Sebagai pembuka mari kita lihat duduk persoalan dari sudut pandang silsilah secara sederhana. Bahwa Maulana Hasanudin (Pangeran Sabakingkin) yang berkuasa di Banten merupakan putra Syarif Hidayatullah. Sementara Maulana Fadilah Khan (Tubagus Pase) yang berkuasa di Jayakarta merupakan menantu Syarif Hidayatullah.
Ketika Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Cirebon maka Maulana Hasanudin menjadi Adipati Banten. Demikian juga ketika Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Cirebon maka Maulana Fadhilah Khan menjadi Adipati Jayakarta.
Kedudukan antara Maulana Hasanudin dan Maulana Fadhilah Khan dengan demikian masih berada dalam satu derajat pada tingkatan silsilahnya, yakni sama-sama merupakan putra-putra Syarif Hidayatullah. Yang satu merupakan anak kandung dan yang satu lagi anak menantu.
Sedikit catatan tambahan sebelum memasuki pembahasan selanjutnya. Bahwa kedudukan Syarif Hidayatullah sebagai Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati tidak sesederhana dengan hanya memaknainya sebagai Sultan Cirebon. Karena kedudukan Syarif Hidayatullah lebih rumit dan tinggi lagi. Syarif Hidayatullah merupakan penguasa puncak yang berfungsi sebagai payung komando dan koordinasi terhadap penguasa-penguasa lainnya.
Di Cirebon sendiri yang berkuasa secara teknis sebenarnya bukan Syarif Hidayatullah, melainkan Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang juga merupakan putranya. Setelah Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana meninggal lebih awal pada masa muda (kemungkinan gugur dalam pertempuran-pertempuran atau operasi pembunuhan), maka kedudukan sebagai Adipati Cirebon jatuh kepada putra laki-laki terakhirnya Pangeran Pasarean (Muhammad Arifin).
Termasuk penobatan Trenggono (Ahmad Abdul Arifin) sebagai penguasa Demak untuk menggantikan Adipati Unus dan Raden Fatah sebenarnya dilakukan juga oleh Syarif Hidayatullah.
Kembali kepada persoalan utama. Bahwa pada saat ini banyak beredar catatan di internet bahwa Pangeran Sageri yang merupakan putra dari Sultan Banten 6 Abu Al Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa) datang ke Jatinegara untuk memperkuat basis pertahanan yang dilakukan oleh Ahmad Jakarta yang merupakan putra dari Sungerasa Jayawikarta setelah sebelumnya terusir dari pusat kawasan Jayakarta oleh Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen.
Pertanyaan sederhananya adalah: apakah benar bahwa Pangeran Sageri itu hidup pada masa yang sama dengan Pangeran Ahmad Jakarta sedang berkuasa di Jatinagara?
Apabila data-data dan arsip-arsip mencukupi, pertanyaan sederhana tersebut sebenarnya akan dengan mudah dijawab. Namun demikian karena minimnya sumber data dan arsip sejarah yang ada, maka setidaknya ada argumentasi logis yang bisa diajukan sebagai jawaban sementara. Sehingga pertanyaan tersebut dapat dijawab dan mendapatkan penjelasan yang lebih bersifat rasional.
***
Setelah sebelumnya kita mendudukan Maulana Hasanudin dan Maulana Fadilah Khan pada tingkatan yang sama dan sederajat, maka selanjutnya kita dapat mendudukan persoalan jabatan dan perpindahan jabatan dari satu generasi ke generasi yang lainnya dalam suatu perbandingan yang serupa sebagimana berikut:
Pangeran Jayakarta 1 Maulana Fadhilah Khan
Sultan Banten 1 Maulana Hasanudin
Pangeran Jayakarta 2 Tubagus Angke
Sultan Banten 2 Maulana Yusuf
Pangeran Jayakarta 3 Sungerasa Jayawikarta
Sultan Banten 3 Maulana Muhammad
Pangeran Jayakarta 4 Ahmad Jakarta
Sultan Banten 4 Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Pangeran Jayakarta 5 Pangeran Lahut
Sultan Banten 5 Abu Al Ma’ali Ahmad
Pangeran Jayakarta 6 Pangeran Padmanagara
Sultan Banten 6 Abu Al Fath Abdul Fatah
Pangeran Jayakarta 7 Pangeran Surya
Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar
Pangeran Jayakarta 8 Tubagus Muhammad Abu
Sultan Banten 8 Abu Al Fadhl Muhammad Yahya
Pangeran Jayakarta 9 Tubagus Abdurahman
Sultan Banten 9 Abu Al Mahasin Muhammad Zainul Abidin
Pangeran Jayakarta 10 Tubagus Imron
Sultan Banten 10 Muhammad Syifa Zainul Arifin
Pangeran Jayakarta 11 Tubagus Kasim
Sultan Banten 11 Sultan Syarifudin Ratu Wakil
***
Melalui pedoman silsilah dan tingkatannya kita kemudian dapat melakukan suatu analisa sederhana sebagaimana berikut:
Bahwa Pangeran Sageri merupakan putra Sultan Banten 6 Abu Al Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Demikian juga Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar (Sultan Haji) merupakan putra Sultan Banten 6 Abu Al Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa).
Hubungan antara Pangeran Sageri dengan Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar (Sultan Haji) dengan demikian merupakan saudara satu ayah. Lebih tepatnya bahwa Pangeran Sageri merupakan adik Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar (Sultan Haji).
Ketika di Kesultanan Banten, Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar berkuasa maka di Jayakarta berkuasa Pangeran Jayakarta 7 Pangeran Surya. Sehingga ketika Pangeran Sageri dari Banten tiba ke Jayakarta yang berpusat di Jatinagara, maka yang sedang berkuasa adalah Pangeran Jayakarta 7 Pangeran Surya.
Sultan Banten 7 Abu Nasar Abdul Kohar, Pangeran Jayakarta 7 Pangeran Surya dan Pangeran Sageri dengan demikian hidup pada satu zaman dan satu derajat pada tingkatan silsilahnya.
Mensejajarkan masa hidup Pangeran Sageri dengan Ahmad Jakarta dengan demikian menjadi terlihat bahwa hal demikian tidak masuk akal dan tidak realistis. Karena masa hidup Ahmad Jakarta dengan demikian satu zaman dengan buyut (uyut) Pangeran Sageri itu sendiri, yakni Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang dikenal sebagai Sultan Agung Banten.
Apabila pusat ibukota Jayakarta yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa berhasil direbut oleh Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC pada masa Pangeran Jayakarta 4 Ahmad Jakarta benar. Maka pertempuran melawan VOC tersebut dilakukan oleh aliansi Ahmad Jakarta bersama dengan Sultan Agung Banten, yakni Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir.
Ketika Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir masih belum cukup umur, ketika ayahnya Maulana Muhammad gugur dalam pertempuran di Palembang. Dikatakan di dalam narasi-narasi sejarah sempat akan menimbulkan konflik keluarga di Kesultanan Banten.
Konflik tersebut kemudian bisa dihindari setelah diselesaikan oleh Pangeran Jayakarta yang memberikan perlindungan atas hak putra mahkota tersebut. Wali atas Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir muda hingga kemudian mampu menjadi penguasa secara mutlak dengan demikian dapat secara otomatis diketahui, yakni Pangeran Jayakarta 3 Sungerasa Jayawikarta.
Demikian juga persoalan waktu berkuasanya Sultan Abu Al Fath Abdul Fatah akan dapat dikalibrasi dengan baik. Bahwa pertempuran dengan Jan Pieterszoon Coen bukan terjadi pada masa Sultan Abu Al Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa) melainkan pada masa kakeknya Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (Sultan Agung Banten).
Adapun Sultan Abu Al Fath Abdul Fatah semasa dengan King Charles 2 asal Inggris sebagaimana yang bisa dibuktikan dengan suratnya pada tahun 1682 Masehi. Atau sezaman dengan King Christian V asal Denmark sebagaimana yang bisa dibuktikan dengan suratnya pada tahun 1675 Masehi.
Demikian juga dengan kakeknya Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir mampu dibuktikan dengan surat kepada King James 1 pada 1605 Masehi dan kepada King Charles 1 pada 1629 Masehi. Yang apabila Jayakarta berhasil diambil alih kongsi dagang VOC di bawah Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1640 M tentu saja kini terlihat semakin jelas berada pada garis waktu berkuasanya Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir di Banten dan Ahmad Jakarta di Jayakarta.
Sebenarnya garis waktu ini akan membawa pada persoalan pada narasi sejarah pertempuran Jan Pieterszoon Coen dengan Sultan Agung Mataram ataupun kisah-kisah soal Adipati Ukur yang perlu dikritik ulang lebih baik lagi. Apakah pada zaman yang sama terdapat dua Sultan Agung? Apakah dalam penggempuran markas VOC di Batavia (bekas Jayakarta) Sultan Agung Banten dan Sultan Agung Mataram bekerjasama? Kenapa peran penggempuran Sultan Agung Mataram dan Adipati Ukur jauh lebih central dibandingkan peran dari Sultan Agung Banten dan Jayakarta/Jatinagara?
Pertanyan-pertanyaan tersebut dapat kita pikirkan kemudian. Tapi satu hal yang jelas, kita telah mendapatkan satu kepastian kecil melalui penalaran secara logis dan rasional bahwa Pangeran Sageri tidak hidup pada masa Ahmad Jakarta. Kebenaran tersebut tentu saja masih membutuhkan kerangka lainnya yang bersifat obektif dan korespondensif melalui asupan data-data yang bermutu.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.