Raden Arya Wiratanudatar I
Raden Arya Wiratanudatar merupakan pendiri Cianjur yang pada masanya berkedudukan di Cikundul yang saat ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur. Raden Aria Wiratanudatar merupakan putra cikal dari Raden Aria Wangsagoparana. Nama kecil Raden Aria Wiratanudatar adalah Jayasasana atau disebut juga dengan nama Jayalalana.
Raden Arya Wangsagoparana
Raden Arya Wangsagoparana merupakan pendiri Subang yang pada masanya berkedudukan di Nangkabeurit yang saat ini masuk ke dalam kawasan administrasi Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang. Raden Arya Wangsagoparana merupakan putra dari Raden Aria Kikis.
Dari kawasan Sagalaherang ke arah Timur lalu ke Utara akan sampai di Subang modern, dari Sagalaherang ke Barat lalu ke Utara akan sampai ke Purwakarta modern, dari Sagalaherang ke Selatan lalu ke Timur akan sampai ke Cikalong Wetan Bandung, dari Sagalaherang ke Barat akan sampai ke Cikalong Kulon Cianjur. Sehingga dalam perspektif masa lalu, kedudukan Sagalaherang di Utara lereng Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Burangrang merupakan letak yang strategis sebagai wilayah induk koordinasi dan pemantauan kewilayahan.
Raden Arya Kikis
Raden Arya Kikis disebut juga dengan nama Sunan Wanaperih dan Sunan Ciburang. Raden Arya Kikis merupakan penguasa Talaga Manggung yang pada masa sekarang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Majalengka.
Secara tradisional dikatakan bahwa Raden Arya Kikis adalah penguasa yang memindahkan ibukota Talaga Manggung dari kawasan Sangiang menuju ke kawasan Wanaperih, itu yang kemungkinan membuat namanya disebut Sunan Wanaperih yang berarti Penguasa Wanaperih.
Demikian juga dikatakan adanya nama suatu keraton yang disebut dengan nama Keraton Ciburang di Talaga Manggung yang kemungkinan membuat namanya disebut juga dengan Sunan Ciburang yang berarti Penguasa Ciburang.
Raden Aria Kikis adalah orang yang mengundang Syeh Sayid Faqih Ibrahim yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Cipager untuk menyemarakan pengajaran Islam dan mendirikan pondok pesantren di Talaga Manggung. Syeh Sayid Faqih Ibrahim ini merupakan putra dari Syeh Abdul Muhyi dari Pamijahan di Tasikmalaya. Syeh Sayid Faqih Ibrahim kemudian dinikahkan dengan salah-satu putrinya yakni Ratu Putri, saudari dari Aria Wangsagoparana yang juga mengembankan agama ke kawasan Sagalaherang.
Raden Aria Kikis merupakan putra dari Raden Rangga Mantri yang lebih dikenal dengan nama Pucuk Umun Talaga Manggung.
Raden Rangga Mantri
Raden Rangga Mantri lebih dikenal dengan nama Pucuk Umun Talaga Manggung. Raden Rangga Mantri berkuasa atas kawasan Talaga Manggung setelah menikahi isterinya yang bernama Ratu Sunyalarang yang dikenal juga dengan nama Ratu Parung.
Ratu Parung sendiri merupakan putra dari Sunan Parung yang berkuasa di atas tahta Talaga Manggung. Adapun Sunan Parung sendiri adalah putra dari Raden Kusumalaya Ajar Kutamagu atau disebut juga Raden Palinggih. Sementara Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu sendiri adalah putra dari Prabu Ningrat Kancana atau disebut juga Prabu Dewa Niskala.
Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu berkuasa di atas tahta Talaga Manggung setelah menikahi Ratu Simbar Kancana. Sementara Raden Rangga Mantri adalah putra dari Mundungsari Ageung.
Raden Maja Wiramantri
Ada banyak nama lain yang biasa dirujuk untuk menyebut nama Mundingsari Ageung atau lengkapnya Prabu Mundingsari Ageung, antara lain Prabu Mundingsurya Ageung, Prabu Mundingwangi, Prabu Mundinglaya Dikusumah, dan Raden Maja Wiramantri.
Nama Prabu Mundinglaya Dikusumah kadang dinisbatkan juga kepada Prabu Surawisesa sehingga perlu untuk diuji ulang untuk siapakah nama Mundinglaya Dikusumah lebih otentik dinisbatkan.
Prabu Mundingsari Ageung biasa juga disebut Prabu Munding II. Sementara putranya yang lain adalah Prabu Mundingsurya Leutik dan disebut juga Mundingsari III.
Jika nama Mundinglaya Dikusumah misalnya lebih cenderung untuk menyebut Prabu Surawisesa, maka nama yang tersisa adalah Raden Maja Wiramantri dan Mundingwangi. Sementara nama Mundingsari Ageung dan Mundingsurya Ageung bisa saling dipertukarkan dengan nama putranya menjadi Mundingsari Leutik dan Mundingsurya Leutik. Maka dengan demikian, ayahnya dapat diduga biasa disebut dengan Munding II atau Mundingsari II dan putranya dapat diduga biasa disebut Munding III atau Mundingsari III (saudara satu ayah dari Raden Rangga Mantri).
Namun demikian muncul problem selanjutnya, jika terdapat nama Munding II atau Mundingsari II dan Munding III atau Mundingsari III, maka siapakah sesungguhnya yang memiliki gelaran Munding I atau Mundingsari I yang selama ini secara tradisional belum banyak dilakukan analisa dan ulasannya.
Satu hal yang jelas bahwa Mundingsari Ageung adalah putra dari Sri Baduga Maharaja dan Ratu Rajamantri atau disebut juga Ratu Ratnasih dari Sumedanglarang. Dan sementara itu, Sri Baduga Maharaja tentu saja tidak pernah diberitakan memiliki nama lain sebagai Mundingsari atau Mundingsurya atau Mundingsari I atau Munding I.
Apa yang menjadi lebih masuk akal jika konsep tersebut terlanjur permanen dalam kajian Sejarah tradisional yang ada adalah bahwa Mundingsari Ageung putra Sri Baduga Maharaja tersebut menikahi Ratu Putri Mayangkaruna putra Bagawan Garasiang. Memang dalam ulasan-ulasan Sejarah secara tradisional tidak dinisbatkan nama Munding I atau Mundingsari I kepada Bagawan Garasiang tersebut. Namun demikian sangat jelas bahwa Mundingsari Ageung memperoleh kekuasaan atas tahta Talaga Manggung dikarenakan konsekuensi dari pernikahannya dengan Ratu Putri Mayangkaruna yang berkuasa atas tahta Talaga Manggung yang sesungguhnya. Maka Bagawan Garasiang tentu saja menjadi orang yang paling berhak untuk dinisbatkan sebagai Munding I atau Mundingsari I dalam tata urut penguasa Talaga Manggung tersebut.
Kurasi Silsilah
Melalui pembacaan terhadap tulisan Teh Chye Retty Isnendes dengan judul “MAULUD” yang juga sekaligus telah dimintakan izin kepada beliau agar bisa dimuat di website Varman Institute (https://varmaninstitute.com/2020/10/mulud/), saya secara pribadi sangat tertarik dan mengapresiasi tulisannya; karena terutama di dalamnya mengandung informasi dan kajian terkait garis Silsilah atau Geneologi. Tulisan tersebut kemudian dimuat pada rubrik Silsilah untuk memperkaya khazanah kekayaan tulisan dalam bidang Geneologi yang selama ini telah mulai dirintis oleh Varman Institute. Kajian Silsilah atau Geneologi pada prinsipnya, adalah hakikat kajian Sejarah itu sendiri pada tahap paling basik dan klasiknya; sebelum kemudian kajian Sejarah berkembang secara modern sebagaimana yang bisa kita nikmati pada saat ini.
Asal-usul kata Sejarah itu sendiri dalam cita-rasa bahasa Arab sebenarnya berarti Pohon (Syajarotun) yang mengilustrasikan bagaimana suatu perkembangan Silsilah dapat berkembang menjadi besar hingga beranting dan bercabang dalam suatu kerindangan. Baik di dunia Islam maupun di dunia Barat (Judeo-Christian) hingga hari ini, kajian Geneologi sesungguhnya tetap masih menempati kedudukan yang terhormat dalam kajian-kajian Sejarah (History) modern yang ada. Dan dengan demikian masih memiliki nilai kegunaan yang bukan saja bernilai personal, melainkan bersifat impersonal yang dapat membantu pemahaman masyarakat secara umum dan ilmiah.
Di dalam tulisan Teh Chye Retty Isnendes dipaparkan urutan silsilah yang ada sebagaimana berikut:
“… Rd. Adang Muhammad Abdurahman, bin Rd. Kahfi Asmadiredja, bin Rd. Hamdan Raksapradja, bin Rd. Ismail Kartadinata, binti Nyi Rd. Mantri Kusumah, bin Rd. Raksadipradja, bin Rd. Suramanggala II, bin Rd. Suramanggala I, bin R.A.A Wiratanudatar I, bin Aria Wiratanudatar Kangjeng Dalem Cikundul, bin Aria Wangsa Goparana Sagaraherang. (Silsilah ti istri: Nyi Rd. Mantri Kusumah).”
Dalam catatan tersebut dikatakan juga bahwa pengambilan data tidak benar-benar bersifat linear dan kaku berdasarkan kontinuitas garis laki-laki an sich, melainkan karena mengandung suatu mata-rantai penting maka dilakukan juga penelusuran campuran dimana garis silsilah perempuan juga digunakan sebagai kunci transisi menju garis silsilah lebih tuanya. Di dalam tulisan tersebut terdapat nama Nyi Rd. Mantri Kusumah di antara nama Rd. Ismail Kartadinata dan Rd. Raksadipradja.
Jika diurut kepada penulis MAULUD, Teh Chye Retty Isnendes (Nyi Mas Retty Isnendes) maka urutannya akan bertambah hingga berpangkal pada dirinya menjadi:
“Nyi Mas Retty Isnendes, bin Rd. Euis Sulastri, bin Rd. Adang Muhammad Abdurahman, …” dan seterusnya hingga berakhir di Aria Wiratanudatar Kangjeng Dalem Cikundul, bin Aria Wangsa Goparana Sagaraherang.
Tulisan ini kemudian dibuat dalam rangka untuk merespon dan mengapresiasi rantai silsilah pada periode lebih lanjut dari Aria Wiratanudatar ke atas. Bahwa Aria Wiratanudatar sebagaimana telah dicoba oleh penulis lampirkan ulasan singkatnya di atas adalah menjadi demikian:
“Raden Jayasasana (Aria Wiratanudatar I), bin Aria Wangsagoparana, bin Aria Kikis (Sunan Wanaperih atau Sunan Ciburang), bin Rangga Mantri (Pucuk Umun Talaga Manggung), bin Maja Wiramantri (Mundingsari Ageung atau Mundingsurya Ageung atau Mundingwangi atau Mundingsari II atau Munding II), bin Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata)”.
Adapun dalam buku silsilah tradisional yang dimiliki oleh keluarga Teh Chye Retty Isnendes urutannya adalah sebagaimana berikut:
“Aria Wiratanudatar dari Cikundul, bin Aria Wangsagoparana dari Sagaraherang, bin Sunan Ciburang dari Ciburang, bin Sunan Wanapari dari Cirebon, bin Sunan Parung Gangsa dari Cirebon, bin Prabu Pucuk Umum dari Cirebon, bin Mundingsari II dari Banten, bin Mundingsari I dari Banten, bin Prabu Siliwangi dari Pajajaran”.
Menurut hemat penulis bahwa data terkait Aria Wiratanudatar dari Cikundul dirasa sudah tepat, Aria Wangsagoparana dari Sagaraherang juga dirasa sudah tepat (variasi fonetik lainnya dari Sagalaherang). Adapun Sunan Ciburang dari Ciburang dan Sunan Wanapari (kemungkinan variasi fonetik lainnya dari Sunan Wanaperih) sesungguhnya adalah dua nama yang berbeda dari satu orang yang seharusnya sama, yakni Aria Kikis yang berkedudukan di Talaga Manggung (saat ini bagian dari wilayah Majalengka) dan bukan berada di Cirebon.
Sementara dengan Sunan Parung Gangsa dapat diduga adalah nama lain dari apa yang biasa disebut dengan nama Sunan Parung. Sunan Parung tersebut adalah ayah dari Ratu Parung atau Ratu Sunyalarang yang dinikahi oleh Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung. Sunan Parung sendiri adalah putra dari Raden Ajar Kusumalaya Kutamangu dan Ratu Simbarkancana. Sehingga Sunan Parung Gangsa bukan merupakan putra dari Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung, melainkan mertua dari Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung. Demikian juga dengan Sunan Wanaperih yang bukan merupakan putra dari Sunan Parung Gangsa, melainkan putra dari Raden Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung yang kekuasaannya direstui oleh Syarif Hidayatullah atau Susuhunan Jati di Cirebon (Sunan Gunung Jati). Dan demikian juga apa yang menjadi keseluruhan dari backround lokasi tokoh-tokohnya yang sebenarnya berada di Talaga Manggung dan bukan berada di Cirebon (“Sunan Wanapari, Sunan Parung Gangsa, dan Prabu Pucuk Umum”).
Kemudian daripada itu, perlu dijelaskan bahwa Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung (Raden Rangga Mantri) merupakan saudara satu ayah dari Mundingsari Leutik atau Mundingsurya Leutik. Hubungan antara Prabu Pucuk Umun Talaga Manggung atau Raden Rangga Mantri dan Prabu Mundingsari Leutik atau Prabu Mundingsurya Leutik adalah sama-sama putra dari Prabu Mundingsari Ageung atau Mundingsurya Ageung (Maja Wiramantri).
Maka dengan demikian, terlepas dari khilafiah pengurutan gelaran Mundingsari I, Mundingsari II, dan Mundingsari III (atau Munding I, Munding II, dan Munding III) yang dapat membuat kerumitan konseptual dalam proses identifikasinya. Namun demikian, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa urutan garis silsilahnya telah dirasa cukup jelas untuk direkonstruksi ulang. Demikian juga dengan informasi kedudukan “Mundingsari I dan Mundingsari II” sesungguhnya bukan menempati seting ruang di Banten, melainkan di kawasan Maja yang pada saat ini sebagaimana juga Talaga masuk ke dalam wilayah administrasi Majalengka. Simpang-siur penempatan Mundingsari menjadi berkedudukan di Banten, kemungkinan dikarenakan beredar juga Mundingsari Ageung yang diasosiasikan sebagai nama lain dari Surosowan yang merupakan Pucuk Umun Banten Girang. Namun demikian narasi demikian kurang kuat, karena Surosowan meskipun sama-sama putra Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata; melainkan berbeda ibu dengan Mundingsari Ageung. Surosowan bersama Surawisesa beribukan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda, sementara Mundingsari Ageung beribukan Ratu Ratnasih atau Nyai Rajamantri.
Selanjutnya penyebutan Prabu Siliwangi sebagai nama lain dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata atau Raden Pamanahrasa atau Rajasunu dapat diterima keumumannya untuk bisa dipahami terutama di kawasan Priangan, meskipun identifikasi Siliwangi sesungguhnya cenderung cukup longgar merujuk pada nama raja Sunda lainnya misalnya saja pada tradisi yang berkembang di kawasan Banyumas (misalnya merujuk pada Prabu Ningratkancana atau Prabu Dewaniskala).
Sebagai kurasi tambahan adalah mengenai “Aria Wiratanudatar Kangjeng Dalem Cikundul”. Nama aslinya adalah Raden Jayalalana atau Raden Jayasasana. Dia kemudian membabak kawasan baru atas perintah ayahnya Aria Wangsagoparana dan kemudian memiliki nama nobat Aria Wiratanudatar. Dan dikarenakan Raden Jayasasana itu sendiri merupakan perintis atau pendiri pertamanya, maka dia merupakan Aria Wiratanudatar I yang kedudukan di Cikundul (titik awal perkembangan Cianjur). Cikundul tersebut merupakan suatu kawasan yang kini masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur; suatu kawasan yang dekat dengan jalur klasik Jalan Jonggol.
Jayasasana atau Jayalelana atau Wiratanudatar I kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Wiramanggala yang kemudian melanjutkan tradisi ayahnya dengan gelar nobat sebagai Aria Wiratanudatar II. Wiramanggala atau Aria Wiratanudatar II kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Astramanggala yang kemudian memiliki gelar nobat Wiratanudatar III. Wiratanudatar III adalah tokoh yang memindahkan pusat ibukota ke kawasan Cianjur sebagaimana yang kita kenal pada saat ini. Selain memiliki putra bernama Astramanggala yang kemudian menjadi Aria Wiratanudatar III, Wiramanggala atau Aria Wiratanudatar III memiliki putra lainnya dimana salah-satunya bernama Suramanggala. Suramanggala tersebut kemudian di dalam catatan keluarga Teh Chye Retty Isnendes disebut Suramanggala I. Suramanggala I kemudian menghasilkan keturunan yang disebut Suramanggala II. Suramanggala I dan II dapat diduga bukan merupakan pemegang jabatan Aria Wiratanudatar yang bersifat utama, namun sebagaimana putra-putra Dalem yang berkuasa atas kawasan Kadipaten yang luas tentu memiliki kekuasaan yang cukup layak, setidaknya memegang suatu administrasi setingkat Kabupaten dan atau unit administrasi lebih kecil di bawahnya. Silisih yang perlu dikoreksi hanya terletak pada bahwa “R.A.A. Wiratanudatar I” adalah orang yang sama dengan “Aria Wiratanudatar Kangjeng Dalem Cikundul”.
Jika ditata kembali maka urutannya akan menjadi demikian:
Nyi Mas Retty Isnendes, bin Rd. Euis Sulastri, bin Rd. Adang Muhammad Abdurahman, bin Rd. Kahfi Asmadiredja, bin Rd. Hamdan Raksapradja, bin Rd. Ismail Kartadinata, binti Nyi Rd. Mantri Kusumah, bin Rd. Raksadipradja, bin Rd. Suramanggala II, bin Rd. Suramanggala I, bin Aria Wiratanudatar II (Wiramanggala), bin Aria Wiratanudatar I (Jayasasana), bin Aria Wangsa Goparana, bin Aria Kikis (Sunan Wanaperih atau Sunan Ciburang), bin Rangga Mantri (Pucuk Umun Talaga Manggung), bin Maja Wiramantri (Mundingsari Ageung atau Mundingsurya Ageung atau Mundingwangi atau Mundingsari II atau Munding II), bin Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata)”.
Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa arus perpindahan agama dari tradisi Hindu-Budha menuju Islam dalam royal family Kerajaan Sunda tidak semuanya berarti melalui proses pernikahan silang dengan garis silsilah keluarga yang memiliki trah Arab semata, melaikan melalui pembacaan garis silsilah di atas dengan cukup meyakinkan bahwa trah murni Kerajaan Sunda (Pajajaran) dapat memeluk Islam dengan teguh dan komitmen bukan semata-mata karena adanya komitmen Silsilah atau Geneologi semata melainkan benar-benar dikarenakan aspek-aspek yang lebih murni bersifat Teologis dan Keagamaan semata.
Dasar penelaahan tersebut tidak dibangun berdasarkan data-data keras kesejarahan dan berbagai literatur kuat, melainkan sebagai sebuah usaha penjajakan. Bahwa berbagai catatan keluarga yang masih tersimpan pada masyarakat Sunda dapat digunakan sebagai sumber kajian akademik yang menarik, dimana validitas data dapat diperkuat degan adanya kurasi akademik yang lebih serius. Dengan adanya catatan, masa lalu akan terasa pendek dan baru terjadi kemarin saja. Namun tanpa adanya dokumen-dokumen, peristiwa kesejarahan yang baru berlangsung tidak terlalu lama akan terasa begitu jauh, kusut, suram dan gelap. Analisa yang digunakan penulis baru sebatas memenuhi kaidah pencarian pengetahuan dan standar pencarian nilai kbenaran dalam Filsafat Ilmu, yakni memenuhi aspek Logika, Korespondensi, dan Koherensi. Tentu saja dari sumber sama yang beredar, yakini babad, kitab keluarga, dan tradisi lisan yang berkembang yang memuat memori kolektif kesejarahan masyarakat Sunda yang memerlukan andil dan urun tangan para cerdik pandai dan kaum akademisi kampus yang lebih serius.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.