Selepas menyeberangi Ci Pamali, Bujangga Manik menjelajah tempat-tempat Gunung Agung yang kemungkinan saat ini bernama Gunung Slamet. Jangan dibayangkan bahwa setiap kali Bujangga Manik mencatat nama gunung-gunung berarti dia melakukan proses pendakian hingga ke puncaknya seperti pada gaya Pecinta Alam, melaikan hanya melalui kaki-kakinya untuk kemudian melipir menju tempat-tempat lainnya. Sehingga dapat dibayangkan bahwa jalanan yang menghubungkan tempat-tempat di Pulau Jawa hingga Pulau Bali pada akhir abad ke-15 M dan awal abad ke-16 M sudah terbentuk dengan baik. Gunung-gunung adalah pasak-pasak mencolok yang membuatnya menjadi arah orientasi dan patokan perjalanan. Di kaki gunung-gunung tersebut wilayah kerajaan-kerajaan semi otonom berdiri. Sehingga mudah sekali untuk memahami situasi dan peta mental perjalanan. Ditambah sungai-sungai yang menjadi tapal batas-tapal batas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Di Gunung Agung, Bujangga Manik memasuki lurah Barebes (kelurahan/bagian dari Brebes) juga wilayah Medang Agung hingga kemudian menyeberangi Cibulang. Cibulang, Gunung Larang, lurah Gebuhan, Sangka, Suci, Agi-agi, Moga Dana Kreta, Cicomal, Cipakujati, Sagara, Balingbing, jajahan Arega Sela, Kupang, Batang, Pakalongan, Gerus, Tinep, Timerep, Tabuhan, Darma Tumulus, Kali Godang, Mano Hayu, Pajinaran, Panjalin, Sembung, Pakandangan, Padanara. Di sini Bujangga Manik menunjuk ke arah Selatan sembari merinci nama-nama gunung. Gunung Rahung, Gunung Diheng, Gunung Sundara, Gunung Kedu, Gunung Damalung tempat lurah Pantaran, Gunung Karungrungan tempat sakakala batara batari, Bukit Marapi tempat sakakala Darmadewa tempat lurah Karangian.
Bujangga Manik terus bergerak (hanya beberapa penciri yang penulis tuliskan) hingga Bubat, Manguntur, dan buruan Majapahit (halaman Majapahit). Dari pusat ibukota Majapahit dia bergerak ke arah alas Geresik, Gunung Mahameru, Gunung Berahma, Sampang, Gunung Hiang, Gunung Arum, dimana di sana ada lurah Talaga Warung, lalu Panarukan, Patukangan, hingga sampai di Balungbungan untuk bertapa. Tapa sebenarnya berasal dari kata Sanskrit Stavaka yang berarti melakukan penyembahan. Sementara Tavaka sendiri yang kemudian memendek menjadi Tava dan kemudian menjadi Tapa dalam bahasa Nusantara dalam bahasa Sanskrit artinya Kamu atau Milik Kamu. Stavaka maksudnya adalah memusatkan pemikiran dan perasaan dengan cara berdiam diri di suatu tempat yang menjadi porosnya dengan tujuan bulat kepada Dia Yang Memiliki.
Bentuk-bentuk pertapaan yang dilakukan oleh Bujangga Manik berbeda-beda di setiap tempat dan keadaan. Ada yang sekedar melalukan puja semedi sambil berlatih menghilangkan keinginan, ada yang dilakukan dengan mendengarkan perkataan para mahapandita, resi, dan purusa. Ada yang dilakukan dengan cara membangun lingga dan membenahi kawasan Kabuyutan atau Mandal termasuk bangunan-bangunan penginapannya, dan ada yang dilakukan dengan cara membaca dan menerjemahkan naskah-naskah yang tersimpan di Kabuyutan atau Mandala. Jadi Mandala atau Kabuyutan juga menyimpan arsip-arsip sejarah lokal. Jika orang pusat mau memahami lintasan sejarah secara utuh dan menyeluruh, maka turunlah ke setiap daerah-daerah dan temuilah petugas Kabuyutan dan Mandalanya. Lalu pertanyaannya kini dimana naskah-naskah dari setiap perpustakaan yang ada di setiap kabuyutan atau mandala itu?
Di Balungbungan bertapa satu tahun, lalu menyeberang ke Bali dengan menggunakan perahu Selabatang yang kelasinya dibangun oleh orang-orang Marus, Angke, Bangka, Lampung, Jambri, Bali, Cina, Malayu, Salembu, Makasar, dan Pasai. Kapali itu setelah menyeberang ke Bali atau Nusa Bali akan bergerak ke Bangka. Di Bali Bujangga Manik bertapa satu tahun. Dari Bali kembali ke Balungbungan dengan menggunakan perahu Belasagara (angkatan laut) yang akan bergerak ke Palembang dan Parayaman. Dari Balungbungan bergerak (sebagian saja yang penulis rinci) ke arah Gunung Raung, Lamajang Kidul, Gunung Hiang, Gunung Mahameru, Gunung Kawi, hingga mencapai Gunung Kempud, Rabut Pasajen sebagai hulu Rabut Palah yang merupakan kabuyutan Majapahit. Di sana Bujangga Manik bertapa untuk membaca dan menerjemahkan naskah Darmaweya dan Pandawa Jaya. Seluruh pertapaan itu masing-masing hanya dilakukan satu tahun saja.
Dari sana bergerak kembali ke Barat (disebutkan beberapa saja oleh penulis) ke arah Gunung Marapi, Singapura, Ciberang, lurah Puguh, Rambut Beser, Ciloh Praga, lurah Danuh, bergerak ke arah alas Nusahe, Sagara Anakan, Muhara Cidanduyan, Pananjung, Hujung Galuh, Ciwulan, Saung Galah, Gunung Galunggung, Bukit Cikuray, Mandala Puntang, Papandayan hingga naik ke Panenjoan dimana hingga saat ini kawasan puncak Gunung Papandayan memang masih bernama Panenjoan. Di sana Bujangga Manik melihat gunung-gunung yang jelas terlihat, dangka-dangka (satuan-satuan wilayah pemukiman) yang dinisbaatkan sebagai peninggalan administrasi dari masa Nusia Larang.
Jika dihubungkan dengan naskah Carita Parahyangan, maka Nusia Larang kemungkinan besar adalah Niskala Wastu Kancana yang disebutkan dikebumikan di Nusia Larang. Dengan demikian Nusia Larang bukanlah Nusia Mulia yang merupakan raja-raja Pajajaran pada akhir kekuasaannya. Pada adegan selanjutnya Bujangga Manik menata wilayah administrasi dan gunung-gunung sebagai porosnya di seluruh kawasan baik yang terlihat maupun yang secara mental dapat diimajinasikan ke arah mana letak-letaknya. Kawasan Cekungan Bandung saat ini juga didak seluruhnya sepi, di kawasan Utara dan Selatannya terisi juga di beberapa pematang tengahnya terisi. Terus di rinci hingga ke kawasan Ujung Kulon dan juga pulau-pulaunya yang ada juga peta mental ke arah Lampung hingga Pariyaman. Setelah puas menunjukkan khazanah penguasaanya (art of states/body of knowledge) atas wawasan geografi politik, Bujangga Manik lalu berkata:
Beuteung bogoh ku sakitu, saa(ng)geus ing milang gunung, saleu(m)pang ti Pane(n)joan,
sacu(n)duk ka Gunung Se(m)bung, era hulu na Ci-Tarum, di inya aing ditapa, sa(m)bian
ngeureunan palay.
(Setelah mengagumi semua hal itu, setelah melihat pegunungan, setelah meninggalkan
Panenjoan, setiba di Gunung Sembung, yang merupakan hulu Sungai Citarum, di sana aku
singgah bertapa, sambil melepas lelah.)
Tehering puja nyangraha, puja (nya)pu mugu-mugu.
(Beribadahlah aku melakukan persembahan, memuja dengan penuh keyakinan.)
Tehering na(n)jeurkeun li(ng)ga, tehering nyian hareca, teher nyian sakakala.
(Kemudian aku mendirikan lingga, lalu memasang arca, selanjutnya membuat tugu.)
Ini tu(n)jukeun sakalih, tu(n)jukeun ku na pa(n)deuri, maring aing pa(n)teg hanca.
(Benda-benda ini menunjukkan pada semua orang, bukti untuk orang-orang mendatang, bahwa aku sudah menyelesaikan tugasku.)
A(ng)geus aing puja nyapu, linyih beunang aing nyapu, ku/macacang di buruan, nguliling asup ka wangun, ngadungkuk di palu(ng)guhan, disiwi teher samadi. Ku ngaing dirarasakeun, ku ngaing dititineungkeun, beunang aing adu angka, nu
mangka kasorang tineung.
(Setelah aku beribadah dengan menyapu, menyapu sampai bersih, pekarangan di sekitar,
aku mendatangi bangunan-bangunan dan memasukinya, duduk dalam kesunyian,
memberikan penghormatan dan bermeditasi. Olehku diresapi, olehku dinanti-nanti, apa
hasil dari tujuanku, apa yang menyebabkan penantianku.)
Ku ngaing dipajar inya langgeng tita deung purusa, nya mana kasorang tineung.
(Aku menyebutnya keabadian, kekal bersama zat teragung, yang memenuhi maksud penantianku.)
Kena kitu nu ti heula, guna sang mahapandita, nu bisa mu(n)cakkan tapa, milih miji di sarira, ngawastu rasa wisesa, nurutkeun sakaja(n)tenna, ha(n)teu kabawa ku warna, atos alot rasa, laksana mahapurusa, nya mana pam(i)yaktaan.
(Karena sebelum adanya diriku, kebaikan dari orang bijak, yang mampu menyadari pertapaan
tertinggi, memilih berkonsentrasi pada diri sendiri, untuk memahami pengindraan tertinggi, dengan mengikuti penciptaan diri yang sesungguhnya, tidak dapat terbawa oleh warna, penuh dengan keberanian, hati yang kuat, seperti manusia suci yang
agung, yang menunjukkan bukti jelas dari itu.)
A(ng)geus ngudian sarira, Rakaki Bujangga Manik ngaler ngidul marat nimur, di tengah
kapala cakra, nyiar pigeusaneun matuh, nyiar lemah pamutian, nyiar cai / pamorocoan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nu(n)da raga.
(Setelah menyiapkan dirinya sendiri, Bujangga Manik yang terhormat menuju Utara, Selatan,
Barat, dan Timur, dari pusat cakra, mencari tempat untuk tinggal, mencari tempat
untuk bertapa, mencari air untuk tenggelam, tempat untuk mati bagiku kelak, tempat membaringkan tubuh.)
Di (i)nya aing teu heubeui, satahun deung sataraban.
(Di sana aku tidak tinggal terlalu lama, selama setahun lebih.)
Meding katepi ku are, datang nu ti lala(n)deuhan, Meding waya na banycana.
(Terlalu sering aku dikunjungi orang asing, oleh orang-orang yang datang dari bawah, terlalu
banyak godaan.)
Rutenya bermula dari Galunggung (Tasimalaya) lalu ke Cikuray (Garut), lalu dikatakan ke Mandala Puntang yang kemungkinan berada di kaki Gunung Puntang (Banjaran). Dari Gunung Puntang kemudian memasuki Gunung Papandayan (Garut) hingga mendaki ke puncaknya yang bernama Panenjoan. Dari Panenjoan Bujangga Manik menju ke Gunung Sembung tempat dimana hulu sungai Ci Tarum berada. Di sini harus dipelajari lebih baik apakah Gunung Sembung ini merupakan kawasan Drajat Pass yang berada di antara Garut dan Majalaya dimana Danau Ciharus berada yang mengalirkan sungai Ci Tarik yang juga kemudian bermuara di Ci Tarum dimana Danau Ciharus juga menjadi salah-satu hulu Ci Tarum yang utama.
Ataukah memang menuju ke kawasan Gunung Wayang (Pangalengan) dengan kawasan Situ Cisantinya yang terkenal hingga hari ini yang juga merupakan salah-satu hulu Ci Tarum yang utama. Atau bisa saja masih berada di kawasan Situ Cisanti dan dekat Gunung Wayang hanya saja pada sumber mata air yang berlainan sudut-sudut kerucut pegunungannya yang berlainan. Pembahasan penting ini perlu untuk dilakukan karena di catatan Bujangga Manik selanjutnya dia juga melewati Cisanti dan kemudian Gunung Wayang namun pada kali selanjutnya tidak melakukan pertapaan lagi ketika dia akan menuju ke Gunung Patuha (Ciwidey). Pada hulu sungai Ci Tarum ini Bujangga Manik bertapa satu tahun di kaki Gunung Sembung.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.