Sebagian besar muslim awam sukar untuk mencerna gagasan apa itu Syi’ah dan apa itu Ahlul Bait, karena wacana dan kajian yang dihadirkan selama ini terkesan berat dan rumit.
Untuk menjernihkan pemahaman mengenai topik ini, kita sebenarnya bisa membuat suatu penyederhanaan gagasan untuk membantu muslim awam atau siapa saja yang berminat dan ingin mencerna diskursus ini.
Sederhananya, kita bisa mengatakan bahwa Syi’ah merupakan sepaket susunan pandang politik dan ideologi yang kemudian berkembang dan mengkristal menjadi sudut pandang teologi keagamaan.
Sementara Ahlul Bait merupakan sudut pandang dan kesadaran mengenai adanya aspek genealogi (pertalian nasab), yang menghubungkan garis keturunan anak-cucu generasi selanjutnya kepada sosok Nabi Muhammad SAW melalui garis silsilah putrinya Fatimah Azzahra dengan Ali bin Abi Thalib.
Garis silsilah tersebut kemudian bersifat berkelanjutan dan abadi, baik melalui garis silsilah cucunya Hasan bin Ali bin Abi Thalib maupun Husain bin Ali bin Abi Thalib hingga hari ini di seluruh belahan dunia.
Syiah memiliki keyakian dan pendapat bahwa mereka merupakan pembela Ahlu Bait. Sehingga dari sini sepintas kita akan mengetahui bahwa Syi’ah sebenarnya, lebih merupakan pergerakan yang dilakukan oleh orang luar dari Ahlul Bait itu sendiri.
Mereka meyakini dan berpendapat bahwa mereka merupakan pecinta, pengikut, dan pembela Ahlul Bait.
Pertanyaannya kemudian: Apakah Ahlul Bait itu Syi’ah? Sebenarnya, pada umumnya kalangan Ahlul Bait bukan merupakan penganut teologi Syi’ah.
Adapun sebagian besar kalangan Ahlul Bait, sebenarnya merupakan penganut teologi dan madzhab Sunni dan bukan merupakan penganut teologi dan madzhab Syiah.
Hanya saja kemudian, memang benar bahwa ada dari kalangan Ahlul Bait itu sendiri yang mengikuti teologi dan mazhab Syiah.
Terlepas dari adanya polemik dan status naskah Pangeran Wangsakerta dari sudut pandang kritik validitas material (isi/gagasan) dan formal (cangkang/naskah).
Sebenarnya kita bisa menempatkan dan mendudukan tawaran alternatif yang tersaji di dalam naskah-naskah Pangeran Wangsakerta itu sebagai sebuah diktat historiografi yang syah untuk diterima dan dikritik apa adanya.
Termasuk soal kelebihannya, kekuarangannya, dan kemungkinan soal kekeliruan-kekeliruan keterangan yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, penjelasan dan ilustrasi yang menarik dan terdapat di dalamnya sebenarnya masih dapat dipertimbangkan sebagaimana kita mempertimbangkan buku-buku historiografi lainnya tentang sejarah modern ini.
Kemudian di sana dikatakan, bahwa madzhab-madzhab Sunni, baik Maliki, Hambali, Syafii, dan Hanafi sebenarnya sudah masuk dan menyebar ke wilayah-wilayah di Pulau Jawa lengkap dengan aspek umum pemetaan wilayah-wilayah dan tokoh-tokoh pengamalnya.
Hingga kemudian, diceritakan juga di dalamnya, bahwa Syeh Siti Jenar yang memiliki nama lain sebagai Seh Lemah Abang, Seh Abdul Jalil, dan Seh Jabaranta tiba dengan membawa dan menyebarkan teologi dan madzhab Syiah.
Syi’ah yang dibawa oleh Syeh Siti Jenar ini merupakan Syiah Itsna Asyariah (Syiah Imam Dua Belas). Kesimpulan itu diperoleh melalui keterangan naskah yang mengatakan bahwa Seh Siti Jenar merupakan penganut dan penyebar Syi’ah Muntadar. Yang mana Muntadar itu, menurut hemat penulis sebenarnya diambil dari asal kata Arab Muntazar.
Adapun maksud dari Al Muntazar adalah yang dituggu, yang dinantikan, yang diharapkan kemunculannya, yang diharapkan kedatangannya.
Istilah Al Muntazar tersebut, secara lengkapnya berasal dari frase dan gelaran Imam Al Muntazar, yang berarti Imam yang dinantikan kemunculannya. Imam Al Muntazar merupakan istilah lain dari Imam Mahdi.
Adapun Imam Al Muntazar atau Imam Mahdi yang dinantikan dalam sistem teologi Syiah Itsna Asyariah secara spesifik adalah sosok bernama Muhammad bin Hasan bin Ali Al Askari yang memiliki kedudukan dimata pengikutnya sebagai Imam Kedua Belas (imam terakhir).
Sayangnya, karena suatu sebab. Imam kedua belas tersebut, kemudian diyakini tiba-tiba menghilang ke alam ghaib pada masa usia yang sebenarnya masih kanak-kanak (sekitar 6 tahun).
Namun demikian dalam keyakinan mereka, bahwa keghaiban tersebut hanyalah sementara. Karena suatu hari, Muhammad bin Hasan Al Askari diyakini akan muncul pada masa akhir zaman dan menyelesaikan banyak persoalan yang melanda umat.
Syiah Muntadar dengan demikian maksudnya merupakan nama lain dari corak teologi dan madzhab yang biasa dinamai juga dengan nama Syiah Imamiah dan Syiah Itsna Asyariah, dan Syiah Rafidhah.
Sebenarnya cukup sulit untuk membedakan antara kelompok Sunni yang dikembangkan Wali Songo dan Syiah yang dikembangkan Siti Jenar, karena di antara keduanya sebenarnya sama-sama lekat dengan tradisi Tarekat/Tasawuf.
Namun demikian pada peinsipnya dapat dianalisa melalui patokan bahwa tarekat Sunni seperti yang dikembangkan Wali Songo, tentu saja menginduk dan didasarkan melalui praktik dan batasan teologi Sunni.
Sementara tarekat Syiah yang dikembangkan Siti Jenar menginduk dan didasarkan pada praktik dan batasan teologi Syiah.
Tarekat Syiah inilah yang selama ini memiliki keterhubungan dengan prinsip-prinsip dan praktik-praktik proses penyatuan diri seorang hamba dengan Tuhannya.
Ikhtiar keras tersebut dianggap penting untuk dilakukan mereka demi untuk memecah paradok dan ironi dari adanya fakta dua keberadaan, yang dalam pandangan tarekat/tasawuf Syiah bersifat mustahil dan tidak boleh ada, hadir, dan melekat di dalam jiwa, benak, dan pemikiran seorang hamba yang shaleh dan beriman.
Karena dengan meyakini adanya keberadaan Tuhan dan sekaligus masih menyakini keberadaan diri sendiri, pada hakikatnya kita dianggap telah terjerumus dan jatuh menjadi telah bersifat musyrik (mengakui keberadaan yang lain selain keberadaan Allah).
Wacana mengenai konsep itihad, hulul, frase ana Rabbi ana Al Haq, dan konsep-konsep serupa lainnya ini yang menurut keterangan naskah tersebut masuk ke dalam rumpun tarekat/tasawuf Syi’ah Muntadar (maksudnya Syiah Itsna Asyariah).
Adapun buah dari keyakinan dan praktik tarekat/tasawuf Syiah Itsna Asyariah tersebut pada umumnya, secara otomatis akan menjauhkan pengamalnya dari formalitas praktik keagamaan berupa kegiatan syariat dan ibadah.
Sementara buah dari tarekat/tasawuf Sunni akan tetap bertahan, menjaga, dan bahkan meningkatkan kegiatan yang merujuk pada aspek formalitas baku berupa syariat dan ibadah tersebut.
Karena syariat dan ibadah merupakan bagian dari bangunan utuh keislaman itu sendiri dengan formulasinya sebagaimana berikut: Iman-Islam-Ihsan, yang dikenal juga dengan istilah Aqidah-Syariah-Ahlak.
Dikarenakan Seh Siti Jenar disebut juga dengan nama Seh Lemah Abang (karena tinggal di kawasan Lemah Abang di Cirebon), maka sangat mungkin apabila asal-usul kaum Abangan dan istilahnya sebenarnya dipengaruhi melalui penisbatan kepada Seh Lemah Abang dan para pengikutnya.
Sehingga sebenarnya akan menjadi spekulasi yang terlalu jauh, apabila kita menghubungkan karakteristik kaum Abangan yang tumbuh di dunia perkotaan (urban) dengan aspek teologi masa lalu Hindu-Budha atau klaim mengenai pergerakan murni teologi lokal kebatinan Jawa.
Basis keyakinan dan praktik Abangan tersebut kemudian memang pada tahap selanjutnya memberikan ruang dan penyatuan terhadap elemen keyakinan Hindu-Budha, mistik Jawa, dan bahkan mistisme Barat (teosofi) yang dibawa pada masa kolonial Eropa karena suatu irisan-irisan dan kepentingan-kepentingan bersama.
Dengan demikian, sanad terdekat dari aspek historis dan kultur Abangan, betapa pun terlihat rumit susunannya, namun demikian pada hakikatnya berasal dari aspek tarekat/tasawuf melalui model pengembangan teologi Syiah Itsna Asyariah yang diajarkan Seh Lemah Abang.
Itulah hubungan dan gambaran Wali Songo dan Seh Siti Jenar yang di dalam tadisi naskah Pangeran Wangsakerta (Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Parwa 2 Sarga 4), babon, babad, dan cerita lisan (folklore) sebenarnya masih sama-sama berasal dari garis silsilah Ahlul Bait (anak-cucu keturunan Rasul).
Namun demikian kemudian antara Wali Songo dan Seh Siti Jenar mengalami polarisasi (Sunni-Syiah) melalui perbedaan dalam aspek preferensi teologi, yurisprudensi, ritus, ideologi, dan memuncak pada manuver, sikap, dan arah pergerakan politik kenegaraan.
Jadi Syiah sesungguhnya, berkaitan dengan aspek teologi. Sementara Ahlul Bait sebenarnya berkaitan dengan aspek genealogi (nasab).
Bahkan ekstrimnya meskipun sama-sama terikat dengan issue mengenai Ahlul Bait, Syiah Itsna Asyariah pada prinsipnya dan konstruksi keyakinannya, sebenarnya hanya mencintai, mengikuti, membela, dan mengakui hanya hingga sebatas generasi Ahlul Bait yang ke-12 saja, yakni Imam Mahdi atau Imam Al Muntazar (Muhammad bin Hasan Al Askari).
Karena setelah itu, Syi’ah Itsna Asyariah sebenarnya sama sekali tidak mengakui keberadaan dan kontinuitas garis silsilah Ahlul Bait dari seluruh percabangan genealogi yang bahkan sesungguhnya bersifat masyhur dan mutawatir diyakini umat Islam pada umumnya hingga modern ini.
Sehingga pada prinsipnya, Syiah Itsna Asyariah tidak mengakui eksisensi, otoritas, dan kredibilitas dari kalangan Sayid dan Syarif atau apa pun istilah lainnya yang berkembang.
Syiah Itsna Asyariah pada prinsipnya telah menafikan aspek keterhubungan dan komitmennya terhadap kemungkinan adanya kontinuitas garis silsilah dan kemungkinan adanya kharisma ‘imam-imam’ yang lain yang berkembang dalam komunitas Ahlul Bait hingga hari ini (bandingkan tradisi Imam dan Kohen bersama dengan tradisi Amir dan Syofet pada struktur politik keagamaan Yahudi).
Itulah penyederhanaan yang bisa penulis perbuat dan formulasikan untuk memberikan basis pemahaman mengenai gagasan Syiah dan Ahlul Bait, yang pada umumnya merupakan penganut Sunni (yang mana tidak semua Sunni merupakan Ahlul Bait) dengan kakteristik praktik tarekat/tasawuf Sunni. Agar menjadi mudah.
Batujajar, 07 September 2022 M
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.