Pada bulan Mei 2024 M mendatang, berdasarkan permintaan publik tertentu, kami kemungkinan akan mengadakan kembali kegiatan lapangan ke Gunung Sembung. Gunung yang namanya kami persembahkan kembali kepada masyarakat Sunda, yang didasarkan pada hasil penelitian Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) dalam bentuk buku: “Bujangga Manik, Gunung Sembung, dan Hulu Citarum: Kompilasi Risalah Pelacakan Toponimi Yang Hilang di Kawasan Bandung Selatan”, yang ditulis oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana dan Karguna Purnama Harya (disunting oleh Chye Retty Isnendes) pada tahun 2022 M.

Berdasarkan hasil pembacaan terhadap naskah Sunda kuno Bujangga Manik abad ke-15 M dan yang disokong data-data pendukung, terutama publikasi baik peta-peta maupun teks-teks, terutama dari abad ke-19 M, akhirnya dapat diketahui kembali bahwa Gunung Sembung memang pernah ada dan digunakan sebagai nama tempat, atau nama gejala alam berupa gunung yang berada di kawasan Bandung selatan.

Namun demikian, keberhasilan terhadap temuan lokasi yang bisa dikatakan telah bersifat akurat dan presisi dari Gunung Sembung tersebut, hanyalah satu langkah awal dalam membuat langkah selanjutnya. Yakni menentukan lokasi hulu sungai Citarum secara lebih khusus lagi. Maksudnya bahwa naskah Bujangga Manik sudah sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa Gunung Sembung merupakan hulu sungai Citarum dalam pengertian umum. Hanya saja, penemuan yang bersifat umum tersebut, dirasakan belum sempurna apabila hulu sungai Citarum dalam pengertian yang lebih khusus, yakni lokasi yang bersifat akurat dan presisi berupa mataair yang dimaknai secara spekulatif sebagai tempat utama membualnya aliran sungai Citarum pada titik paling tinggi dan paling jauh untuk pertama kalinya belum ditemukan.

Gambaran mengenai hulu sungai Citarum secara lebih khusus tersebut, sempat menjadi semakin hidup dalam imajinasi teoretik dengan ditemukannya gambar danau berukuran yang bisa dikatakan cukup spektakuler dalam peta-peta kolonial paling awal dari abad ke-19 M, yang pada kenyataannya memang di kaki Gunung Sembung. Hanya saja, berdasarkan analisa kartografi yang bersifat konsekuen terhadap peta-peta tersebut, hipotesa kami membawa pada kegiatan verifikasi lapangan yang mengharuskan adanya peninjauan ke sebelah timur dari kawasan Cisanti (melintang menuju ke kawasan Pacet), yang pada kenyataanya secara geomorfologi tidak mendukung terhadap kehadiran tanda-tanda yang menyimpan jejak adanya danau raksasa pada masa silam. Kegiatan verifikasi tersebut, sempat dilaksanakan bersama Chye Retty Isnendes dan Refi Syaeful Firmansyah (Yayasan Buana Varman Semesta) pada 23 Maret 2022 M.

Ada dua kemungkinan terhadap ketidakpuasan hasil kegiatan verifikasi di lapangan yang dirasakan masih tidak berkesesuaian. Pertama kemungkinan bahwa gambaran danau pada peta-peta awal era kolonial tersebut, masih terlalu imajinatif sehingga belum begitu mempertimbangkan soal proporsi, presisi, dan orientasi yang jelas dan pasti. Hal demkian bisa saja terjadi, karena aspek pembuatan peta yang dilakukan oleh kartografer awal abad ke-19 M, belum benar-benar bertumpu pada kegiatan survei lapangan. Melainkan masih bertumpu pada penangkapan berita lisan, yang diperoleh dari narasumber pribumi yang mengetahui realitas di kawasan pedalaman Parahiyangan. Adapun yang kedua adanya kegiatan alam yang mengakibatkan adanya proses deformasi geologi besar-besaran pada permukaan bumi, sehingga gambaran mengenai keberadaan danau pada masa lalu di tempat tersebut menjadi tidak terlihat lagi dalam kegiatan verifikasi lapangan.

Perasaan tidak puas yang sempat menyelimuti hati, karena hipotesa yang dirasa sudah dibangun berdasarkan data-data yang cukup runut dan akurat tersebut, belum sepenuhnya menemukan jalan keluar yang sempurna dalam mewujudkan rangkaian kerja ‘logika-hipotetika-verifikasi’ di lapangan, kami anggap sebagai keberhasilan pada tahap awal dalam memaknai exploratory research (studi pendahuluan), dengan harapan suatu hari bisa kami lanjutkan kembali dalam konstruksinya yang lebih bersifat final dan mapan.

Permasalahan ilmiah yang masih tertunda dalam melakukan pemecahan tingkat lanjut tersebut, kemudian terpicu kembali. Sehingga mengantarkan pada pembacaan ulang bait-bait sajak puisi-prosais dalam naskah Bujangga Manik yang sempat melahirkan inspirasi besar dalam kekaryaan sebelumnya (penemuan kembali nama Gunung Sembung dan lokasinya).

“Beuteung bogoh ku sakitu,
saanggeusing milang gunung,
saleumpang ti Panenjoan,
sacunduk ka GUNUNG SEMBUNG,
ETA HULUNA CITARUM,
di inya aing ditapa,
sambian ngeureunan palay.
Tehering puja nyanggraha,
puja nyapu mugu-mugu,
tehering nanjeurkeun lingga,
tehering nyian hareca,
tehering nyian sakakala”.
(Naskah Bujangga Manik, Bait 1277-1288)

Melalui bait-bait puisi-prosais tersebut, dapat diketahui dengan sangat jelas dan pasti bahwa ‘Gunung Sembung itu merupakan hulunya Citarum’. Kemudian di hulu Citarum tersebut Bujangga Manik, tokoh sastra yang bisa jadi merepresentasikan image yang dibangun mengenai sosok pangeran putra mahkota kerajaan Sunda dari ibukota Pakuan Pajajaran yang berbasis realita tersebut, kemudian melakukan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kedudukan tersebut sebagai mandala, atau kabuyutan.

Dengan demikian, pada bagian Gunung Sembung tersebut, dapat diasumsikan terdapat mataair, atau danau yang sekaligus dijadikan pusat kemandalaan, atau kabuyutan. Lokasi kemandalaan, atau kabuyutan tersebut, pada umumnya tidak harus berada di puncak. Melaikan pada keberadaan lembahan, pada kaki gunung yang menyokong pusat spiritualitas, pendidikan, dan daya sokong alam, termasuk keberadaan hulu sungai Citarum yang sangat penting dan strategis. Sayangnya, nama spesifik kemandalaan, atau kabuyutan tersebut, tidak diberitahukan dengan lugas dan pasti.

“Sadiri aing ti inya,
leumpang aing ngidul wetan,
meuntasing di Cimarinjung,
meuntasing di Cihadea,
meuntasing di Cicarengcang,
MEUNTAS AING DI CISANTI,
SANANJAK KA GUNUNG WAYANG,
SADIRI AING TI INYA,
CUNDUK KA MANDALA BEUTUNG,
ngalalar ka Mulah Beunghar,
nyanglandeuh ka Tigal Luar,
katukang Bukit Malabar,
kagedeng Bukit Bajoge,
sacunduk ka Gunung Guntur,
ti wetan Mandala Wangi,
nu awas ka Gunung Kendan”.
(Naskah Bujangga Manik, Bait 1371-1386)

Pada bagian lain bait-bait puisi-prosais dikatakan bahwa Bujangga Manik berjalan melintasi Cisanti. Sayangnya dengan sangat jelas bahwa Cisanti tidak dimaknai sebagai hulu Citarum yang bersifat pokok dalam perspektif Sunda Kuno abad ke-15 M tersebut. Dari Cisanti, Bujangga Manik kemudian berjalan menuju ke arah Gunung Wayang. Dari dua bait tersebut sudah sangat jelas bahwa Cisanti yang ditulis akan dalam naskah Bujangga Manik merupakan mataair, aliran sungai, atau danao yang sama yang kita kenal saat ini sebagai hulu sungai Citarum. Karena jelas Cisanti tersebut berada di lembahan dan terintegrasi dengan keberadaan Gunung Wayang sebagai porosnya, yang namanya masih sama-sama dikenal hingga hari ini.

Adapun Gunung Wayang dan Cisanti pada sudut pandang naskah Sunda Kuno abad ke-15 M tersebut, juga bukan merupakan pusat kosmos yang utama. Adapun pusat kosmos yang utama itu berada setelah menempuh perjalanan menuju ke Cisanti dan Gunung Wayang, yang akan mengantarkan Bujangga Manik pada posisi kosmos yang sebenarnya, yakni Mandala Beutung. Aspek penisbatan Cisanti dan Gunung Wayang sebagai hulu sungai Citarum modern ini tentu saja tidak sama sekali tercerabut dari akarnya. Karena Cisanti dan Gunung Wayang juga merupakan bagian dari hulu sungai Citarum pada titik terpanjang dan terjauh.

Hanya saja dalam sudut pandang naskah Sunda Kuno abad ke-15 M tersebut, masih terdapat tempat yang lebih tinggi dan lebih jauh yang lebih berhak mendapatkan nisbatnya sebagai hulu Citarum, itulah Gunung Sembung. Jadi dapat diasumsikan bahwa Cisanti dan Gunung Wayang bersama dengan keberadaan Gunung Sembung sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun posisi Gunung Sembung tersebut, dapat diasumsikan berada lebih ke hulu lagi dari kawasan Cisanti dan Gunung Wayang. Pada lokasi Gunung Sembung tersebut, terdapat areal kemandalaan, atau kabuyutan. Yang dalam bait tersebut meskipun tidak secara lugas disebutkan keterkaitannya, namun berdasarkan logika dan asosiasi geografis yang ada menjadi dapat diketahui lebih baik lagi, bahwa lokasi kemandalaan, atau kabuyutan yang berada di kawasan Gunung Sembung tersebut, bernama Mandala Beutung.

Sehingga susunan lokasi secara hipotetik dapat diketahui lebih pasti lagi bahwa untuk sampai ke Gunung Sembung, terdapat rute kuno yang umum digunakan masyarakat Sunda pada masa silam untuk mencapainya. Yakni melalui jalur Cisanti dan Gunung Wayang. Dari jalur Cisanti dsn Gunung Wayang tersebutlah, Gunung Sembung dicapai. Dan terutama mataair, atau danau yang utama yang dinisbatkan sebagai awal mula aliran sungai Citarum dimulai, yakni Mandala Beutung, yang juga berfungsi sebagai pusat kemandalaan, atau kabuyutan era Sunda Kuno.

Pada naskah Sunda kuno abad ke-15 M, Sri
Ayana, nama Mandala Beutung yang terdapat pada naskah Sunda Kuno abad ke-15 M, Bujangga Manik, pada kenyataannya juga dapat ditemukan sebagai aspek lokasi pembuatan naskah oleh bujangga yang bersifat anonim. Mandala Beutung tersebut dijelaskan juga berada pada lintasan yang dilalui setelah Cisanti, yang dalam bahasa Sunda kuno disebut dengan kata pamaringinan.

Sehingga seluruh penalaran naskah yang saling berkorespondensi (afirmatif) dapat dipertanggungjawabkan. Bahwa Gunung Sembung merupakan hulu sungai Citarum. Bahwa pada hulu sungai Citarum tersebut, terdapat keberadaan kemandalaan, atau kabuyutan yang disebut dengan Mandala Beutung. Adapun kedudukan dari Gunung Sembung dan Mandala Beutung tersebut, berada di sebelah hulu, atau girang lagi dari Gunung Wayang dan Cisanti.

“Pun
tlas sinurat ring wulan kawalu
pun
beunang diajar sang anurat maha kasuhun
pun
beunang di MANDALA BEUTUNG PAMARINGINAN CISANTI
pun
sammadana ku na sastra rocek”
(Naskah Sri Ajyana, Bait Penutup)

Dalam peta-peta abad ke-20 M, keberadaan danau besar yang berukuran spektakuler memang hilang. Namun demikian, pada kaki Gunung Sembung kemudian tergantikan dengan gambaran sebuah danau yang lebih besar dari ukuran danau Cisanti, atau lebih tepatnya, Cisanti belum digambarkan dan baru muncul lebih mencolol pada era lebih kemudian, yakni pada abad ke-20 M dan ke-21 M (namun toponiminya sebagai sungai sudah ada). Nama danau tersebut, adalah Dano Cibitung, yang kemudian bergeser seiring waktu menjadi Dano Aul. Meskipun nama Dano Cibitung sudah menghilang, nama Cibitung kemudian masih terabadikan pada salah-satu kampung yang masih terdapat di sekitar kaki Gunung Sembung tersebut, yakni Kampung Cibitung.

Melalui uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pengajuan hipotesa berupa keberadaan nama Gunung Sembung sebagai hulu sungai Citarum yang pernah digunakan pada masa lalu telah selesai. Demikian juga hipotesa berupa keberadaan danau yang diperkirakan berfungsi sebagai hulu sungai Citarum yang sekaligus pernah berfungsi sebagaia Mandala, atau kabututan dengan nama Mandala Beutung juga sudah selesai. Gunung Sembung sebagai hulu Citarum dalam pengertian umum telah tuntas dan Mandala Beutung sebagai hulu Citarum dalam pengertian yang lebih khusus, teknis, dan operasional juga tuntas.

Inkubasi gagasan yang berhasil menggeser pencarian danau besar yang semula cenderung memperlakukan peta-peta awal kolonial secara lebih kaku dan kemudian membulatkannya pada apa yang sekarang dinamai Dano Cibitung, atau Dano Aul pada toponimi lebih baru, sebenarnya bukan baru berlangsung pada hari ini. Pada kegiatan lapangan pada tanggal 23 Maret 2022 M mulai terpikirkan sebagai kemungkinan yang bersifat alternatif, namun demikian hati belum bisa menerima tawaran pengganti tersebut. Kemudian perasaan lebih besar untuk menerima kemungkinan kedudukan Dano Cibitung/Dano Aul semakin menguat pada saat kunjungan bersama dengan Chye Retty Isnendes, Kang Bachtiar dan Teh Dewi Syafriani pada tanggal 18 Juli 2022 M.

Pasalnya Kang Bach dan Teh Dewi ketika saya mencoba untuk menjelaskan bahwa hipotesa danau spektakuler yang dikemukakan masih belum menemukan kepastian dalam aspek lokasinya, Kang Bach secara lebih personal tidak mempermasalahkannya. Dan ada kecenderungan secara intuitif menerima begitu saja keberadaan Dano Cibitung/Aul sebagai kedudukan alternatif danau yang justru dicari. Keberatan saya pribadi dalam benak pada waktu itu, ukurannya tidak memadai, atau tidak sesuai dengan gambaran umum pada peta-peta awal kolonial yang memiliki skala penggambaran yang sangat besar.

Kini setelah mengendapkan gagasan cukup lama, mencerna kembali gagasan secara lebih tenang dan berjarak, membaca kembali bait-bait naskah Sunda kuno, menerima kemungkinan aspek akurasi dan presisi peta-peta awal pedalaman Parahiyangan belum mapan dan sempurna, dan termasuk mencerna tulisan yang dibuat oleh Roo de la Faile tentang Sanghiyang Pabuntelan yang berada di kaki Gunung Sembung Nyungcung sebagai pusat awal Bumi Ukur pada era-era lebih lanjut dapat menguatkan kedudukan Gunung Sembung yang memiliki nilai strategis tambahan sebagai pusat kemandalaan. Adapun pusat kemandalaan dan sekaligus hulu sungai Citarum dilupakan oleh masyarakat Sunda tersebut, pada kenyataannya berada pada lokasi yang pada saat ini disebut dengan Dano Cibitung/Aul.

Bukan soal besar dan kecilnya skala, namun nilai strategis lokasi tersebut sebagai pusat kosmos perairan. Dan lagi, pada era kuno tersebut, baik Gunung Sembung maupun Mandala Beutung belum mengalami masalah konservasi seperti kondisi saat ini. Melainkan masih terawat dengan baik, rindang dan berwibawa. Demikian juga pada saat ini dan kedepannya, apabila ada kemauan untuk memperbaiki tatanan alamiahnya dengan baik, maka kondisinya juga akan pulih.

Sukabumi, 11 April 2024 M

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".