Dewi Banowati

Dewa Niskala (3)

Data perihal Dewi Rara Hulanjar masih kesulitan untuk bisa diakses (demikian juga dengan Perbamenak atau Purbamenak atau Rajaputra), baik ke sumber primer maupun sekunder yang baik. Dewi Hulanjar yang paling mudah untuk diakses informasinya bahwa merupakan bagian dari dikatakan rombongan keluarga Wilwatikta atau Majapahit yang datang bersama Raden Baribin, seorang pangeran yang merupakan adik dari Bra Kertabumi (Brawijaya V) yang tengah berkuasa pada masa tersebut. Jika Raden Baribin dinikahkan dengan Dewi Ratna Pamekas, putri Prabu Dewa Niskala dengan Dewi Ratna Huma; maka Prabu Dewa Niskala menikahi Dewi Rara Hulanjar.

Dewi Ratna Huma merupakan saudara perempuan dari Banyak Sumba yang merupakan Mahapatih Kerajaan Galuh di bawah Prabu Dewa Niskala. Sementara Saudara lain dari Dewi Ratna Pamekas adalah Banyak Catra, Banyak Ngampar, dan Banyak Blabur. Dan Dewi Hulanjar yang berasal dari bangsawan Majapahit, tampaknya bukan larangan dalam pengertian Prabu Dewa Niskala melanggar etika dan moral pernikahan; melainkan bahwa Prabu Dewa Niskala menikahi wanita asal Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.

Manuver pernikah tersebut secara politis kedinastian cukup mengagetkan pihak Kerajaan Sunda dalam hal ini kakaknya Prabu Dewa Niskala yakni Prabu Dewatmaka atau Prabu Susuk Tunggal. Selain karena tragedi Palagan Bubat belum lama berlamgsung dan menyisakan trauma tersendiri dalam memori kolektif pembesar Kerajaan Sunda-Galuh, maka manuver baru yang dilakukan Prabu Dewa Niskala dari Kerajaan Galuh juga dianggap lebih mementingkan pertalian secara politis dengan Kerajaan Wilwatikta daripada dengan Kerajaan Sunda itu sendiri sebagai kerabat yang lebih dekat.

Maka dalam perspektif yang lebih positif dan konstruktif (terlepas dari adanya faktor tragedi), manuver Prabu Dewa Niskala sebagaimana kakeknya Prabu Linggabuanawisesa bersifat maju dan progresif dalam kaitan dengan wawasannya yang luas dan pentingnya membangun ranah kekeluargaan yang bersifat erat. Kekhawatiran dari Kerajaan Sunda kemudian ditepis dengan dinikahkannya Pamanahrasa putra Dewa Niskala dengan Nyai Kentring Manik putra Prabu Dewatmaka.

Pusat kekuasaan Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh) yang kemudian dapat dipersatukan kembali di bawah Pamanahrasa, kemudian dipertegas dengan dipindahkannya pusat operasional kekuasaan dari ibukota Kawali (Ciamis) di Kerajaan Galuh ke ibukota Pakuan (Bogor) di Kerajaan Sunda. Maka selesai sudah persoalan antara Prabu Dewatmaka dan Prabu Dewa Niskala ditangan Sri Baduga Maharaja atau Pamanahrasa atas prakarsa kedua belah pihak pemegang kekuasaan kerajaan bersama para tetua dan pemuka adat (Bares Kolot) kedua kerajaan tersebut.

Adapun putra-putri pasangan Prabu Ningrat Kancana dan Dewi Rara Hulanjar atau Diah Ratna Astunalarang atau Ratna Astunawangi, yakni:

Pertama, Parbamenak atau Rajaputra. (data atau fakta keras yang minimal, termasuk tradisi lisan yang juga minimal meskipun ada yang masih dapat dipilah kemudian sebagai pekerjaan rumah).

Kedua, Surayana berkuasa di Kajene dengan ibukotanya bernama Sidapurna (Kuningan). Surayana putra Dewa Niskala atau Ningrat Kancana dengan Dewi Astunalarang yang berkuasa di Kajene atau Sidapurna memiliki seorang putri dengan nama Nyai Wandasari. Nyai Wandasari tersebut kemudian dinikahi oleh Syeh Maulana Akbar atau Syeh Bayanullah yang kemudian mendirikan Pondok Kuro di Kajene atau Sidapurna.

Syeh Maulana Akbar atau Syeh Bayanullah sendiri merupakan adik dari Syeh Nurjati atau Syeh Datuk Kahfi yang mendirikan Pondok Kuro di Amparan Gunung Jati. Syeh Bayanullah dan Syeh Nurjati merupakan guru agama Islam dari Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Larasantang atau Syarifah Mudaim (namanya setelah menikah dengan Syarif Abdullah asal Campa), dan Rajasangara atau Kian Santang yang merupakan putra-putra Pamanahrasa putra Dewa Niskala putra Niskala Wastu Kancana dari
isteri bernama Nyai Subanglarang putra Ki Gedeng Tapa putra Niskala Wastu Kancana.

Hasil pernikahan dari Syeh Maulana Akbar atau Syeh Bayanullah dengan Nyai Wandasari kemudian dikaruniai putra bernama Syeh Maulana Arifin yang kemudian berkuasa di Kajene atau Sidapurna. Syeh Maulana Arifin kemudian menikah dengan Nyai Ratu Selawati putri Surawisesa putra Pamanahrasa yang berkuasa di Kerajaan Sunda dan berputra Nyai Mas Kencanawati. Nyi Mas Kencanawati kemudian dinikahi oleh Adipati Kuningan atau Raden Suranggajaya putra Raden Jayaraksa atau Ki Gedeng Luragung putra Surawisesa.

Sehingga selain Ratudewata putra Surawisesa yang berkuasa di Kerajaan Sunda, melalui penelahan ini dapat terungkap masih ada putra-putri yang lainnya yang justru berada di kawasan Priangan Timur. Pertama Nyai Selawati yang dinikahi oleh Syeh Maulana Arifin di Kajene atau Sidapurna (Kuningan). Kedua, Raden Jayaraksa atau Ki Gedeng Luragung yang berkuasa di Luragung (Kuningan) yang merupakan kakak dari Nyai Selawati, dan selain itu masih ada Pangeran Bratawiyana atau Bratawijaya atau Arya Kamuning atau Ki Gedeng Kamuning yang berkuasa di Winduherang (Kuningan) yang merupakan adik Nyai Selawati.

Seluruh putra-putri dari Prabu Surawisesa di kawasan Kuningan tersebut dalam tradisi-tradisi Sejarah lokal (Babad) telah menganut Islam secara jernih dan jelas. Pasangan Syarif Hidayatullah dan Putri Ong Tien atau Ratu Mas Larasumanding asal Tiongkok (sebagian narasi asal Campa) tidak memiliki putra, karena meninggal pada saat masih bayi. Maka untuk menghibur isterinya tersebut, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat putra bernama Raden Suranggajaya putra Raden Jayaraksa atau Ki Gedeng Luragung.

Oleh Sunan Gunung Jati, Raden Suranggajaya dititipkan dalam pengasuhan Raden Bratawijaya yang merupakan pamannya sendiri. Nama lain Raden Bratawijaya sendiri adalah Arya Kemuning, maka dari perhubungan dengan Arya Kemuning; Raden Suranggajaya kemudian lebih dikenal sebagai Adipati Kuningan (secara gramatika kemungkinan variasi lain dari Kuningan). Pengangkatan Adipati Kuningan sendiri atas permintaan Sunan Gunung Jati. Dari pengangkatan Sunan Gunung Jati kepada Adipati Kuningan, kawasan Kuningan yang terdiri dari Kajene atau Sidapurna, Luragung, dan Winduherang kemungkinan diintegrasikan dalam satu unit kekuasaan di bawah Cirebon.

Selain mengangkat anak Adipati Kuningan, Arya Kuningan yang tampaknya tidak dikaruniai putra juga mengangkat Ewangga yang kemudian lebih dikenal dengan nama Adipati Ewangga. Adipati Kuningan dan Adipati Ewangga kemudian menjadi kekuatan-kekuatan militer bersama Banten dan Demak dalam skema penaklukan Sunda Kelapa atau Jayakarta dari tangan Portugis di bawah koordinasi Laksamana Fadilah Khan atau Faletehan dalam rantai komando pusat Sunan Gunung Jati.

Kembali kepada topik keturunan Surayana. Maka kemudian hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Kencanawati dengan Raden Suranggajaya kemudian berputra Raden Kusumajaya yang dikenal juga namanya sebagai Geusan Ulun Kuningan. Sementara itu, Raden Kusumajaya atau Geusan Ulun Kuningan berputra Raden Mangkubumi. Raden Mangkubumi telah masuk pada periode dimana Kuningan menjadi bagian dari Kesultana Mataram di bawah Sultan Agung.

Sedikit catatan dalam bab pernikahan, dalam sistem pernikahan Islam; seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslim (sebagai prioritas), dan juga boleh menikahi wanita Ahlul Kitab (People of the Books/Scriptures). Namun seorang wanita Muslimah hanya bisa menikah dengan pria Muslim atau yang telah menjadi Muslim (Mualaf). Kemudian di luar peraturan pokok agama, terdapat adat istiadat yang bersifat keutamaan saja (Kaifiah); bahwa pria Ahlul Bait (geneologi Nabi Muhammad SAW via Ali bin Abithalib dan Fatimah Az-Zahra) diutamakan menikahi wanita dari sesama Ahlul Bait, namun dapat menikahi wanita bukan Ahlul Bait dan termasuk bangsa Azam (Non Arab).

Namun wanita Ahlul Bait diutamakan hanya menikahi pria kalangan Ahlul Bait itu sendiri. Peraturan tersebut untuk menjaga kehormatan, garis silsilah, dan wibawa agama. Namun demikian peraturan adat yang cukup ketat tersebut bisa saja memudar atau keluar dari pokok yang baku karena suatu sebab dan kondisi yang ada sepanjang tidak melanggar pokok peraturan agama yang utama.

Melalui penelaahan pada kasus di Indonesia, pola peraturan tersebut tampak digunakan sebagai pola baku; namun demikian terjadi juga kekhususan-kekhususan yang terjadi. Dan bahkan seiring rusaknya memori kolektif historis, praktik-praktik tersebut tampaknya sudah sama sekali tercerabut dari akar kesadarannya. Dalam tradisi di India, Ahlul Bait yang keluar dari pokok-pokok peraturan dan tradisi yang ketat masih menggunalan gelaran Syarif atau Sayid; dan kemudian peranakan dari seorang ibu yang Syarifah atau Sayidah kemudian hanya menyandang gelaran sebagai Maula.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".