Pada tanggal tertanggal 11 Juni 2020 M (20 Syawal 1441 H) di Jakarta, Maktab Daimi Rabitah Alawiyah mengeluarkan Surat No. 39/MD-RA/VI/2020 M, mengenai “Pernyataan Maktab Daimi tentang Qabilah atau Marga Azmatkhan dan Lembaga Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional”, Surat tersebut ditujukan kepada Seluruh DPC Rabitah Alawiyah Se-Indonesia.
Adapun setelah membaca surat tersebut, terdapat beberapa sikap Maktab Daimi Rabitah Alawiyah yang perlu untuk diketahui:
Pertama, bahwa Maktab Daimi dari Rabitah Alawiyah pada dasarnya mengakui keberadaan qabilah Azmatkhan sebagai salah-satu qabilah atau marga yang dimiliki oleh Saadah Bani Alawi.
Kedua, bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah pada dasarnya mengakui qabilah Azmatkhan sebagai salah-satu qabilah yang memiliki ketersambungan nasab hingga kepada sosok Sayid Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath.
Ketiga, bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah menyatakan bahwa hingga sejauh ini mereka secara kelembagaan hanya memiliki syajarah nasab qabilah Azmatkhan hingga sebatas sampai kepada generasi Walisongo saja.
Keempat, bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah dengan demikian pada prinsipnya tidak akan melakukan kegiatan pengisbatan atau pengesahan mengenai kebenaran nasab qabilah Azmatkhan kepada generasi yang berkembang setelah generasi Walisongo.
Kelima, bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah dalam permasalahan pengisbatan atau pengesahan kebenaran nasab qabilah Azmatkhan setelah generasi Walisongo, tidak berada dalam kedudukannya untuk memberikan pengakuan kepada lembaga nasab Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional.
Surat resmi edaran Maktab Daimi Rabitah Alawiyah tersebut, ditandatangani secara langsung oleh Ketua Harian Maktab Daimi Rabitah Alawiyah Ahmad Muhammad Alatas, Sekretaris Maktab Daimi Rabitah Alawiyah M. Bagir Alhaddad, dan Ketua Umum DPP Rabitah Alawiyah Zen Umar Sumaith.
Perlu diketahui bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah merupakan Kantor Pemeliharaan Nasab dan Statistika Alawiyin yang berada di bawah lembaga Rabitah Alawiyah. Sementara lembaga Rabitah Alawiyah itu sendiri adalah lembaga yang didirikan untuk menghimpun keturunan dari Nabi Muhammad SAW yang berada di Indonesia, khusus yang berasal dari seluruh garis keturunan:
Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidi bin Jafar al Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain, yang mana Husain itu sendiri merupakan putra pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW.
Adapun kedua cucu Nabi Muhammad SAW, yakni Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husain bin Abi Thalib di dalam hadits-hadist tetap dimaknai sebagai buah hati atau dzuriat dan penerus garis keturunannya, karena putra-putra laki-laki Rasulullah seluruhnya meninggal pada masa masih kanak-kanak.
Lembaga Rabitah Alawiyah tersebut pertama kali didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) berdasarkan akta notaris Mr. A.H. Van Ophuijsen No. 66 pada tanggal 16 Januari 1928 M, yang kemudian mendapatkan pengesahan secara resmi oleh pemerintah kolonial India-Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 M.
Adapun pendirinya antara lain: Muhammad bin Abdurrahman bin Shahab, Abubakar bin Abdullah al Attas, Abdullah bin Ali al Aydarus, Abubakar bin Muhammad Al Habsyi, Indrus bin Ahmad bin Shahab, Ahmad bin Abdullah al Seggaf, Ali bin Abdurrahman al Habsyi, Alwi bin Muhammad al Haddad, Alwi bin Thohir al Haddad, Abdullah bin Umar al Zahir, Abdullah bin Abubakar al Habsyi, dan Salim bin Ahmad Bawazir.
Pada saat ini layanan, yang diberikan oleh Maktab Daimi Rabitah Alawiyah di Jakarta tersebut, tidak hanya menjangkau seluruh Alawi yang berada di Indonesia saja, melainkan menjangkau seluruh Alawi yang berada di seluruh kawasan Asia Tenggara. Alawi dalam hal ini mengandung pengertian sebagai seluruh keturunan dari tokoh:
Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidi bin Jafar al Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain. Sementara Husain sendiri merupakan putra pasangan dari Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW. Istilah lain dari anak-cucu keturunan Alwi adalah Alawiyin, Ba’Alawi, Bani Alwi, atau Saadah Bani Alwi.
Sementara itu, apa yang disebut oleh Maktab Daimi Rabitah Alawiyah, yakni Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional, maksudnya adalah merujuk pada lembaga pencatatan nasab keturunan Nabi Muhammad SAW yang didirikan di Hyderabad (India) pada tanggal 19 September 1869 M oleh Sultan Sayid Mir Mahbub Alikhan Azmatkhan bin Mir Muhammad Quthbuddin Azmatkhan di Kesultanan Hyderabad Azmatkhan, dengan nama resmi lembaga Baitul Ansab Lil Asyraf Azmatkhan Wa Ahlulbayt Al Alamy.
Adapn tujuan dari didirikannya Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional tersebut adalah untuk mencatat seluruh keturunan Nabi Muhammad SAW, baik yang berasal dari qabilah-qabilah Hasani (Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW) maupun dari qabilah-qabilah Husaini (keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW).
Sejarah pendirian lembaga Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional di Hyderabad (India) itu sendiri pada dasarnya lebih tua dari Maktab Daimi Rabitah Alawiyah di Jakarta (Indonesia), hanya saja reputasi dan pengaruh lembaga Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional tersebut baru terasa menguat baru-baru ini di Indonesia seiring dengan tumbuhnya kesadaran baru mengenai betapa pentingnya tradisi pencatatan kembali garis silsilah yang berasal dari keturunan para penyebar Islam awal, Wali Songo, dan sultan-sultan yang pernah berkuasa di seluruh Indonesia yang pada dasarnya berasal dari Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad SAW).
Animo terhadap Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional semakin mendapatkan tempat di hati sebagian masyarakat Indonesia yang membutuhkan tradisi penmcatatan dan pengisbatan dari lembaga otoritatif, hanya saja tidak mendapatkan ruang pengakuan dari Maktab Daimi Rabitah Alawiyah yang berdasarkan suatu pertimbangan standar dan metode tidak dapat mengakomodasi harapannya.
Padahal dasarnya, keturunan dari penyebar Islam, Walisongo, dan sultan-sultan di Indonesia tersebut berpangkal pada tokoh:
Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidi bin Jafar al Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain, yang mana Husain itu sendiri adalah putra pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW.
Sehingga pada prinsipnya, Abdul Malik bin bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali Qasam adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir bin Isa al Rumi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidi bin Jafar al Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain, yang mana Husain itu sendiri adalah putra pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Al Zahra binti Nabi Muhammad SAW.
Maka dengan demikian, keturunan dari Abdul Malik bin bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali Qasam, pada prinsipnya sama-sama bagian dari kalangan Alwi, Alawiyin, Ba’Alawi, Bani Alwi, atau Saadah Bani Alwi.
Abdul Malik yang merupakan Sayid kelahiran Qasam Hadral Maut (Yaman) inilah, yang kemudian melakukan migrasi ke Nashirabad (India) pada tahun 1178 M. Di Nashirabad (India) tersebut, Sayid Abdul Malik adalah orang yang kemudian menikah dengan putri sultan Nashirabad, yang membuatnya diberikan gelar bangsawan kehormatan Nashirabad sebagai Khan.
Namun demikian, dikarenakan Sayid Abdul Malik bukan berasal dari garis silsilah asli Nashirabad, maka gelar Khan tersebut diberikan tambahan didepannya dengan gelar Azmat sehingga menjadi Azmatkhan. Kata Azmat yang berati Mulia tersebut, sebenarnya gelar yang sepadan untuk menyatakan asal-usulnya sebagai Sayid. Itulah kenapa, Abdul Malik kemudian lebih dikenal namanya sebagai Sayid Abdul Malik Azmatkhan.
Permasalahan yang terjadi pada generasi keturunan Sayid Abdul Malik Azmatkhan sebagai gelombang migrasi awal Alawiyin dari Hadral Maut (Yaman) ini adalah karena terjadi proses perkawinan silang yang intensif dengan masyarakat bukan Alawiyin. Adapun proses pernikahan pada periode klasik tersebut, yang bersifat politis kekerabatan sebenarnya masih berada dalam koridor penetapan kaidah, kaifiah, dan afdol pernikahan.
Kecenderungan rusaknya seluruh kaidah, kaifiah, dan afdol pernikahan tersebut kemungkinan justru baru terjadi pada periode akhir masa kolonialisme India Belanda dan masa awal pergerakan kemerdekaan dan pada masa awal pemerintahan RI yang mana mulai menunjukkan bukti lemahnya kesadaran soal nasab karena perubahan struktur politik dan sosial yang ekstrim.
Namun demikian sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Maktab Daimi Rabitah Alawiyah masih berani untuk mencatatkan keberadaan anggota qabilah atau marga Azmatkhan ini terakhir hingga generasi Walisongo. Hanya saja tanpa adanya perhatian sama sekali dari Maktab Daimir Rabitah Alawiyah terhadap aspek keturunan mereka, maka memiliki resiko besar terhadap hilangnya keturunan Wali Songo sebagai bagian dari mata rantai silsilah Alawiyin.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.