Profesor Soepardjo Adikoesoemo JPG

“Hudjan mas perak – negeri orang;

Hudjan keris lembing – negeri kita.”

(Es ist die Fremde, regne es auch Gold und Silber;

Es ist mein Land, regne es auch Speere)

Soepardjo Adikoesoemo – dalam Studien zur Bevolkerungsdichte von Westjava.

Riwayat Pendidikan

Namanya Soepardjo Adikoesoemo, lahir di Surabaya pada  25 Februari 1928. Ayahnya bernama Imam Mukti Adikoesoemo, pensiunan pegawai Kantor Pos pada masa akhir pendudukan Hindia-Belanda. Sementara ibunya bernama Soeparmi bin Sastrosoemo, seorang ibu rumah tangga biasa.

Riwayat pendidikannya dimulai ketika memasuki Sekolah Dasar (SD) tujuh tahun milik pemerintah Hindia-Belanda di kota Surabaya sejak tahun 1934-1941. Kemudian melanjutkan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) tiga tahun milik pemerintah Hindia-Belanda di kota Malang sejak tahun 1941-1944. Kemudian memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA) tiga tahun milik Hindia-Belanda di kota Surabaya sejak tahun 1944.

Namun demikian, riwayat pendidikannya sepertinya sempat terhenti (barangkali) pada sekitar bulan September 1945. Pada saat itu, situasi politik dan keamanan Tanah-Air memanas dan bahkan menimbulkan terjadinya letusan pertempuran antara pihak laskar-laskar militer pendukung gerakan kemerdekaan 17 Agustus 1945 (RI) dengan pihak Sekutu (Inggris) yang memboncengi NICA.

Sejarah umumnya menandainya sebagai Agresi Militer Pertama dan Peristiwa Hotel Yamato, yakni suatu peristiwa perobekan bendera Merah-Putih-Biru menjadi Merah-Putih di kota Pahlawan, Surabaya. Dalam konstelasi zaman demikian, pemuda Soepardjo Adikoesoemo lantas memilih untuk bergabung dengan dunia kemiliteran.

Karir militer Soepardjo Adikoesoemo diembannya hingga pada tahun 1950, dengan pangkat terakhir sebagai Letnan (Lettu Non NRP pada Batalyon TOP. BE 17 JATIM). Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu kebijakan militer yang dikenal dengan istilah Demobilisasi, yakni suatu usaha untuk memodernisasi struktur kemiliteran dengan cara perampingan tubuh keanggotaannya pada sisi praktisnya. Kesempatan tersebut, kemudian dimanfaatkannya untuk menjalani kembali kehidupannya yang normal sebagai warga sipil biasa.

Pada tahun 1950 tersebut, Soepardjo Adikoesoemo menggunakan waktunya untuk menuntaskan riwayat pendidikan SMA-nya yang sempat tertunda, dalam bingkai sistem persekolahan nasional (mengingat waktu yang singkat, kemungkinan diselenggarakan dalam suatu skema program belajar semacam penyetaraan).

Kemudian pada tahun yang sama, Soepardjo Adikoesoemo melanjutkan riwayat pendidikannya dari tahun 1950-1951 pada program studi Kedokteran Gigi satu tahun di kota Surabaya (masih perlu diuji kebenaran datanya, namun seingat penulis demikian yang saya dengar dari kesaksian isterinya; kemungkinan besar benar).

Pada tahun 1951, Soepardjo Adikoesoemo kemudian pergi ke negeri Belanda dengan tujuan memperdalam studi Kedokterannya di Royal University of Utrech, the Netherland. Namun demikian, menurut keterangan dari Tiny Soepardjo Adikoesoemo (isteri Soepardjo Adikoesoemo), pihak Kementrian Pendidikan dari Kerajaan Belanda menganjurkannya untuk mengambil program studi yang lain, dengan alasan bahwa untuk studi Kedokteran sendiri di Indonesia sebenarnya sudah dirasa cukup mapan.

Pada akhirnya, Soepardjo Adikoesoemo kemudian memilih program studi Geografi di Universitas Utrech sejak tahun ajaran 1951/1952. Setelah menempuh sebanyak enam semester, Soepardjo Adikoesoemo pada akhirnya lulus sebagai Candidat Philosophy (Sarjana). Namun demikian, selain mempelajari studi Geografi, Soepardjo Adikoesoemo juga fokus mempelajari Sosiologi, Antropologi dan Sejarah (mesti dilihat bagaimana sistem penjurusan dan kurikulum yang berlaku pada saat itu di negeri Belanda dan Eropa pada umumnya).

Selesai menempuh Candidat Philosophy pada tahun 1955, situasi hubungan Indonesia-Belanda kemudian memanas kembali, kemungkinan dipicu oleh adanya sengketa wilayah Irian Barat (Papua) – tafsir penulis. Menurut keterangan Tiny Soepardjo Adikoesoemo, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di negeri Belanda kemudian berpencar ke beberapa negara-negara tujuan Eropa lainnya.

Menurut keterangan Tiny Soepardjo Adikoesoemo juga, sebelumnya duta-duta mahasiswa (sebagian merupakan eks. militer) dari Tanah-Air umumnya memiliki beberapa negara tujuan studi, yakni: Belanda, Jerman, Prancis, Swiss dan Austria. Selepas dari Belanda, Soepardjo Adikoesoemo memilih hijrah ke negeri Jerman Barat dengan memboyong seorang isteri (warga negara Belanda) dan kedua anak laki-lakinya yang masih kecil-kecil (memiliki tiga orang putra, satu orang laki-laki kemungkinan lahir di Jerman).

Di Jerman Barat (sebelum kembalinya fusi Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi Jerman), Soeparjo Adikoesoemo kembali mengambil studi Geografi bersama dengan Sosiologi, Antropologi, dan pada kali ini menukar studi Sejarahnya dengan studi bahasa kuno Sanskerta (Sprech) pada Fakultas Filsafat di Johannes Gutenberg University of Mainz, the West Germany.

Pada tahun 1957, Soepardjo Adikoesoemo mulai mengerjakan disertasinya dengan judul: Studien zur Bevolkerungsdichte von Westjava (Studi Kepadatan Penduduk di Jawa Barat) dalam bimbingan penuh Prof. Dr. W. Panzer dan Prof. Dr. J. Schmid. Sedangkan khusus untuk pendalaman aspek Sosiologi dan Etnologinya, Soepardjo Adikoesoemo memperoleh bimbingan dari Prof. Dr. W. E. Muhlmann dan Dr. H. Nachtigall. Sementara untuk urusan Statistiknya, Soepardjo Adikoesoemo memperoleh bimbingan dari Dr. K. Horstmann. Disertasinya tersebut, kemudian dapat diselesaikannya pada tanggal 09 Juli 1960 dan membuatnya lulus sebagai Doctor Philosophy (Pasca-Sarjana).

Sementara dosen-dosen yang sempat membimbingnya di Utrecht antara lain adalah: Prof. Hol, de Vooys, Fischer, Kruyt, Thiel, dan Vening Meinesz. Sedangkan dosen-dosennya ketika di Mainz (selain sebagian telah diutarakan di atas) adalah: Prof. W. Panzer, Scmid, Muhlmann, Porzig, Falke, Nachtigall, dan Hafemann.

Perjalanan Pulang

“Gelar, nama kapal dari Lloyd Triesno yang kami tumpangi tahun 1960 adalah M.S. AUSTRALIA. Aku ketemu dari urkunde tanda bukti aku di baptis dengan bami spageti dulu bahan makanan kemudian dilempar ke kolam renang bersama penumpang-penumpang lain yang juga baru pertama kali lewat katulistiwa. Salam bu Tiny.” (SMS pada Sabtu, 25 September 2010; pukul 10.37)

Menurut keterangan Tiny Soepardjo Adikoesoemo, pada minggu pertama di bulan Oktober 1960, Soepardjo Adikoesoemo memboyong seluruh anggota keluarganya menuju Indonesia. Perjalanan pulang dilakukannya dengan menggunakan jasa pelayaran kapal laut milik perusahaan Lloyd Triestino (tampaknya menjadi tahun-tahun akhir riwayat pelayaran kapal laut Eropa-Australia).

Pelayaran dimulai melalui pelabuhan Genoa, kemudian menuju pelabuhan Naples, Messina, Port Said, Suez, Aden, Colombo hingga tiba di Tanjung Priuk (Jakarta). Sementara itu, KM Australia sendiri masih harus berlayar hingga berakhir di pelabuhan Fremantle, Melbourne, dan Sydney (Australia). Perjalanan dengan menggunakan KM (Kapal Motor, Inggris: Motor Ship) Australia tersebut memakan waktu tiga minggu. Sehingga Soepardjo Adikoesoemo dapat diperkirakan telah tiba di Tanah Air (Jakarta) pada minggu keempat di bulan Oktober 1960.

Sekedar catatan, bahwa KM Australia merupakan kapal laut rancangan A. G. Weser Actengesellshaft di Bremen (Jerman). Beratnya mencapai angka 9.242 ton; panjang 139,9 meter; lebar 17,7 meter; kapasitas 135 orang 1st-class, 690 orang 3rd-class dan 250 orang awak, juga 850 orang singgle-class; dengan kecepatan berlayar 12 knot. Dengan menggunakan first class travel  itulah, Soepardjo Adikoesoemo dan keluarganya yang sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya, tiba di Tanah Air.

Dari Jakarta, perjalanan dilanjutkan menuju kota Bogor untuk menetap sementara di rumah bibinya yang menjadi pemukim kota hujan tersebut. Sementara isteri dan anak-anaknya menetap untuk sementara di Bogor, setelah beristirahat untuk beberapa hari; menurut keterangan Tiny Soepardjo Adikoesoemo, Soepardjo Adikoesoemo kemudian melakukan lawatan ke beberapa kota (tidak memperoleh keterangan spesifik dan tidak menyusulkan pertanyaan lanjutan, apakah lawatan kota-kota besar di Indonesia, ataukah di Pulau Jawa; kemungkinan sekedar kota-kota besar antara Jakarta dan Bandung di Jawa Barat saja) untuk melihat kemungkinan kota yang paling cocok untuk mewujudkan impiannya membangun Jurusan Geografi di Tanah Air.

Hanya saja, dalam lawatannya di kota Bandung, Soepardjo Adikoesoemo mendapatkan sambutan yang luar biasa dari Dekan FKIP UNPAD (mantan Dekan PTPG sejak 20 Oktober 1954, sebelum institusinya kemudian dilebur kedalam kampus UNPAD sebagai fakultas utama sejak 25 November 1957), yakni Mas Sadardjun Siswomartojo. Buah pertemuan antara Soepardjo Adikoesoemo dengan Sadardjun Siswomartojo tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk segera didirikannya Jurusan Geografi di FKIP UNPAD, sementara Soepardjo Adikoesoemo dipersilahkannya untuk segera memboyong keluarganya dan mengisi rumah dinas dosen yang masih kosong di Jalan Jayaperkasa No. 5 (kampus Bumi Siliwangi).

Dalam naskah Riwayat Hidup dan Pekerjaan atas nama Soepardjo Adikoesoemo pada tahun 1993, tercantum bahwa ia secara resmi telah menjabat sebagai Ketua Jurusan Geografi FKIP UNPAD Bandung untuk periode 1960-1967. Meski tanpa mencantumkan tanggal dan bulan, dengan demikian telah sangat jelas bahwa titik berangkat kelembangaan Jurusan Geografi secara resmi telah berdiri pada tahun 1960 ketika masih dalam bingkai kelembagaan UNPAD.

Jika secara tradisional perayaan ulang tahun Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI Bandung (sekarang Departemen Geografi) biasa diselenggarakan pada setiap bulan November (tanggal 22), hal demikian logis dalam kedudukannya dengan kronologi perjalanan Soepardjo Adikoesoemo (sangat luas kemungkinannya antara bulan November-Desember).

Meskipun kemudian, penerimaan mahasiswa pertamanya baru dilaksanakan pada tahun 1961 (berarti pembenahan sudah mulali dilakukan sejak pertemuan dengan Mas Sadardjun di bulan November 1960). Kemudian pada 1 Mei 1963, FKIP UNPAD akhirnya lepas kembali dari pangkuan UNPAD dengan format baru sebagai IKIP Bandung untuk mengatasi dualisme lembaga pendidikan guru di tingkat universitas antara FKIP dan IPG yang tengah terjadi pada waktu itu. Sejak tahun 1963 itulah, Jurusan Geografi FKIP UNPAD tersebut, kemudian berubah kedudukannya menjadi Jurusan Geografi FKIS IKIP Bandung.

Upaya memperingati hari jadi Departemen Geografi FPIPS UPI bisa dilaksanakan pada bulan November dan pada tanggal 22 sebagaimana tradisi yang sudah terbiasa dilakukan oleh lembaga yang kemungkinan memiliki dasar riwayat dan praktik yang berlangsung. Bisa juga untuk kepentingan yang lebih terasosiasi upaya peringatannya dilaksanakan pada tanggal 10 November bersamaan dengan berlangsungnya Hari Pahlawan.

Riwayat Pekerjaan

Soepardjo Adikoesoemo tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian UNPAD pada tahun 1960-1964; Ketua Jurusan Geografi FKIP UNPAD pada tahun 1960-1967; Dekan FKIS IKIP Bandung pada tahun 1964-1967; Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Depdikbud pada tahun 1970-1974; Sekertaris Lembaga Pendidikan Pasca Sarjana IKIP Bandung (1968-1978); Sekertaris Sekolah Pasca Sarjana IKIP Bandung (1979-1983); dan terakhir memangku jabatan sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung (1983-1993). Selain memangku jabatan dalam dunia pendidikan di lembaga sipil, Soepardjo Adikoesoemo juga aktif sebagai Guru Militer bagi SESKO ABRI bagian AD di Bandung.

***

Soepardjo Adikoesoemo lahir di Kota Pahlawan, tutup usia pada 21 Mei 1993, akibat serangan jantung pada saat melakukan perjalanan darat Bandung-Bali dengan menggunakan Bis di Pulau Dewata (untuk suatu undangan kegiatan akademik). Jenasahnya kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, di Kota Kembang pada kapling CI.2.

Terima kasih

Diucapkan penulis untuk kawan-kawan penghuni Gedung Teropong sejak masa perkenalan dengan Ibu Tiny Soepardjo Adikoesoemo, pameran trotoar yang liar, upacara pelantikan pengurus adat JANTERA masa Kadat Kemod, panitia Stadium General, dan juga hingga kini generasi Kadat Angga Resgiana Direza hingga Siti Jubaedah dan Haikal. Judul Jejak Sang Profesor mempertahankan gagasan Oka Sumarlin dalam pameran jalanan trotoar.  Muhammad Iqbal dan Kus yang juga sempat menulis dan memelihara sebagian data yang ada. Dan tentu, terima kasih banyak untuk Oma Tiny Soepardjo Adikoesoemo dan keluarga yang sudah mengenalkan suaminya, bukan untuk menjadikannya mitos, melainkan sekedar untuk menghargai sejarah, dan meletakkan aspek kelembagaan pada tujuan dan konstelasi masa lalu yang membuatnya diinginkan untuk membawa lerubahan ke arah yang mebih baik di masa depan. Semoga bermanfaat.

Bandung, 16 November 2014

(Sebuah Catatan Kecil Untuk Memperingati Perayaan Hari Ulang Tahun Departemen Pendidikan Geografi FPIPS UPI Bandung Pada Sabtu 22 November 2014)

Referensi:

  1. Soepardjo Adikoesoemo dalam Disertasi Studien zur Bevolkerungsdichte von Westjava (1960).
  2. Soepardjo Adikoesoemo dalam Daftar Riwayat Hidup dan Pekerjaan (1993).
  3. Data rekam hasil observasi keterangan nisan Soepardjo Adikoesoemo di Taman Makam Pahlawan Cikutra (2011).
  4. Memori lisan perbincangan dengan Tiny Soepardjo Adikoesoemo, dan beberapa rekap sms, korespondensi email dan catatan di blog pribadi.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".