Di dalam sistem unit administrasi modern di Tanah Air (Indonesia) pada saat ini, terdapat konsep Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati dan terdapat konsep Kota (sebelumnya menggunakan istilah Kotamadya) yang dipimpin oleh Walikota.
Pada masa kolonial India-Belanda, konsep Kabupaten disebut dengan Regentschap dan konsep Bupatinya disebut dengan Regent. Sementara konsep Kota disebut dengan Gemeente dan konsep Walikotanya disebut dengan Burgemeester.
Sebagai suatu perbandingan, di dalam sistem tata-kelola Amerika Serikat (yang bersumberkan pada akar tradisi dari sistem tata-kelola masa kolonial Britania di Amerika Serikat), konsep Kabupaten disebut dengan County dan konsep Bupatinya disebut dengan beberapa istilah antara lain County Executive, County Manager, County Mayor, dan County Judge. Sementara konsep Kota disebut dengan istilah City dan konsep Walikotanya disebut dengan Mayor.
Di dalam tradisi Spanyol (Semenanjung Iberia di Eropa Barat) dan negara-negara dengan akar pengaruh kebudayaan kolonial Spanyol di Benua Amerika (Latin) hingga saat ini, Walikota disebut dengan Alcalde (istilah modern Alcalde Mayor). Alcalde dalam bahasa Spanyol tersebut berakar dari bahasa Arab Al-Qadi, yang konsep dan tata-kelolanya diserap dari konsep dan tata-kelola Andalusia Islam oleh Castile dan Leon sebagai pionirnya paska peristiwa Reconquista.
Di Amerika Serikat, istilah Alcalde juga sebenarnya pernah digunakan sebagai padanan konsep Mayor (Walikota) yang kemudian digantikan oleh istilah Inggris yang secara bertahap menggeser kantung-kantung pengaruh kebudayaan Spanyol di Amerika Serikat. Namun demikian, konsep County Judge (Bupati) sebenarnya hanyalah merupakan perubahan istilah dari konsep dan tata-kelola yang sama dengan apa yang sebelumnya dikenal dengan Alcalde pada masa kolonial Spanyol.
Dari sini secara sederhana dapat diketahui jika konsep mendasar dari Walikota, Bupati, termasuk konsep Residen dan atau Gubernur (Adipati) pada prinsipnya bukan sekedar menjalankan fungsinya sebagai pucuk Eksekutif, melainkan juga menjalankan fungsi Legislatif dan terutama menjalankan fungsi Yudikatif (judicial functions).
Dengan demikian, hal itu dapat menjawab bagaimana Walikota atau Gubernur yang merupakan Amir atau Wali pada prinsipnya adalah sebagai Qadi (Judge) dan dengan demikian bahkan sekaligus menjadi puncak komando untuk Shurtah (Kepolisian) dan termasuk Jund (Ketentaraan). Hal demikian juga dapat menjawab bagaimana Walikota dan Gubernur dalam bahasa Inggris identik dengan gelaran kemiliteran Mayor (‘besar’) dan General (‘umum’).
Hal demikian juga dapat menjawab kenapa sistem Kepolisian di Amerika Serikat misalnya; dimana Police harus tunduk pada komando Mayor (Walikota) dan Sheriff tunduk pada komando County Judge (Bupati). Police dan Sheriff bukanlah unit pembantu pada tingkat pusat, melainkan mengabdi untuk kepentingan tatanan daerah. Dan National Guard (militer) yang setara dengan kedudukan unit KODAM (Komando Daerah Militer) harus tunduk dibawah komando Gubernur; dan hanya pada kasus-kasus tertentu akan diperbantukan secara gabungan oleh pusat atas persetujuan konstitusi.
Dasar teori yang sama sebenarnya dapat dipelajari dalam sistem kuno kerajaan di Nusantara dimana Raja atau Prabu atau Ratu (King yang sejajar dengan sistem modern Presiden) kemudian dapat dijembatani oleh Maha-patih (Prime Minister); namun demikian, pada dasarnya sistem ditingkat rendah merupakan unit organisasi administratif yang bersifat otonom berupa Adi-pati(h) yang sejajar dengan konsep modern Governor atau Residen dan Bu-pati(h) yang sejajar dengan konsep modern County Judge atau Mayor.
Khusus untuk pengelolaan Kota Suci Makah pada periode Islam, dimana siapapun yang menjadi Khalifah (Ibrani: Khaliphot) sejak masa akhir Abbasiyah hingga masa akhir Otoman; Kota Suci Makah (Syarifat Makah) akan tetap dikelola oleh Syarif. Dalam bahasa Inggris variasi ejahan Syarif adalah Shareef, Sherif, Shreef, Shareef, Alsharif, Alshareef, Cherif, dan bahkan termasuk Sheriff.
Suatu hal yang wajar jika konsep Sheriff yang berkembang dalam tradisi kepolisian di Amerika Serikat dan dalam tradisi kepemimpinan bangsawan (Duke) pada kawasan administrasi otonom di Inggris (yang umumnya dengan asumsi dari kata Shire Reeve) dan dengan kata Syarif (Noble atau Mulia) dalam bahasa Arab secara fakta Historis dan Filologis layak untuk diuji adanya kemungkinan korelasinya secara kronologis dan pasti (bahkan kata City masih merupakan pengaruh dari gagasan dan kosa-kata Arab).
Dari konstelasi dan pemetaan perkembangan unit administrasi Kota dan Kabupaten yang ada dalam lintasan budaya dan khazanah bangsa-bangsa terlepas dari adany perbedaan bahasa dan istilah-istilah yang ada pada prinsipnya dapat terlihat dengan jelas bahwa semua aturan main yang ada idealnya bersifat sama.
Apa yang perlu dilakukan adalah memegang tegus konsepnya secara jelas dan menerapkannya sesuai grand teori yang ideal tanpa terintrupsi oleh hadirnya distorsi atas adanya kepentingan-kepentingan di luar tujuan tata-kelola organisasi kemasyarakatan yang baik itu sendiri.
Apa yang membedakan Walikota yang merupakan bagian integral dari Dewan Kota dan Bupati yang merupakan bagian integral dari Dewan Kebupatian (semuanya bukan seperti konsep DPRD yang massal dan boros) hanyalah memiliki perbedaan di dalam medan kelolaannya (manajemennya). Prinsip yang sama juga dilakukan dalam pola Gemeente dan City dan juga Regentschap dan County.
Mengelola sebuah Kota ibarat mengelola suatu sistem bisnis dan perusahaan, sementara mengelola Kabupaten memang diharuskan cenderung lebih bersifat konservatif. Kabupaten adalah basis dimana segala sumber daya alam berada: hutan, perkebunan, peternakan, tambang, perikanan, kelautan, kawasan konservasi perlu dikelola dan dipertahankan.
Sehingga biarkan Kota gemerlap, tumbuh dan berkembang menjadi gedung-gedung pencakar langit dan pusat-pusat perbelanjaan yang mewah. Tapi biarkan juga Kabupaten tetap memgkonservasi dan menguasai seluruh hak kelola dan kepemilikan atas sumber daya alamnya yang ada. Karena sumber daya alam yang ada tersebut akan menjadi kunci dan basis kekayaan daerah yang dapat dimiliki oleh masyarakatnya. Yang penting unit-unit layanan umum, unit-unit bisnis, unit-unit layanan pendidikan, unit-unit layanan kesehatan, dan unit-unit pusat hiburan yang bersifat pokok dapat tersedia, kemudian jalan-jalan dan aksesibilitas terbangun dengan sangat baik.
Dengan adanya kekuasaan atas sumber daya alam yang dapat dikelola maka permasalahan finansial dan kemakmuran bukan lagi persoalan yang seharusnya menjangkiti kawasan kabupaten-kabupaten dan desa-desa (bukan masalah ketimpangan pembangunan melainkan ketimpangan keuangan) yang sesungguhnya kaya-raya dengan kepemilikan alamnya. Sehingga persoalan diskursus Kota dan Kabupaten atau Urban dan Rural pada perspektif ini bukan lagi soal prestise yang bersifat artifisial, melainkan soal jiwa, selera, dan pilihan gaya hidup yang tidak ada hubungannya dengan diskursus kesejahteraan.
Dalam teori paling kuno, sistem dimana pimpinan unit administrasi Kota, Kabupaten, atau Kadipaten yang bertalian langsung dengan urusan ketertiban umum dan judicial functions adalah apa yang di dalam bahasa Ibrani disebut dengan konsep Sophet yang sejajar dengan konsep Qadi dalam bahasa Arab, Judge dalam bahasa Inggris, Consul dalam sistem Republik Romawi (bukan Consul dalam citarasa modern). Dan dalam bahasa Indonesia sederhananya adalah sistem kepemimpinan dengan model dan gaya Kepala Adat atau Kepala Suku (Chieftain).
Pengganti Sophet dalam bahasa Ibrani adalah Khaliphot yang sejajar dengan bahasa Arab sebagai Khalifah. Khalifah sendiri pada prinsipnya adalah Qadi. Pada sistem Khaliphot atau Khalifah tersebut model Amir (Pemimpin) bukan menggunakan gaya Malik (Arab) ata Melekh (Ibrani) yang berarti Raja melainkan Qadi (Arab) atau Sophet (Ibrani).
Konsep adat yang ditawarkan di atas bukan konsep adat seperti dalam pengertian kontemporer ini yang biasa diadu-dombakan dengan konsep Islam dan Syariat Islam yang mengalami distorsi. Yang bahkan dalam pandangan masa kolonial India-Belanda itu sendiri dapat dilacak dengan sangat jelas jika adat dalam pengertian mereka adalah suatu sistem hukum (dengan asumsi tidak sebagai hukum tertulis yang sebenarnya bukti dokumen tertulisnya sangat banyak) dari sisa unit administrasi sebelumnya, yang dengan kata lain adalah Kesultanan Islam dan struktur lokal yang mengikat perjanjian dengan Kesultanan Islam. Dan bahkan kata adat iti sendiri jelas berasal dari bahasa Arab dan dibawa dan diterapkan oleh orang-orang Islam.
Dengan demikian, adat dalam sistemnya yang paling primordial adalah suatu sistem tata kelola sebelum memasuki tahap sistem kerajaan (monarkhi). Sistem monarkhi ini yang kemudian mendorong lahirnya gagasan Trias Politika (pada konsep lokalnya seperti Tri Tangtu di Bumi [Buana]).
Sistem adat adalah gaya kepemimpinan Qadi sebelum tergeser oleh sistem Malik. Ibarat sistem Khulafaur Rasyidim sebelum memasuki sistem Umayah, Abasiah, dan seterusnya yang bersifat dinasti. Ibarat sistem Sophet atau Khaliphot pada masa Hakim-Hakim Israel sebelum memasuki masa Raja-Raja sejak masa Saul, David, Solomo, hingga lahirnya kerajaan Israel Raya, Israel Utara, dan Israel Selatan. Dalam perbandingan sistem lokalnya, sistem adat adalah sistem kepemimpinan penghulu atau datuk seperti pada masa Aki Tirem sebelum diorganisasi menjadi sistem monarlhi oleh menantunya Dewawarman dalam khazanah folklore di kawasan Tatar Sunda.
Sistem kerajaan tersebut tentu saja tidak terlarang (sangat jelas di dalam Islam sekedar sebuah model kesepakatan umat), tapi sistem adat adalah sistem yang tetap dianggap paling ideal (di dalam agama sistem Khulafaur Rasyidin). Jadi diskursus Monarkhi dan Chieftain bukan pada persoalan basis dimana fungsi Judicial tidak akan bisa diterapkan secara maksimal, melainkan soal asas, diskursus, dan citarasa garis keturunan (nobility) dan keumuman (public) belaka.
Jangan terjebak pada terminologi-terminologi yang ada dengan asumsi-asumsi dasarnya yang belum teruji, tapi pelajari lebih jauh konsep-konsep dasarnya dan prinsip-prinsip dasarnya, dan terutama adalah runtutan kronologi atau rantai sanad keilmuannya. Dengan cara demikian kita akan memahami gagasan paling arkaik dan prototipenya untuk bisa diuji, dipahami, dan diterapkan tata-kelola organisasinya dengan sangat baik.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.