“Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tritangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. H(e)dap kita pina/h/ka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.”
(Ini perkataan Sang Sadu seketika mendapatkan pencerahan. Ini Tritangtu di Bumi. Harapan kita sandarkan kepada Prabu, ucapan kita sandarkan kepada Rama. Pandangan kita sandarkan kepada resi. Ya tritangtu di bumi, ya perlambang yang menguatkan di buana negara.)
Puncak dari pengetahuan manusia adalah pengakuan atas adanya keberadaan sumber dari segala sumber keberadaan, yang dalam bahasa Sanskrit dinyatakan dengan kata Asti (Ada!). Sementara orang-orang yang telah mengakui adanya kehadiran Sang Ada (Asti)dalam kehidupan mereka disebut dengan kata Astika.
Adapun lawan dari kata Astika adalah Nastika, yaitu orang-orang yang tidak mengakui keberadaan Sang Ada. Atau dengan kata lain mereka memiliki keyakinan yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sang Ada pada hakikatnya tidak ada (Nasti). Suatu gagasan yang dalam peristilahan akademik modern nyaris sepadan dengan kata Theis (Ada)dan Atheis (tidak ada)yang disandarkan atas tradisi Yunani.
Meskipun demikian, gagasan Atheisme dalam tradisi Timur tidak menemukan bentuknya yang benar-benar memisahkan dari tradisi spiritualitas; melainkan masih dapat memperlihatkan bentuknya yang cenderung terlihat sama-sama spiritual. Dengan demikian bisa dikatakan jika Nastika adalah bentuk spiritualitas Non Theistic (tidak mengakui Sang Ada).
Untuk menyatakan gagasan soal hakikat keberadaan dari Sang Ada, di dalam tradisi kitab Weda (Sanskrit: Veda), kehadirannya disebut dengan nama Brahman. Brahman bersifat sumber dari segala sumber keberadaan; tidak terkena kesempitan ruang, waktu, dan kebendaan. Yang Awal dan Yang Akhir; Kekal dan Abadi.
Brahman yang menciptakan segala bentuk semesta kebendaan yang bersifat maya. Dia juga memancarkan Atman bagaikan Matahari yang memancarkan sinarnya. Atman tersebut memancar ke dalam diri manusia sebagai Jiwa (Jiva)atau Jiwa Atman (Jivatman). Sebagaimana Brahman, Atman memiliki kualitas sifat pada diri manusia yang tidak terkena kerusakan dan kehancuran; dia tidak terkena kematian.
Upaya manusia untuk mendekat kepada hakikat Brahman dapat dilakukan kembali oleh manusia dengan cara menelusup memasuki relung kesadaran diri atas kepemilikan Atman yang tersimpan dalam Raga atau Waruga (Sanskrit: Varga)yang berarti tubuh. Upaya tersebut bukan jalan yang mudah bagi setiap orang, dia membutuhkan suatu langkah yang serius dan disiplin melalui suatu pendekatan dan metode tertentu yang ketat.
Dalam sistem pengajaran Astika (yang patuh pada otoritas Veda dan pengakuan atas eksistensi Atman dan Isora), terdapat formulasi yang disebut dengan Saddarsana; yang berarti jalan untuk membuka penglihatan batin agar terbuka untuk melihat kakikat Kebenaran. Saddarsana tersebut dibangun oleh 6 buah kelompok sistem pengajaran yang berbeda, yakni Nyaya, Vasika, Samkya, Yoga, Mimamsa, dan Vedanta atau Utara Mimamsa atau Upanisad. Nyaya sepaket dengan Vasika, Samkya sepaket dengan Yoga, dan Mimamsa sepaket dengan Vedanta.
Nyaya dan Vasiska memberikan dasar-dasar pengajaran epistemologis (jalan mencari pengetahuan)dengan pembekalan logika, metodologi, peraturan-peraturan penyimpulan, dasar-dasar ontologis atau metafisika (pengakuan atas hakikat keberadaan yang ruhaniah)dan juga hal-hal yang bersifat etika (aspek Auxiologis). Dia meliputi dasar-dasar formal berpikir dan juga pengakuan terhadap alam material atau empirik yang dibangun atas elemen kehidupan berupa tanah, air, udara, api, dan ruangan.
Sementara Samkya dan Yoga memberikan dasar-dasar penguasaan terhadap penggunaan persepsi, perasaan, penyimpulan yang didasarkan atas laku hidup berkesadaran baik yang bersifat kebendaan maupun yang ruhani. Puncak dari epistemologi Samkya dan Yoga adalah mencapai tahap Samadi (kepedulian)dan Moksa (pembebasan)dari keterikatan kebendaan.
Sementara pengajaran Mimamsa dan Vedanta lebih bersifat pembelajaran intelektual dan akademik terhadap khazanah kesusastraan Hindu yang meliputi Veda, Purana, Itihasa, dan Upanisad yang merupakan ulasan-ulasan dalam kitab-kitab yang dibuat oleh para cerdik-pandai dalam seluruh lintasan sejarah atas resume keseluruhan pengajaran.
Seluruh sistem tersebut biasanya tidak dilakukan oleh seluruh pembelajar, melainkan memasukinya ibarat sebuah mazhab atau aliran yang didasarkan atas minat, bakat, dan kemampuan yang dimiliki. Sementar Sadu (Sanskrit: Sadhu)adalah rumpun yang berada dalam sistem pengajaran Astika di medan Samkya dan Yoga, utamanya Yoga. Tidak semua Yogi atau orang yang menempuh Yoga menjadi Sadu. Tapi setiap Sadu sudah secara otomatis melalui tahap Yoga. Seorang Sadu adalah seorang Sanyasi, orang yang telah beritikad secara total meninggalkan keterikatan alam kebendaan dengan target puncak yang paling tinggi, yakni Moksa (pembebasan).
Sebenarnya dalam alur kehidupan dan fase alamiah pembelajaran masyarakat Hindu, yang tergambar dalam Catur Asrama; model kehidupan Sanyasi adalah model kehidupan jalam jenjang keempat dan sekaligus terakhir. Jenjang pertama adalah Brahmacari, kehidupan belajar dari masa kanak-kanak hingga mencapai tahap Sarjana di bawah bimbingan Guru dan Gurukula (pesantren). Dimulai dari tahap penerimaan yang disebut Upayanaya dan diakhiri pengijazahan Samawartana.
Jenjang kedua adalah Grihasta, yaitu fase menempuh kehidupan berumahtangga. Griha, Graha, Geureuha, artinya rumah. Dalam model kehidupan Grihasta yang dikejar adalah pengejawantahan Wiwaha Samskara dan Yadnya. Jenjang ketiga adalah Vanaprasta, dia mulai mengurangi tahap keterikatan material dan mengejar Purusa. Suatu tahap transisi untuk menuju ke jenjang keempat dan terakhir, yakni jalan hidup Sanyasi. Pada tahap ini raja-raja tua mulai turun tahta dan menjalankan kehidupan nenyepi. Namun demikian, alur normal tersebut terkadang bisa juga ditempuh dengan cepat secara anomali oleh orang-orang muda yang terberkati dan berbakat dengan suatu pola kedisiplinan dan daya fokus yang baik.
Khusus untuk rujukan dari disiplin Yoga, khazanah Hindu akan merujuk pada pustaka Yoga Sastra yang dinisbatkan pada pengarangnya yang bernama Patanjala. Dalam Yoga Sastra tersebut langkah-langkah Yoga dibagi ke dalam tahap-tahap yakni Samadi Pada, Sadana Pada, Vibuti Pada, dan Kaivalya Pada. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan dalam konteks masyarakat Hindu (resminya bernama Sanata Darma)pada masa silam telah didampingi oleh pustaka-pustaka yang memadai dan matang. Bahkan bagi seorang Sadu atau Sanyasi sekali pun, akan berada di bawah bimbingan seorang Guru yang bijaksana dan luas dalam pemahamannya.
Kembali kepada draft naskah di atas yang tercatat dalam pustaka Siksa Kanda Ng Karesian, dikatakan di sana bahwa Tri Tangtu di Bumi adalah suatu formulasi yang telah dilahirkan oleh Sang Sadu melalui tahap Drebyana yang berasal dari kata Sanskrit Dravayana. Drava artinya pergi, mengalir, bergerak. Yana adalah jalan, perjalanan, pengajaran.
Dravayana dalam konteks sepaket artinya perjalanan ke wilayah tinggi, ke wilayah spiritual atau langit. Tri Tangtu adalah model pengelolaan tata pengelolaan negara yang diinspirasi oleh tata kelola dari dunia atas yang telah diperoleh oleh Sang Sadu sebagaimana juga telah dijelaskan dari awal mula naskah bahwa dia yang menuliskan Siksa Kanda Ng Karesian adalah yang menyebut dirinya sebagai Sang Sadu.
Sekarang kita lihat kalimat selanjutnya setelah butir pengajaran Tri Tangtu di Bumi (Tiga Ketentuan di Bumi)di atas. Yang dapat dibaca sebagaimana berikut:
Ini triwarga di Lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana. Triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya.
(Ini Triwarga di Lamba. Wisnu perlambang Prabu, Brahma perlambang Rama, Isora perlambang Resi. Yang mana Tritangtu menguatkan di buana. Triwarga hidup di jagat. Ya yang menguatkan tritangtu pada orang banyak namanya.)
Jadi kita dapat mengetahui bahwa Tri Tangtu di Bumi adalah pengejawantahan gagasan Tri Warga di Lamba (Tiga Kedudukan di Lamba). Sehingga apabila di Bumi atau di dunia ada Tri Tangtu, maka demikian juga di Lamba atau di akherat ada Tri Warga (Tiga Kedudukan). Wisnu (Sanskrit: Visnu)adalah Prabu, Brahma adalah Rama, dan Isora adalah Resi. Dengan demikian kita menjadi paham model Tri Tangtu sesungguhnya diambil dari Tri Warga. Sementara Tri Warga dapat diduga kuat berasal dari gagasan Tri Murti (Tiga Sosok).
Brahma adalah representasi pertama yang diciptakan oleh Braman. Melalui Brahma segala penciptaan pada tahap selanjutnya dibuat. Setelah segala sesuatu dibuat Wisnu bertahta sebagai pengelola. Sementara Siwa (Sanskrit: Siva)berfungsi sebagai pengawas dan pengurai kembali asas-asas penciptaan ke titik awal ksetimbangan. Bukan suatu hal yang mengejutkan, bahwa konsep representasi pencipta selain menggunakan kata Brahma juga dikatakan Rama dalam banyak perbedaan ulasan Hindu. Sementara nama lain dari Siwa adalah memang Isora (Sanskrit: Isvara).
Pada gagasan Tri Murti ini kemudian terkadang terjadi pandangan dalam masyarakat Hindu tentang siapa yang sesungguhnya paling mendasar sebagai penguasa. Apakah Brahma/Rama, ataukah Wisnu, ataukah Siwa/Isora. Dari perbedaan penekanan tersebut, lahir sekte-sekte tersendiri sebagaimana sistem keyakinan dan pilihannya. Menjadi sekte Brahma/Rama, sekte Wisnu, dan sekte Siwa/Isora.
Namun suatu hal yang menarik, bahwa inspirasi Teologis (ketuhanan)tersebut dalam masyarakat Sunda diturunkan dalam formulasinya untuk pengelolaan praktis Ketatanegaraan. Yakni bagaimana membumikan pola pengaturan tiga elemen Legislatif (Brahma/Rama), Eksekutif (Wisnu), dan Yudikatif (Siwa/Isora) yang dianggap setara tersebut dalam ranah kesehariannya sebagai lembaga Rama, Ratu/Prabu/Raja, dan Resi.
Jika Trias Politika berbicara dalam konteks saling membatasi dan memisahkan kekuasaan agar tidak absolut, maka Tri Tangtu berbicara bagaimana tiga elemen dasar kelembagaan tersebut berjalan beriringan bukan hanya sekedar saling mengunci dan mengawasi melainkan bekerja bersama-sama sejak dari tataran adanya pengharapan (Bayu), hingga ucapan (Sabda), dan Hendap (Sikap/Tindakan).
Lalu bagaimana model penerapan Tri Tangtu di Bumi, sebagai suatu tinggalan sistem ketatanegaraan yang dianggap pernah diterapkan dalam usia panjang yang stabil yang memakan waktu berabad-abad lamanya tersebut. Apakah sekedar suatu gagasan yang bersifat ideal atau utopis belaka atau suatu formulasi yang praktis dan teknis.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.