Tumbuh pandangan yang mengatakan bahwa Hindu (baca: Sanata Dharma/Vedanta/Brahmanisme) tidak memiliki dasar konsepsi yang jernih tentang Tuhan yang Esa.
Padahal pada kenyataannya, betapapun memikiki keterbatasan dalam aspek konsepsi dan kejernihan linguistiknya, Hindu sebenarnya punya dan biasa dinamai dengan Brahman.
Namun demikian, pandangan tersebut hanya memahami dan menggapai hingga tapal batas konsepsi umum soal Tri Murti (Brahma/Rama, Wisnu, Siwa/Isora) dan eksistensi dewa-dewa sekunder lainnya.
Dan filsafat Hindu sebenarnya juga kaya, termasuk bagaimana upaya penyatuan Atman (anasir Tuhan dalam diri manusia) dan Brahman (Tuhan yang Esa) adalah filsafat kebatinan paling puncak dalam upaya penyatuan manusia dengan Pencipta adalah tema central dalam spiritualitas Hindu.
Kemudian pandangan soal filsafat Hindu yang sempit tersebut serta-merta dibandingkan dengan konsepsi yang dianggap lokal yang dianggap lebih memiliki kejernihan konsepsi soal Tuhan yang Esa.
Padahal konsepsi soal Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Tunggal sebenarnya juga tidak sejernih yang dikira.
Demikian juga berkembangnya konsepsi soal tatanan tiga sosok yang baru menjadi Sang Hyang Manik Maya (Batara Guru), Sang Hyang Ismaya (Semar), dan Sang Hyang Antaga/Antaboga/Anantaboga (Togog) bersama dewa-dewa lainnya yang bersifat sekunder hanyalah variasi dan presisi lain dari konsepsi Tri Murti itu sendiri pada periode tingkat lanjut, yang sangat mungkin dipengaruhi oleh alam kosmologi Budha.
Sang Hyang Manik Maya, Sang Hyang Jagad Nata, atau istilah-istilah yang lain pada hakikatnya merujuk pada tokoh central yang dipilih dan diagungkan tersebut sebenarnya manifestasi lain dari Siwa.
Dengan demikian Siwa dijadikan pusat pemujaan dalam periode ini. Adapun berbaurnya antara konsepsi Hindu (Siwa) dengan konsepsi Budha, inilah yang dalam khazanah Indologi disebut dengan istilah Siwa-Budha.
Dan basis pengajaran Siwa-Budha telah berkembang lebih dahulu di pusat kelahirannya di India Kuno sebelum kemudian melakukan penetrasi ke Indo-Cina dan kawasan Nusantara lainnya.
Basis Tri Murti dalam trend Siwa-Budha inilah yang mempengaruhi basis kosmologi kebudayaan-kebudayaan lokal di Nusantara. Bukan hanya di Sunda dan Jawa. Termasuk di kawasan lainnya seperti Batak dan Bugis.
Tri Murti melahirkan Tri Tangtu di Lamba. Tri Tangtu di Lamba melahirkan Tri Tangtu di Bumi/Buana. Dan kemudian kita menyebutnya sebagai khazanah lokal. Padahal semuanya merupakan mata rantai dalam body of knowledge Hindu-Budha yang sangat kaya dan majemuk bersama dengan mazhab-mazhab dan aliran filsafat-filsafat keagamaannya.
Elemen-elemen dasar tersebut secara bertahap, ibarat grand teori kemudian dideduksi, diderivasi menjadi seperangkat teori penjelasan yang bisa diturunkan menjadi unsur pembentuk mitos-mitos dan legenda-legenda yang berkembang di Nusantara.
Dan kita kemudian menyebutnya sebagai khazanah yang bersifat lokal, sembari dengan serta-merta menafikan jejak dan kontribusi sumbernya asalnya sebagai bagian dari mata rantai khazanah pengetahuan Hindu-Budha (Siwa-Budha).
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.
Menyukai ini:
Suka Memuat...