Kota Pura Polis

Istilah Kota (Indonesia), di dalam bahasa Sanskrit disebut dengan kata Pura yang biasa juga diucapkan dengan kata Pur. Kata Pura tersebut berakar dari kata Pri yang biasa juga diucapkan Pr, yang berarti Mengisi. Sementara kata jamak dari Pri (tunggal), dalam bahasa Sanskrit adalah Priparti.

Kata Pura yang berasal dari bahasa Sanskrit tersebut kemudian masuk dan terinternalisasikan ke dalam bahasa-bahasa di Kepulauan India (Indonesia), seperti Jawa, Sunda, dan Melayu yang akan menjadi dasar pengembangan bahasa Indonesia.

Apabila ditelusuri, maka tahap perkembangan imajinasi linguistik dimulai dari kata Pri, yang berarti Mengisi. Mengisi adalah aktifitas untuk memindahkan sesuatu barang ke dalam suatu wadah tertentu. Dari kata Pri yang berarti Mengisi tersebut, kemudian akan dihasilkan dua buah imajinasi lingustik lanjutan. Yang pertama, menjadi kata Puru yang berarti Banyak. Dan yang kedua, menjadi kata Purna yang berarti Penuh.

Jika suatu benda atau barang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya yang merupakan aktifitas Mengisi, maka pada kenyataannya akan menghasilkan suatu kualitas yang disebut Banyak (Puru) karena terus bertambah. Dan juga akan menghasilkan suatu kualitas yang disebut dengan kata Penuh (Purna) karena telah menghasilkan kondisi dari volume atau dimensi wadah atau medium barangnya yang terisi maksimal.

Sesuatu yang telah mencapai kualitas Penuh (Purna), maka akan mengandung arti lain sebagai yang telah Tuntas atau Sempurna. Misalnya pada gagasan Rembulan yang bercahaya Penuh, atau seseorang yang telah meninggal karena telah Penuh untuk menuntaskan seluruh masa tugas hidupnya di dunia. Kematian dengan demikian berasosiasi dengan makna Tuntas, Selesai, Penuh, atau Sempurna.

Istilah Pura, yang artinya Kota dengan demikian berkaitan dengan tercapainya suatu tingkat pemukim dan pemukiman masyarakat manusia penyokongnya yang menjadi Banyak (Puru) atau Penuh (Purna).

Sementara manusia yang menjadi masyarakat penghuninya disebut dengan istilah Purusa, yang artinya Warga Kota (lugasnya Dia [Sa] yang banyak [Puru] atau dengan kata lain kumpulan manusia atau masyarakat atau pemukim yang tinggal atau menghuni suatu Kota [Pura]).

Ada beberapa kategori atau klasifikasi Pura (Kota) dalam khazanah Hindu yakni Pura, Kheta, Karvata, dan Grama yang didasarkan atas luasan atau ukurannya. Ukuran di atas 4000 Hasta persegi disebut dengan Pura (Besar). Ukuran setengah dari Pura disebut dengan Kheta (Menengah) yang akan masuk dan terinternalisasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata Kota. Ukuran dibawah Kheta disebut dengan Karvata (Kecil). Dan susunan pemukiman atau perkampungan sebagai dasarnya disebut dengan Grama (Lembur) yang terhubung dengan kata Graha (Rumah).

Kata Pura dalam bahasa Sanskrit tersebut sebenarnya sejajar dengan kata Yunani Polis, artinya Kota (City). Kata Purusa dalam bahasa Sanskrit akan sejajar dengan kata Polites artinya Warga (Citizen). Kata Polis dalam bahasa Yunani tersebut berasal dari kata Poli, artinya Banyak (Much).

Kemudian coba bandingkan dengan kata Populus dalam bahasa Latin yang berarti Masyarakat, atau Rakyat, atau kumpulan Manusia (People), yang berasal dari kata Latin Plenus (Penuh). Dan atau Folk di dalam bahasa Inggris yang berarti Masyarakat atau Rakyat, yang berasal dari kata Full (Penuh).

Masyarakat Eropa dan Barat pada umumnya merujuk pada basis Teologi Judeo-Christian, yang namun demikian tidak bisa dilepaskan dari akar kebudayaan lama Yunani dan Latin. Sebagaimana masyarakat Kepulauan India (Indonesia) yang pada umumnya merujuk pada basis Teologi Islam, yang namun tidak bisa dilepaskan dari akar kebudayaan Hindu dan Budha (Sanskrit dan Prakrit [Pali]).

Sementara itu, jika kita jeli untuk mengamati perbandingannya, maka gagasan dari kebudayaan Hindu-Budha akan sejajar dengan gagasan kebudayaan Yunani-Latin, yang sesungguhnya terhubung dan memiliki basis historis dan warisan bersama.

Jika basis penguasaan Hindu-Budha kita fasih, kita seharusnya tidak akan menjadi pusing dengan gagasan-gagasan Yunani dan atau Romawi yang didatangkan masyarakat Barat, yang sesungguhnya memiliki basis kesejajaran dengan Sanskrit dan Pali yang bahkan juga gagasan-gagasannya sedikit banyak telah diterapkan berabab-abad yang lalu pada masa silam.

Dimana seharusnya kita tidak perlu gagap dengan kata Demokrasi dan Republik, atau kata Aristokrasi dan Monarkhi. Karena bukankah kita telah mengkhatamkannya, atau barangkali kita telah menjadi terlupa sehingga sebegitu asing dan kemudian merindukannya untuk kembali.

Atau barangkali kita hanya sekedar memerlukan proses remedial agar mampu mencerna segala kerumitan dari segara pertemuan arus yang datang tiba-tiba. Agar kemudian mampu menuntaskan ujian yang telah tertunda.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".