Sejarah tentu saja harus ditulis dengan sandaran sumber dan data yang kuat sebagai asas pembuktian narasi berita. Namun demikian, karena satu dan lain hal yang masih menghambat pada diperolehnya sumber dan data yang kuat untuk menghasilkan suatu narasi berita sejarah yang kuat; maka narasi-narasi standar yang beredar dapat dijadikan sumber dan data untuk dianalisa dan dikoherensikan terlebih dahulu, sebagai suatu langkah awal yang paling logis sebelum kemudian melakukan validasi kea rah sumber dan data kuat yang pada akhirnya dapat diperoleh.

Demikian juga dalam topik yang pada kali ini penulis suguhkan. Bahwa sumber berita dan data standar yang beredar dapat dikatakan bersifat umum dan seragam bahwa apa yang dimaksud sebagai Pangeran Jayakarta 1 adalah Fadhilah Khan, sementara apa yang biasa dikatakan sebagai Pangeran Jayakarta 2 adalah Tubagus Angke. Namun demikian perlu digaris bawahi bahwa banyak penulis yang masih gamang dan keliru dengan mempersamakan sosok Fadhilah Khan dengan Syarif Hidayatullah sebagai orang yang sama.

Sehingga kegamangan dan kekeliruan atas identifikasi tokoh tersebut berimplikasi pada kesimpulan baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa Pangeran Jayakarta 1 dengan demikian adalah Syarif Hidayatullah. Padahal Syarif Hidayatullah yang dikenal juga dengan nama Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati merupakan Sultan dari Kesultanan Cirebon. Sementara Pangeran Jayakarta 1, yakni Fadhilah Khan merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah itu sendiri.

Pangeran Jayakarta 1 berarti Penguasa Jayakarta 1. Penguasa di sini berarti menjabat sebagai Syah Bandar kawasan pelabuhan Jayakarta yang sebelumnya pada masa Kerajaan Sunda atau dikenal juga dengan nama Kerajaan Pajajaran bernama Pelabuhan Sunda Kalapa. Apabila pada masa kekuasaan Pajajaran, Sunda Kalapa menjadi kawasan khusus yang berada di bawah ibukota Pakuan. Maka pada masa kekuasaan Cirebon, Jayakarta menjadi kawasan khusus yang berada di bawah ibukota Dalem Agung Pakungwati.

Kepangeranan atau Syah Bandar kawasan Jayakarta tersebut berada pada strata administrasi setingkat Kadiapten yang dipimpin oleh penguasa dengan jabatan sebagai Adipati, yang pada umumnya membawahi beberapa wilayah administrasi setingkat Kabupaten yang dipimpin oleh penguasa dengan jabatan sebagai Bupati. Pada masa kolonial, jabatan setingkat Adipati ini biasa disebut sebagai Residen dengan wilayah administrasinya yang biasa disebut dengan Karesidenan. Dalam sudut pandang modern, meskipun wilayahnya cenderung lebih kecil daripada kawasan Kegubernuran yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Maka jabatan Adipati ini sebenarnya sama dengan kedudukan Gubernur yang berkuasa atas wilayah Kegubernuran.

Hanya saja pada masa kolonial, Adipati yang sebelumnya hanya tunduk pada Raja atau Sultan itu kemudian harus tunduk pada jabatan Gubernur General yang berarti Gubernur Umum atau Kepala Gubernur atau Koordinator Gubernur. Sehingga dengan demikian, Adipati pada prinsipnya memang merupakan Gubernur dalam sudut pandang modern. Namun demikian, Gubernur General dalam perspektif kolonial Eropa merupakan jabatan yang diemban di bawah kekuasaan Raja, aliansi Raja, dan perkongsian dagang yang mana sahamnya dimiliki oleh mereka untuk berkuasa di tanah jajahan (kongsi dagang di bawah aliansi republik-republik Belanda). Jabatan Adipati yang semula tunduk pada raja atau sultan pribumi kemudian harus tunduk pada raja penjajah di negeri seberang melalui Gubernur General atau Adipati mereka. Dan lagi kemudian jabatan Adipati atau kemudian disebut Residen tersebebut kemudian tidak lagi boleh dijabat oleh pribumi melainkan oleh pejabat colonial Eropa. Kekuasaan pribumi kemudian pada prakteknya dibatasi hanya pada jabatan paling tinggi sebagai Bupati saja.

Kembali pada daftar pengusa kawasan Jayakarta, maka Pangeran Jayakarta 1 dan Pangeran Jayakarta 2 lebih mudah untuk diidentifikasi sebagai Fadhilah Khan (Jayakarta 1) dan Tubagus Angke (Jayakarta 2). Adapun mengenai daftar penguasa Jayakarta selanjutnya lebih rumit untuk diidentifikasi. Namun demikian, betapapun sulitnya sumber dan data yang ada sebenarnya masih dapat dikoherensikan berdasarkan penalaran kritis hingga melahirkan dua sosok penguasa selanjutnya yang biasa disebut dengan Sungerasa Jayawikarta dan Ahmad Jakerta. Sungerasa Jayawikarta kemudian dapat dikatakan sebagai Pangeran Jayakarta 3 dan Ahmad Jakerta kemudian dapat dikatakan sebagai Pangeran Jayakarta 4.

Masalah yang biasa terjadi adalah bahwa Sungerasa Jayawikarta yang biasa disebut juga dengan nama Pangeran Wijayakrama biasa dianggap sama dengan Ahmad Jakerta, yang secara tradisional diidentikan dengan nama Jayakarta. Hal yang perlu dikritisi adalah bahwa Jayakarta merupakan nama kawasan yang sebelumnya disebut Sunda Kalapa. Jayakarta kemudian juga menjadi identik dengan makna penguasa kawasan Jayakarta, yang seharusnya disebut atau ditulis dengan istilah Pangeran Jayakarta atau Adipati Jayakarta atau Syah Bandar Jayakarta. Jayakarta dengan demikian dapat diketahui bukanlah nama seseorang melainkan nama gelar atau jabatan penguasa Jayakarta yang lebih tepat apabila kita sebut saja Pangeran Jayakarta, Adipati Jayakarta, dan atau Syah Bandar Jayakarta.

Adapun penjelasannya adalah bahwa Pangeran Jayakarta 1, yakni Fadhilah Khan merupakan menantu dari Sultan Cirebon, yakni Syarif Hidayatullah. Selanjutnya Pangeran Jayakarta 2, yakni Tubagus Angke merupakan menantu dari Pangeran Jayakarta 1, yakni Fadhilah Khan. Kemudian Pangeran Jayakarta 3, yakni Pangeran Wijayakrama atau Sungerasa Jayawikarta merupakan putra dari Pangeran Jayakarta 2, yakni Tubagus Angke. Sementara Pangeran Jayakarta 4, yakni Ahmad Jakerta merupakan putra dari Pangeran Jayakarta 3, yakni Pangeran Wijayakrama atau Sungerasa Jayawikarta.

Masa hidup Pangeran Jayakarta 1 (Fadhilah Khan) setara dengan masa hidup Sultan Banten 1 (Maulana Hasanudin). Mereka berdua adalah menantu dan putra dari Sultan Cirebon (Syarif Hidayatullah). Masa hidup Pangeran Jayakarta 2 (Tubagus Angke) setara dengan masa hidup Sultan Banten 2 (Maulana Yusuf). Masa hidup Pangeran Jayakarta 3 (Pangeran Wijayakrama/Sungerasa Wijayakarta) setara dengan masa hidup Sultan Banten 3 (Maulana Muhamad). Dan masa hidup Pangeran Jayakarta 4 (Ahmad Jakerta) setara dengan masa hidup Sultan Banten 4 (Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir/Pangeran Ratu/Sultan Agung).

Analisa tersebut merupakan perkiraan kasar untuk mendudukkan jabatan-jabatan Pangeran Jayakarta yang sebelumnya berada dalam pengawasan Sultan Cirebon (masa Syarif Hidayatullah), kemudian bergeser menjadi berada di bawah pengawasan Sultan-Sultan Banten (masa Hasanudin hingga Abdul Mafakhir). Pada masa Fadhilah Khan, kekuasaan Portugis berhasil disingkirkan dari Sunda Kalapa. Pada masa Tubagus Angke, pusat kekuasaan Sunda berhasil diruntuhkan untuk memotong mata rantai kerjasama Sunda dengan Portugis. Pada masa Sungerasa Jayawikarta, tantangan baru datang dari Portugis, Inggris dan kemudian Belanda (bersama kongsi-kongsi dagang bersenjata Eropa lainnya yang perananmya dan pemberitaannya minim).

Tampaknya Sungerasa Jayawikarta bersama dengan Maulana Muhamad mulai mengalami keterdesakan melawan Portugis (sebuah analisa) yang bekerja sama dengan sekutu-sekutu penguasa dan tentara bayaran pribuminya. Maulana Muhamad dikabarkan gugur dalam pertempuran di Palembang, sementara Sungerasa Jayawikarta dikabarkan mengalami kekalahan di Jayakarta. Kekalasan Sungerasa Jayawikarta kemungkinan terjadi selepas masa pelayaran Cornelis de Houtman yang sempat mencatat bahwa Sungerasa Jayawikarta merupakan Konig  van Jacatra (Prince of Jakarta) pada masanya. Sikap arogan yang dilakukan Cornelis de Houtman membawa permusuhan di Banten, Jayakarta, dan Madura. Dan kemudian gugur dalam pertempuran melawan Laksamana Keumalahayati di Aceh tahun 1599 M.

Sungerasa Jayawikarta kemungkinan masih berkuasa pada saat datangnya Gubernur General VOC 1 Pieter Both (1610-1614 M), Gubernur General VOC 2 Gerard Reynst (1614-1415 M), Gubernur General VOC 3 Laurens Reael (1615-1619 M), Gubernur General VOC 4 Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 M), Gubernur General VOC 5 Pieter de Carpentier (1623-1627 M), dan Gubernur General VOC 6 Jan Pieterszoon Coen (1627-1629 M). Hal ini bisa diperkirakan karena ketika Sultan Banten ke 3 (Maulana Muhamad) gugur dalam pertempuran di Palembang, kekisruhan atas perwalian Sultan Banten ke 4 (Abdul Mafakhir) dapat diselesaikan atas kharisma dan otoritas Pangeran Jayakarta 3 (Pangeran Wijayakrama/Sungerasa Jayawikarta).

Sultan Banten ke 4 (Abdul Mafakhir) baru berkuasa penuh dan lepas dari penguasa perwalian karena telah berumur dewasa adalah pada tahun 1624 M. Adapun pada masa penaklukan Jayakarta yang jatuh pada tanggal 30 Mei 1619 M ke tangan pendudukan VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen, penguasa Jayakarta kemungkinan masih dipegang oleh Pangeran Wijayakrama/Sungerasa Jayawikarta. Setelah kekalahan Sungerasa Jayawikarta, kekuasaan berganti kepada Ahmad Jakerta yang kemudian mengalami keterdesakan hingga menggeser pusat kekuasaannya ke kawasan Jatinegara (kemudian akan berubah menjadi kawasan Meester Cornelis).

Dari sini dapat diperkirakan bahwa naiknya Sultan Banten ke 4 (Abdul Mafakhir) dan Pangeran Jayakarta ke 4 (Ahmad Jakerta) dihadapkan pada situasi untuk bergerilya dan merebut kembali kawasan Jayakarta yang telah jatuh ke dalam kekuasaan VOC sejak masa Jan Pieterszoon Coen. Apabila terjadi ada dua sultan agung (namun demikian tidak mungkin) maka pada lapisan kronologi sejarah inilah terjadinya, yakni keberadaan Sultan Agung Banten (Abdul Mafakhir) dan Sultan Agung Mataram (Hanyokrokusuma) melawan Jan Pieterszoon Coen. Diskursus mengenai hal ini sangat wajar dan penting untuk diperhatikan oleh sejarawan dan peminat sejarah.

Pada tahun 1624 M Abdul Mafakhir naik tahta sebagai penguasa penuh Banten. Sementara pada tahun 1652 M, Abu Al Fath Abdul Fattah/Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta. Kemungkinan benar bahwa putra Abdul Mafakhir, yakni Abu Al Maali Ahmad tidak sempat menjadi sultan penuh Banten menggantikan ayahnya karena meninggal muda. Kedudukan Abu Al Maali hanya sempat menjadi sebatas Pangeran, Putra Mahkota, Wakil Sultan, atau Sultan Muda. Meninggalnya Sultan Muda Abu Al Maali kurang banyak diulas, kita bisa asumsikan dengan mengingat situasi sengit tengah terjadi, maka Sultan Muda tersebut kemungkinan gugur dalam pertempuran melawan VOC (kongsi dagang milik aliansi republik-republik Belanda). Dengan demikian, Sultan Banten ke 4 (Abdul Mafakhir) sementara Sultan Banten ke 5 (Sultan Ageng Tirtayasa).

Pada masa kekuasaan Ahmad Jakerta berpindah ke Jatinegara, di Banten kekuasaan sudah berganti menuju Sultan Ageng Tirtayasa. Kesetaraan masa hidup Ahmad Jakerta jelas melalui analisa ini sederajat dengan Abdul Mafakhir. Apabila Ahmad Jakerta berusia panjang dan hidup hingga masa Sultan Ageng Tirtayasa, maka telah mengabdi pada tiga generasi (Abdul Mafakhir, Abu Al Maali apabila suksesi normal, dan Abu Al Fath). Sementara beredar juga apabila Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan beberapa putranya, yakni Pangeran Sake dan Pangeran Sogiri (adik-adik Putra Mahkota Pangeran Haji) untuk membantu posisi perlawanan Ahmad Jakerta yang tengah berlaku sebagai Pangeran Jayakarta. Maka jika dengan demikian, Ahmad Jakerta haruslah hidup selama 4 generasi  (Abdul Mafakhir, Abu Al Maali apabila suksesi normal, Abu Al Fath, dan Sultan Haji [kekeliruan dalam menafsirkan surat-surat sultan Banten membuatnya disudutkan menyerang kekuasaan ayahnya padahal tidak]). Hanya saja, rasanya hal tersebut kurang begitu masuk akal.

Apabila kemudian terdapat nama Pangeran Sogiri yang biasa disebut juga dengan dialek lainnya sebagai Pangeran Sageri, dan Pangeran Sugiri yang dianggap sebagai Pangeran Jayakarta; maka kesederajatannya tentu saja harus semasa dengan kakaknya yakni Sultan Haji (Abu Nasar Abdul Qohar/Maulana Mansyurudin). Maka setidaknya harus ada jabatan transisi yang menghubungkan antara masa Pangeran Sageri (setata Sultan Haji) dengan Ahmad Jakerta (setata Abdul Mafakhir) yang terpaut kesederajatan generasi sebanyak 3 generasi. Dan lagi masa kekuasaan atas wilayah Jayakarta secara penuh sebenarnya telah berakhir sejak masa Ahmad Jakerta (Pangeran Jayakarta 4). Selepas masa Ahmad Jakerta, penguasa selanjutnya sejak Ahmad Jakerta menyusun kekuasaan baru di Jatinagara; maka kekuasaan Ahmad Jakerta hingga Pangeran Sageri akan lebih tepat apabila disebut sebagai penguasa atas wilayah Jatinagara sebagai evolusi dari kekuasaan Jayakarta yang direbut oleh VOC sejak masa Jan Pieterszoon Coen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".