oralnya hingga ke periode kesultanan dan kolonial dengan mengambil bentuk bahasa yang telah berkembang pada zaman dicatatkannya tradisi oral tersebut.

Sarung (istilah sebangun lainnya Samping dan Sinjang) dengan demikian adalah bagian dari pakaian yang menutupi tubuh manusia sebagai bagian dari pakaian. Disarung artinya dengan kesadaran diri atas kehendaknya menggunakan Sarung untuk tujuan tersebut. Sementara Kasarung membentuk makna yang tidak biasanya, Kasarung artinya tidak sengaja atau tidak atas kehendak dan kesadarannya sendiri menjadi mengenakan Sarung untuk menutupi dirinya sebagai pakaian. Lutung Kasarung secara etimologi dan terminologi dengan demikian, berarti sosok Lutung yang tertutup, terbungkus, terhalangi tubuh dan pandangannya karena suatu pakaian (Sarung) yang tidak semestinya. Yang tertutup, terbungkus, terhalangi, itu akan menjadi kabur, tidak jelas, terbatas, atau bisa jadi dalam maknanya yang paling sarkastik tersesat (budi-pekertinya). Suatu gagasan yang setara dalam wacana filsafat eksistensial.

Lutung Kasarung

Adapun tradisi yang paling tua untuk dokumen Lutung kasarung ini adalah catatan hasil penulisan C.M. Pleyte pada tahun 1910 M dengan judul De Legende van den Loetoeng Kasaroeng, Een Gewijde Sage Uit Tji-rebon (Legenda Lutung Kasarung, Kisah Suci dari Cirebon) yang ditulis atas nama Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Koninklijke Bibliotheek, Batavia, Albrecht & Co.,‘S Hage, Martinus Nyhoff). C.M. Pleyte sebagaimana dalam pencatatan Legenda Sangkuriang, tidak memberikan suatu keterangan yang jelas mengenai dari siapa Juru Pantun yang secara eksak memberikannya keterangan hingga akhinya mampu dicatat. C.M. Pleyte hanya mengatakan bahwa tradisi lisan mengenai Lutung Kasarung ini sudah masyur terutama pada kalangan para Juru Pantun, dimana catatan yang dihasilkan oleh C.M. Pleyte dalam hal ini berasal dari tradisi Cirebonan.

Dari sumber dan dokumen yang sejauh ini bersifat tunggal ini berbagai salinan dan interpretasi diturunkan, misalnya pada tahun 1921 M menjadi Gending Karesmen oleh R.A.A. Wiranatakusumah V (Bupati bandung). Pada tahun 1926-1927 M, pembuatan film pertama di India-belanda Loetoeng Kasaroeng oleh NV Nederlands-Indische Java Film Maatschappij, dengan penulis Penulis G. Kruger, Sutradara G. Kruger dan H. Heuveldorp, Penata Musik Wihelmus, Sinematografer/Penyunting naskah R.A.A. Wiranatakusumah V (yang kemudian di-remake tahun 1952 M dan tahun 1983 M). Pada tahun 1949 M, oleh F.S. Eringa dikerjakan sebagai Tesis dan kemudian dipublikasikan dalam judul Loetoeng Kasaroeng, een Mythologisch Verhaal Uit West-Java (Lutung Kasarung, Sebuah Mitologi Asal Jawa Barat) atas nama Bijdrage Tot De Soendase Taal en letterkunde (S-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1949). Kemudian pada tahun 1950 mulai dikerjakan pada bahasa Indonesia oleh seniman Belanda Tilly Dalton. Dan pada masa kemudian, muncul analisa yang dilakukan oleh Ajip Rosidi dengan judul Cerita Pantun Lutung Kasarung tahun 1962 M dalam dimuat ulang dalam Ngalanglang Kasusastraan Sunda tahun 1983 M. Juga tahun 1976 diaransemen ulang Sanghyang Lutung Kasarung oleh Ahmad Bakri.

Saya mencoba menjaga jarak aman dan objektif terhadap C.M. Pleyte karena berita yang dibawa bersifat tunggal dan sukar bagi kita untuk mengklarisikasinya ke sumber langsung. Medan Folklore ini sedikit berbeda dengan medan Filologi dan Epigrafi dimana kita mampu mengkonfrontirnya langsung pada sumber primer. Namun demikian, berdasarkan kata pengantar dalam buku C.M. Pleyte, di sana C.M. Pleyte mencoba untuk menganalisa isi narasi (aspek material) Lutung Kasarung yang telah ditrankripsinya. C.M. Pleyte menduga bahwa kisah yang termaktub dalam Lutung Kasarung kemungkinan lebih tua dari kisah yang termaktub dalam Wawacan Sulanjana. Dengan merujuk pada naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan, C.M. Pleyte mulai mampu mengkonstruksi bahwa oral tradisi ini (aspek formal) sebenarnya terhubung dengan tradisi naskah historis dimana kata Budug Basu pada folklore terdapat pada naskah sebagai Udubasu. Udubasu ini simbol kejahatan supranatural yang bersemayam di kawasan Rancamaya, sehingga oleh adik Susuk Tunggal atau Sang haliwungan yang bernama Sang Huluwesi, Sanghyang Rancamaya diurug. Susuk Tunggal dan Hulu Wesi adalah saudara Ningrat Kancana atau Dewa Niskala, para-putra Niskala Wastu Kancana dari lain ibu. Di sini kisah Sulanjana, Dewi Sri Pohaci, Budug Basu, sebenarnya terinspirasi dari pengaruh masa hidup raja-raja Sunda-Galuh.

Dari sana, C.M. Pleyte menduga, jika kisah Lutung Kasarung kemungkinan lebih tua atau lebih arkaik dari kisah Sulanjana. Sayangnya, seandainya data telah mencukupi pada masa C.M. Pleyte, atau konstruksi penguasaan sejarah kuno Sunda dar C.M. Pleyte cukup memadai dia akan segera mengetahui jika Lutung Kasarung sebenarnya influence dar masa inspirasi yang lebih muda dari Sulanjana. Karena di dalam tradisi Banyumasan, Lutung Kasarung atau Guru Minda versi Cirebonan (menggunakan pakaian mega mendung) disebut juga Aria Kamandaka, atau Aria Banyak Catra, atau Aria Banyak Cotro. Sementara Banyak Catra itu sendiri adalah putra Prabu Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala Raja Galuh (saudara Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan Raja Sunda). Sehingga, apabila secara radikal tradisi folklore mulai dikomparasikan antara tradisi Cirebon dan Banyumas, dan juga tradisi folklore secara multidisipliner atau interdisipliner memperoleh second opinion dari tradisi sejarah tradisional babab, riwayat silsilah tradisional, juga filologi, dan sejarah, Lutung Kasarung yang menjadi pertanyaan C.M. Pleyte akan mampu segera terjawab dengan memadai.

Dimana hasil dokumentasi tertulis paling awal yang dilakukan oleh C.M. Pleyte tahun 1910 M dari sumber tradisi lisan (folklore Cirebon); sebenarnya sangat berkorelasi dengan tradisi lisan yang berkembang di kawasan Banyumasan, suatu kawasan yang meliputi Dayeuh Luhur, Cilacap, Majenang, Bumiayu, Purwokerto, dan sekitarnya yang biasa disebut kawasan Jawa Ngapak atau kawasan bilingual Sunda-Jawa. Di sini, Banyak Catra bukan hanya ditempatkan sebagai legenda dan mitologi belaka, melainkan dimasukkan sebagai bagian dari garis silsilah kadipaten-kadipaten di Banyumas.

Di kawasan tersebut, Lutung Kasarung atau Guru Minda, akan disebut Aria Kamandaka atau Aria Banyak Catra yang merupakan putra ‘Siliwangi dari Pajajaran’, sebuah distorsi dari yang seharusnya putra Ningratkancana atau Dewa Niskala Raja Galuh. Sebagaimana Guru Minda, Kamandaka atau Banyak Catra juga menggunakan pakaian Lutung Kasarung dan melakukan banyak petualangan dalam suka dan duka, hanya saja bukan turun dari Kahyangan tapi dari kerajaan ‘Pajajaran’ (baca: Galuh). Sementara Pasirbatang yang ada dalam C.M. Pleyte adalah Pasir Luhur dan Purbasari adalah Ciptarasa yang juga sama-sama dimusuhi oleh kakak perempuannya yang dibantu kakak-kakak perempuan lainnya dalam perebutan kekuasaan.

Lutung Kasarung, Guru Minda, Kamandaka, Banyak Catra jika mau dihubungkan dalam sudut pandang Babad yang lebih Semi-Historis, dengan demikian sebenarnya adalah putra Prabu Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala dengan Dewi Ratna Huma. Aria banyak Catra kemudian akan menjadi penguasa Pasir Luhur di kawasan Banyumasan yang pada masa lalu masih bagian dari kekuasaan Galuh. Saudara seibu dan seayah lainnya adalah Banyak Ngampar atau Gagak Ngampar yang disebut juga Silih Warni yang akan berkuasa di kawasan Dayeuh Luhur masih bagian Galuh pada masa lalu (kawasan Cilacap, Brebes, Majenang, Bumiayu, dan sekitarnya). Dan Aria Banyak Blabur atau Kusumalaya atau Ajar Kutamangu yang menikahi Simbarkancana dan berkuasa di Talaga (Majalengka).

Sementara itu, Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana dengan Dewi Uma memiliki anak bernama Pamanahrasa atau Raja Sunu atau Jayadewata atau Siliwangi atau Silih Wangi. Siliwangi ini yang kemudian akan berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh (Pajajaran). Sementara putra lainnya adalah Ningratwangi atau Rangga Pupuk yang akan berkuasa atas tahta Galuh pusat menggantikan ayahnya Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana.

Di dalam Naskah Sunda Kuno, nama sastra Siliwangi dan Banyak Catra telah terabadikan dalam naskah Bujangga Manik. Demikian juga cerita Pantun telah terabadikan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dengan empat buah prototipe Pantun: Langgalarang, Banyak Catra, Siliwangi, dan Hatur Wangi. Langgalarang atau Anggalarang merupakan nama sastra untuk Prabu Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala, Banyak Catra pada kesempatan ini dapat diketahui adalah Lutung Kasarung, Guru Minda, dan Kamandaka. Siliwangi sudah jelas sebenarnya Pamanahrasa atau Jayadewata, karena semua orang Sunda menamai Siliwangi sebenarnya hanya untuk penyandang nama lainnya adalah Sri Baduga Maharaja itu sendiri (adapun kekeliruan terjadi karena distorsi dan reduksi memori oral). Sementara Hatur Wangi dengan demikian secara hipotesa dapat diduga sama dengan Ningrat Wangi atau Rangga Pupuk, penguasa Galuh.

Dan dengan demikian juga, C.M. Pleyte dalam hal ini bisa jadi telah merekam suatu tradisi oral yang berkembang dalam masyarakat Sunda dan Cirebonan. Suatu tradisi pantun yang semula berasal dari suatu tradisi pantun periode Pajajaran. Tradisi pantun itu karena melalui suatu transmisi oral bisa jadi mengalami distorsi yang sangat banyak di perjalanan berikutnya karena tambahan bumbu-bumbu yang akhirnya memelencengkan dari garis utama cerita itu sendiri sebagaimana yang semua dicanangkan. Jika ditelaan bumbu-bumbu pada Sangkuriang, Lutung Kasarung, dan Babad Banyumasan telah terjadi saling meminjam simbologi, semiotika, hermenetika, dan termasuk konstruksi cerita. Gagasan anak mencintai ibunya, pengusiran, pembuatan danau, percintaan, dan lain sebagainya tampak terjadi sebagai sebuah aransemen yang bahkan terjadi jauh setelah masa Pajajaran itu sendiri sendiri; sulit untuk membayangkan bahwa gagasan-gagasan tersebut sebagai suatu anti klimak dekadensi dari suatu semangat Hindu-Budha yang sempat memiliki vitalitas yang kuat dalam memandu kebudayaan dan peradaban di Tatar Sunda, termasuk pada kaidah nilai dan moralnya.

***

Kritik Sastra Lutung kasarung dalam Ekofeminisme Sunda, tetap baik untuk dinikmatik. Karena dengan adanya ihtiar riset yang dilakukan oleh Chye Retty Isnendes; selain kita dapat mengetahui bagaimana perempuan memiliki harapan untuk mengartikulasikan isi pikiran, perasaan, sikap, dan pandangan-pandangan hidupnya dan juga bagaimana dunia sastra dapat menjadi ruang artikulasi dan interpretasi untuk memenuhi persoalan-persoalan hidup melalui simbologi dan hermenetika: juga yang tidak kalah penting telah membuka jalur ke arah pemajuan garis pengetahuan dari wilayah ketidaktahuan. Melalui suatu pendekatan akademik dan riset jurus campuran yang tidak ortodok, beberapa hal konseptual dan historis perlahan-lahan sebenarnya dapat dipecahkan dan memberikan jawaban yang akan jauh lebih memuaskan daripada sebelumnya.

Batujajar, 27 September 2021

Gelar Taufiq Kusumawardhana

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".