
LAPORAN PERDAGANGAN TARUM DALAM ARSIP VOC TAHUN 1771 M
Oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute
Dalam buku dengan judul “De Opkomst Van Het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, Verzameling van Onuitgegeven Stukken uit het oud-koloniaal archief (diterbitkan di ‘S Gravenhage, oleh penerbitan Martinus Nijhoff, tahun 1883 M), yang disunting oleh JHR. Mr. J.K.J. De Jonge (JHR. Mr. Jan Karel Jacob De Jonge) dan M.L. Van Deventer (Marinus Lodewijk Van Deventer), pada bagian Bab 25 (halaman 179-199) dengan judul “Memorie door den oppercoopman en oud sabandhaar van Batavia Robbert Hendrik Armenault, afgaande resident deses comptoirs, nagelaten aan zyn vervanger den koopman titulair Evert Jan van Nieuwkerken, genaamt Nyvenheim”, yang merupakan suntingan laporan yang pernah ditulis oleh R.H. Armenault (Robbert Hendrik Armenault), pada bulan Agustus tahun 1771 M di Cirebon, mengandung berita yang berhubungan dengan kegiatan perdagangan indigo (tarum).
Adapun berita yang berhubungan dengan kegiatan perdagangan indigo tersebut yakni:
Pada tanggal 18 Januari 1752 M, telah diterima kiriman indigo dari Cirebon, sebanyak 10 pikul dari Tumenggung Bratadiredja dari Sultan Anom, 10 pikul dari Tumenggung Kartadiredja dari Sultan Sepuh, dan 2,5 pikul dari Tumenggung Sacadipura dari Panembahan (halaman 188).
Pada tanggal 10 November 1765 M, telah diterima kiriman indigo dari Sukapura sebanyak 18 pikul dan benang kapas sebanyak 56 pikul dari Tumenggung Wiradadaha kepada Hasselaer (Cornelis Hasselaer) (halaman 189).
Pada tanggal 18 Maret 1732 M, telah diterima kiriman indigo dari Galuh, sebanyak 8 pikul dan benang kapas sebanyak 39 pikul dari Patih Kusumadinata (Imbanagara), hanya saja setelah melalui pemeriksaan kualitas, yang berhasil diterima indigo hanya sebanyak 6 pikul dan benang kapas sebanyak 29 pikul. Pada tanggal 3 Mei 1756 M, telah diterima kiriman indigo sebanyak 7 pikul dan benang kapas sebanyak 29 pikul dari Tumenggung Wirautama (Ciamis), hanya saja setelah melalui pemeriksaan kualitas, yang berhasil diterima indigo hanya sebanyak 5 pikul dan benang kapas sebanyak 20 pikul. Pada tanggal 10 November 1762 M, telah dikirim indigo sebanyak 4,5 pikul dan benang kapas sebanyak 19,5 pikul dari Tumenggung Wiramantri (Utama). Sebagaimana dengan kiriman barang dari kedua tumenggung sebelumnya, kiriman barang dari Tumenggung Wiramantri juga, sebagian tidak diterima setelah melalui hasil pemeriksaan kualitas, hanya saja tidak disebutkan jumlah awal indigo dan benang kapasnya. Adapun kegiatan pemeriksaan kualitas indigo secara langsung dilakukan di Galuh oleh Lodewyk Angely, yang bekerja sebagai indigo-sorteerder (halaman 190-191).
Pada tanggal 28 April 1763 M, telah diterima kiriman indigo dari Limbangan, sebanyak 4 pikul dan benang kapas sebanyak 20 pikul dari Tumenggung Wangsadiredja. Di bawah pengawasan R.H. Armenault, kinerja Tumenggung Wangsadiredja dianggap kurang baik. Pada tahun pertama R.H. Armenault bertugas hanya mendapatkan sedikit kiriman dan pada 1771 M, kirimannya hanya memuat indigo sebanyak 2 pikul dan benang kapas sebanyak 60 (?) (halaman 191). Meskipun telah mendapatkan teguran oleh R.H. Armenault dan pembuat indigo (indigo-makers), baik pembuat indigo sebelumnya, dan pembuat indigo selanjutnya Jacobus van Bommel (halaman 191).
Pada tanggal 4 Agustus 1714 M, 27 Mei 1719 M, dan 5 Maret 1721 M, telah diterima kiriman indigo dari Gebang,sebanyak 4 pikul dan benang kapas sebanyak 8 pikul dari Pangeran Sutalaya. Sebagaimana dengan Tumenggung Wangsadiredja dari Limbangan, demikian juga dengan Pangeran Sutalaya dari Gebang, cenderung sulit untuk diberikan teguran oleh R.H. Armenault (halaman 192).
Pada tanggal 16 September 1764 M, telah diterima kiriman indigo dari Indramayu, sebanyak 4 pikul dan benang kapas sebanyak 8 pikul dari Ingabehi Wiralodra (Indramayu) (halaman 193). Adapun berdasarkan laporan tanggal 3 Januari 1747 M, dapat diketahui melalui keterangan R.H. Armenault, bahwa terdapat petugas pembuat indigo (indigo-maker) di Indramayu, yang bernama Jan Hendrik Christoffel (halaman 193).
Melalui pembacaan laporan di atas dapat diketahui bahwa tarum merupakan salah-satu komoditas penting yang pernah diusahakan dari kawasan Cirebon dan Parahiyangan. Komoditas tarum tersebut diduga sudah menjadi bagian dari kegiatan penting pengebunan dan perdagangan yang sudah diusahakan sejak era kesultanan. Kegiatan pengebunan dan perdagangan semakin meningkat, ketika para sultan dan adipati-adipati mendapatkan tekanan untuk memenuhi pasar Eropa sebesar-besarnya. Tarum dengan demikian, bukan tumbuhan yang baru saja ada di kawasan Nusantara, setelah diintrodusir oleh VOC, atau pemerintahan kolonial India-Belanda.
Berapa banyak ukuran satu pikul apabila dikonversi ke dalam satuan kilogram? Atau berapa harga tarum dibeli dari tangan para sultan dan adipati yang menggunakan standar mata uang Real Spanyol apabila dikonversi ke dalam rupiah hari ini? Mudah-mudahan dilain kesempatan dapat diinvestigasi lebih baik lagi.

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.