Sekitar pukul 08.30 WIB, saya sudah tiba di DENANG (Detasemen Angkutan). Tak terlalu lama, sekedar menanyakan informasi terbaru saja. Mengenai berapa kemungkinan sewa harga truk militer ke Bandung Utara untuk saat ini.
Dan sepertinya, dampak dari kenaikan BBM juga berdampak pada sistem operasional angkutan AD. Saat ini dikabarkannya sedang diusahakan adanya sebuah M.o.U dengan pihak Pertamina. Karena “jika tidak demikian, maka harga beli solar kami juga sama dengan harga bagi kebutuhan industri…” demikian katanya.
“Jika untuk melaksanakan kegiatan dari Kota Bandung, sebaiknya mengambil dari kantor militer di Kota Bandung saja. Bisa dari SECAPA (Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat) atau PUSDIKU (Pusat Pendidikan Keuangan), atau kenapa tidak mencoba dari PUSDIKHUB (Pusat Pendidikan Perhubungan) atau HUBDAM (Perhubungan Daerah Militer) saja; sepertinya harganya agak berbeda untuk kegiatan keluarga internal militer…” imbuhnya setelah melakukan jurus pancakaki dan mengetahui jikalau saya tinggal di asrama Microwave (alat komunikasi militer) milik Hubdam.
Sementara itu, Om Yayat dari BRIGIF (Brigade Infantri) yang biasa mengantar berkegiatan tidak membalas, barangkali telah berganti nomor.
Dari DENANG kemudian merobek jalanan menuju UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) untuk bertemu Bu Julimawati (Dosen Geografi UNIBBA) yang ternyata batal bimbingan dikarenakan Pak Mamat Ruhimat (Dosen Geografi UPI) sedang ada kesibukan yang lain di kampus daerah Purwakarta.
Terlanjur sudah ke kampus, saya tembuskan saja menuju ke Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI untuk menjajaki nomor dan alamat rumah seorang dosen dan ahli Botani legendaris UPI, Pak Eman Abdurahman.
Setelah didapati nomor dan alamat rumahnya, ternyata rumahnya cukup dekat dari kampus UPI, yakni di sekitar Masjid Al-Ikhlas, Negla. Maka segeralah saya bergerak menuju ke sana.
Dua hari sebelumnya, yakni pada hari Minggu, 21 Juli 2013 saya sempat bersilaturahmi juga ke rumah Pak T. Bachtiar (anggota MGI dan KRCB), sembari memberikan kabar dan perkembangan informasi perihal Tarum Areuy (Marsdenia tintoria R.Br.) bersama Yuda Kalimullah (anggota PASER).
Maka muncullah nama Pak Eman Abdurahman (UPI) dan Pak Djuandi Gandhi (ITB) sebagai dua orang yang direkomendasikan menjadi nara sumber yang bersifat autoritatif dalam upaya melakukan konfirmasi, verifikasi, dan identifikasi Botanis yang tengah dibutuhkan agar bisa lebih meyakinkan untuk menjawab pertanyaan sederhana: benarkah ini sungguh tanaman Tarum Areuy itu?
Dari kampus, saya berjalan ke arah terminal Ledeng di Jalan Setiabudhi lalu berbelok ke arah kiri menuju Jalan Sersan Bajuri. Sekitar satu kilometer, di sebelah kanan terdapat toko bangunan dan sebuah gang bernama Gang Masjid. Maka ke situlah setahu saya keberadaan masjid Al-Ikhlas berada.
Melewati toko bangunan tepat di samping gang tersebut memiliki perasaan tersendiri. Dan suara adzan yang tepat berkumandang tak begitu kuat menggugah saya untuk segera melaksanakan ibadah. Setelah tiba di rumah Pak Eman, pintu dibuka oleh seorang ibu yang merupakan isteri Pak Eman. Beliau mengutarakan jikalau jika Pak Eman sedang berada di masjid untuk melaksanakan Shalat Dzuhur.
Daripada menunggu, akhirnya saya bergegas juga menyusul menuju menuju masjid untuk menemui Pak Eman dan sekaligus melaksanakan shalat yang telah tertinggal satu buah rakaat.
Benar saja, ada Pak Eman yang ternyata berperan sebagai imam masjidnya. Dan di sana ada seseorang yang juga sudah sejak masa kanak-kanak saya kenal dengan baik tepat sedang berdiri dibelakangnya, namanya Pak Aa Hidayatullah, pemilik toko bangunan; kawan baik (alm) ayah saya (Nono Atmadja Kusumawardhana).
Kami berjabat tangan dan mendapat pelukan hangat, merajuk untuk saya duduk dan berbicang-bincang ringan barang sebentar yang juga kemudian diikuti oleh Pak Eman yang juga bergabung setelah bersalaman. “Nanti, setelah dari Pak Eman ke sini lagi dulu ya.. ditunggu sambil itikaf barang sebentar” kata Pak Aa.
Saya perkenalkan diri saya dan saya menyatakan keperluannya: bahwa saya menanyakan perihal Tarum Areuy. Lantas berbincanglah kami dengan akrab dan lancar. “Nama Latinnya apa?” katanya. Saya bilang Mardenia tintoria R.Br. karena saya sudah membacanya dalam buku The History of Sumatra karya William Marsden.
Kemudian lanjutnya dengan tenang, “…Yang seperti ini bukan?” sambil berjalan menuju ke halaman depan rumahnya. Dalam hati saya terkejut dan sekaligus bahagia. Pak Eman memang benar ajib dan ajaib. Seseorang yang layak dihormati karena ilmunya dan karena usaha kerasnya secara praktis dalam memelihara tetumbuhan.
Tarum Areuy yang telah kami peroleh sebelumnya (akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012), telah pak Eman tanam sejak 3 tahun yang lalu di rumahnya (tahun 2010). Dan ya, memang persis dengan apa yang kami peroleh. Hanya saja daunnya lebih ramping. Katanya “Itu karena media tanamnya tidak maksimal.”
Menurut pria kelahiran Manonjaya (Tasikmalaya) kelahiran tahun 1932 tersebut, bibitnya diperoleh dari kawasan Cipedes, Tasikmalaya sepuluh tahun yang lalu (tahun 2003) sebagai hasil dari upaya pencarian dan pemberian kawannya.
Spesimen dari Cipedes tersebut kemudian ditanam di kampus UNSIL (Universitas Siliwangi) dan kurang begitu terpelihara. Dari sumber di kampus UNSIL tersebut kemudian Pak Eman menanamnya di halaman rumahnya. Sumber di Cipedes dan kampus UNSIL sendiri kemungkinan saat ini sudah tidak ada.
Ketertarikannya terhadap Tarum Areuy dimulai ketika diperkenalkan oleh seseorang yang pernah menanam pohon serupa “…di jalan dekat ke kampus UPI, di sebuah rumah yang dekat dengan pohon nangka” katanya.
Namun demikian ketika Pak Eman hendak memintanya untuk ditanam sebagai sumber koleksi sudah tidak ada lagi tumbuhannya tersebut. “Pak, sudah dulu buat sementara informasinya. Nanti pasti berkunjung lagi buat nanya-nanya” kata saya. “Tunggu sebentar, Bapak mau ikut ke Kebun Botani UPI.” Saya bilang siap, namun izin sebentar menemui pak Aa dulu.
“Kamu punya darah politik,” kata kawan ayah saya tersebut. Saya hanya tersenyum saja. Tapi saya cukup memahami apa makna politik dan bagaimana rasa politik dari sudut pandang dan pengalaman seorang anak dalam menanggapi dari gairah dan aktifitas politik seorang ayahnya.
“Tapi, ayah kamu juga punya darah Seni dan senang Budaya” tambahnya. “Nanti harus datang ke CCL, Iman Soleh akan ngundang Jalaluddin Rachmat untuk membaca puisi. Nanti dikabari lagi.”
Imajinasi kemudian hidup bersama berdedak-dedak cangkir-cangkir kopi yang airnya susut. Asap-asap rokok yang mengepul ke langit-langit rumah. Perbincangan yang keras dan antusias dari soal-soal politik, perubahan struktural, realitas sosial yang memprihatinkan, soal-soal agama, teologi, kampanye, dan logo-logo partai.
Buku-buku yang berseliweran di lemari dan di meja-meja diam-diam dan tanpa begitu dimaknai, sebenarnya juga telah saya lahap hingga tandas. Dan setiap sore, ibu pulang dengan cukup lelah dari kantor sebagai konsekuensi abdi megara; dan kemudian membereskan sisa-sisa perjamuan. Rasa-rasanya, saya cukup berhak untuk menyatakan merasa cukup tahu barang sedikit soal-soal politik.
Hari itu, Pak Eman membawa pohon Handeleum Beureum untuk ditanam di kebun Botani UPI. Di sana juga sudah tertanam pohon Tarum Areuy satu buah sebagai spesimen dari Cipedes. Meminta tolong penjaga kebun dan satpam untuk mengantarnya mengambil bibit pohon Buah Naga di rumah yang sedang disulap menjadi deler, Jalan Setiabudhi No. 176. Rumah bekas Jenderal kata Pak Eman yang merupakan lulusan PTPG pertama tersebut; dimana guru-gurunya antara lain ilmuwan-ilmuwan generasi Tionghoa-Indonesia yang pada saat ini masih didapati mengisi berjaya mengisi formasi kebutuhan kampus-kampus; selain ditemani karya-karya sisa-sisa pengajaran Belanda.
Dikarenakan satpam dan penjaga kebun sepertinya malas dengan seringnya diajak ‘ekspedisi’ dadakan oleh Pak Eman, maka saya antarkan. Sembari membawa peralatan sederhana (karung, keresek, kawat, tambang, golok) kami berkendara.
“Oh, ini Buah Naga teh Pak. Yang seperti ini mah banyak atuh Pak” sembari guyon saya utarakan juga. “Banyak itu setelah tahu!” Sembari menyiduk air dari genangan kolam yang sudah tak terurus, “Barangkali ada ganggangnya.” katanya.
Demikianlah, cerita hari ini. Setelah saya antarkan kembali pak Eman dengan aman dan selamat. Dan Tarum Areuy yang telah kami dapatkan dari kawasan Majalaya (Bandung Selatan) yang penting sudah bisa dikatakan “Shahih” dengan “Sanad” dan “Perawi” yang juga bagus.
Gambar: Chye Retty Isnendes [Dosen Pendidikan Bahasa Sunda FPBS UPI dan Dewan Pengurus Varman Institute] bersama Pohaci [Mahasiswi Pendidikan Biologi FPMIPA UPI, Putri Chye Retty Isnendes] saat menengok Eman Abdurahman [Ahli Botani UPI dan Mahasiswa Pendidikan Biologi PTPG, cikal bakal FKIP UNPAD, IKIP Bandung,dan UPI]. Dan sesimen Tarum Areuy [Marsdenia tinctoria] asal Cipedes Tasikmalaya pada kunjungan terbaru di rumah Eman Abdurahman.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.