1
Rabu, 20 September 2017; jam 14.00 WIB saya bergerak dari Pondok Pesantren Modern Assa’adah di Jalan Serang-Pamarayan KM 25 Kampung Pasir Manggu Desa Dahu Kec Cikeusal Kab Serang (Provinsi Banten) menuju ke Kabupaten Pandeglang (Provinsi Banten) dengan menggunakan sepeda motor matic Honda Beat dengan sistem perapian lama berkarburator berwarna Pink.
Hari itu saya punya rencana untuk menemui Khairul Hakim (33 tahun), alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI angkatan 2002. Kawan saya ini memiliki perpaduan darah Minang dan Sunda yang dibesarkan di Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang (Provinsi Jawa Barat). Di Bandung, kami biasa memanggilnya dengan nama panggilan Sukim.
Sebenarnya, saya sendiri baru beberapa kali saja bisa berkesempatan untuk berbincang agak panjang sewaktu di Bandung. Namun dikarenakan saya cukup memiliki ikatan dengan teman-teman Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI dan ditambah lagi adik kandung laki-laki (Nugraha Budhi Ramdani) saya sendiri merupakan teman seangkatanya pada jurusan yang sama, maka pertemanan kami bisa berjalan dengan baik. Sementara itu bentuk komunikasi jarak jauh melalui sosial media jauh lebih sering kami lakukan.
Sejak 3 bulan ini, Khairul Hakim tengah mengajar di SKHN 01 Pembina Pandeglang. SKHN merupakan kependekan dari kata Sekolah Khusus Negeri, dimana sebelumnya lebih popular dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB). Meskipun demikian, karir pengabdian Khairul Hakim sebagai guru bukan baru saja dimulai, melaikan sudah sejak pengangkatannya sebagai abdi negara/PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada tahun 2012 dengan ditempatkannya di SMAN 1 Kota Tangerang sebagai guru Seni-Budaya.
Sementara isterinya, Sandri Kemala Dewi (32 tahun) yang pada saat ini tengah mengajar di CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School) juga merupakan alumni Pendidikan Seni Rupa UPI angkatan 2004; pada tahun yang sama dengan pengangkatan suaminya, Sandrina mendapat penugasannya di Kabupaten Pandeglang.
Hubungan rumah tangga jarak jauh membutuhkan pengorbanan hingga akhirnya, Khairul Hakim mulai mendapatkan izin mutasinya untuk mendekati domisili mengajar istrinya. Pada saat ini, pasangan Guru Seni-Budaya yang tinggal di Perumahan Cidangiang Kelurahan Saruni Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang ini memiliki jarak sekolah masing-masing yang bahkan sudah sangat dekat karena posisinya yang berdampingan.
2
Perjalanan dari Kecamatan Cikeusal (Kab Serang) menuju Kabupaten Pandeglang meskipun belum pernah dilakukan bagi saya mulai tidak mencemaskan lagi, dikarenakan pengalaman sebelumnya ketika saya memutuskan untuk mengajar di Pondok Pesantren Modern Assa’adah ini; saya sempat melintasi persimpangan antara Rangkasbitung (ibukota Kabupaten Lebak) dan Kabupaten Pandeglang pada saat menuju ke Kecamatan Cikeusal dengan nama jalan yang memanjang Ciruas (Kota Serang)-Walantaka-Petir-Warung Gunung (Kabupaten Serang) hingga persimpang tersebut.
Lebih tepatnya, pada saat keberangkatan dari Bandung, saya mencari alternatif rute dimana saya bisa menghindari keramaian DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten). Maka jawabannya adalah melintasi Bandung-Cianjur-Bogor-via Jasinga dan Leuwiliang-Rangkasbitung dan akhirnya bisa sampai ke Kecamatan Cikeusal (Kabupaten Serang), tanpa melalui Jakarta, Tangerang dan juga sekaligus tanpa melalui pusat Kota Serang.
Perjalanan Cikeusal-Pandeglang pada akhirnya berhasil dilakukan, saya kemudian tiba di SKHN 01 Pembina Pandeglang melalui CMBBS. Keterbiasaan memanggil Sukim (sebenarnya tidak hapal nama sesungguhnya) sempat membuat bingung komunikasi dengan petugas keamanan di sekolah yang biasa memanggilnya dengan nama Hakim (dan membuat kami sempat sedikit bersitegang karenanya). Namun demikian pada akhirnya kami bisa bertemu setelah sekian lama tidak bertemu.
Dari kompleks sekolah kami keluar melalui areal olahraga sketboard dan dinding batas Stadion Badak Pandeglang menuju warung kopi sekitar. Disana kami mengambil minum dan beristirahat sejenak sambil berbincang ringan sebagai pembuka. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan menuju rumahnya dengan masing-masing sepeda motor kami hingga tiba di Perumahan Cidangiang Kelurahan Saruni Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang.
Di petak kecil kamar depan yang sebelumnya barangkali berfungsi sebagai garasi atau warung kami melanjutkan perbincangan. Perbincangan seputar dunia kesenian di Banten secara umum (dengan Kota Serang sebagai core-nya) dan juga Kabupaten Pandeglang secara khusus. Dari perhatian terhadap seni tradisional hingga pada seni murni yang masih terlalu jauh untuk bisa dilakukan. Sementara saya sendiri mengutarakan maksud kedatangan, selain tentu saja soal bersilaturahmi; sudah sejak lama sekali saya menyimpan harapan untuk mencatat tradisi lisan (folklore) soal sosok Aki Tirem yang berkembang d Pandeglang.
3
Sebelumnya, saya melakukan perjalanan pada pukul 14.00 WIB, ketika saya memutuskan berangkat dari Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang dan sudah tiba pada pukul 16.00 WIB di kompleks SKHN 01 dan CMBBS. Artinya perjalanan Cikeusal menuju ke Pandeglang ditempuh dalam waktu berkendaraan selama 2 jam. Dari kompleks sekolah kami bergerak menuju ke depan Stadion Badak memburu warung kopi. Setelah sedikit tegukan air kopi dan air mineral, perjalanan dilanjutkan ke workshop tersebut yang terbilang masih kawasan Jalan Stadion Badak; sangat dekat dari komplek persekolahannya.
Perbincangan di ruangan kecil yang entah sempat berfungsi sebagai garasi, yang kini tengah dipenuhi tumpukan buku-buku, barang-barang dan peralatan khas workshop Seni Rupa tersebut kemudian saya tinggalkan sejenak. Perbincangan lanjutan di ruang workshop tersebut dihentikan pada pukul 17.00 WIB, karena kami sudah terlambat menunaikan shalat Ashar.
Maka kemudian saya bergerak menuju masjid terdekat sembari untuk mengenal lingkungan setempat, dimana bangunan masjid modern masih berpadu-padan dengan bangunan-bangunan kobong bilik santri; bersama selasar-selasar yang diisi dengan kegiatan mengaji. Banten secara umum, dan Pandeglang secara khusus memang masih menunjukkan suasana keagamaan dan budaya keberagamaan tradisional yang kental. Pesantren-pesantren baik yang modern maupun yang salafi (tradisional) berjamuran. Dan orang-orang masih terbiasa mengenakan peci, kopiah, dan sarung bahkan ketika berkendaraan di tengah-tengah suasana perkotaan.
Waktu bergerak cepat menjelang waktu shalat Magrib, saya memutuskan kembali menuju rumah Khairul Hakim. Di jalan kompleks, saya bertemu Sandrina Kemala Dewi bersama putri tunggal mereka yang kini berusia 2 tahun 8 bulan, Dhahwah Anyelir Hakim. Dugaan kami benar meskipun kami belum sempat bertemu, barangkali di kampus jika diingat-ingat kami pasti memang sempat berpapasan atau saling melewati dalam suasana yang tentu saja saling tidak mengenal.
Berhubung sekretariat JANTERA-Perhimpunan Pecinta Alam Pendidikan Geografi UPI tempat dimana saya menghabiskan waktu adalah jalur sutra bagi lalu-lalang mahasiswa-mahasiswi yang menuju pulang dan pergi ke fakultas-fakultas dan/atau kelas-kelasnya masing-masing. Saat bertemu itu, saya meminta izin kepada Sandrina untuk berkunjung dan sekaligus mengajak Khairul Hakim sedikit menikmati petualangan. Selanjutnya, saya dipersilahkan melanjutkan shalat Magrib di ruang strategis miliknya, workshop Khairul Hakim.
Selesai shalat Magrib kami berbincang soal destinasi kunjungan. Kami berbicara layaknya adegan felem-felem Asia Timur. Berbicara agak tegang, serius, penuh adab, meredam fluktuasi emosi agar tidak terlihat terlalu ekspresif; dan dalam beberapa hal kurang dinyatakan dengan begitu lugas. Saya memang sudah berfikir opsi menginap dan Khairul Hakim pada akhirnya memang berhasil menawari saya menginap; perjalan akan kami lakukan keesokan harinya.
4
Kamis, 21 September 2017; pagi hari Khairul Hakim keluar dari bangunan utama rumahnya, masuk ke workshop tempat dimana saya menginap semalam. Sebuah kamar kecil yang menempel secara menyamping dengan pintu yang menghadap pada teras tempat dimana sepeda motor dan mobilnya diparkirkan. Katanya, kita jadi berangkat hari ini; dan sepakat bukan menuju tempat Aki Tirem melainkan tempat Prasasti Cidanghiang berada.
Saya merasa bahagia dan sekaligus gelisah, karena letak dan jarak tempuhnya akan lebih jauh. Kami belum sepenuhnya terbiasa melakukan perjalanan bersama. Apalagi, Khairul Hakim akan membawa serta Sandrina Kemala Dewi dan putri cantik mereka Dhahwah Anyelir Hakim. Momentum kali ini sekaligus dapat digunakan sebagai sarana jalan-jalan bagi mereka. Terutama Anyelir yang memang lengket dan sulit sekali ditinggalkan ayah dan ibunya.
Pada rute yang telah ditetapkan itu, Khaerul Hakim dan isterinya sampai titik-titik wilayah tertentu memang sudah memiliki gambaran medannya, terutama Sandrina Kemala Dewi yang jauh lebih lama secara resmi mengabdi sebagai Guru di Pandeglang. Dan pasangan Guru Seni Budaya ini kabarmya juga sama-sama memiliki jaringan famili dari Bandung yang menetap di Banten.
Sebagai pecinta perjalanan minat khusus, saya memiliki sedikit perasaan takut jika ditengah perjalanan tidak membuat berkenan. Skema perjalanan yang umumnya bercitarasa berat dan sepi. Apakah sebanding dengan kemurahan hati yang telah diberikan. Izin menginap, jamuan makan, meluangkan waktu keluarga, biaya dan fasilitas kendaraan yang dikeluarkan keluarga ini sebagai pengorbanan perjalanan. Saya hanya bisa berdoa somoga lancar dan kami semua dapat menikmatinya sebagai sebuah perjalanan ilmiah dan petualangan yang mengasyikkan.
Jika dilihat dari komposisi perjalanan kali ini, saya yang berlatar keilmuan Geografi beruntung bisa dipertemukan dengan dua orang teman dengan latar keilmuan Seni Rupa dan Budaya; suatu kolaborasi ilmiah yang menarik. Sementara Anyelir bisa berperan sebagai kader penjelajah yang luar biasa, karena usianya yang masih belia; dengan kesempatan dan kelas petualangan yang meyakinkan. Setelah semua persiapan kami lakukan, kami kemudian meninggalkan Perum Cidangiang Indah.
5
Pada Kamis, 21 September 2017; jam 10.20 tersebut kami segera meninggalkan Perumahan Cidangiang Indah Kelurahan Saruni Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang dengan menggunakan Terrios hitam.
Khairul Hakim menjadi pengemudi dengan dilengkapi sistem navigasi online dari hp tabletnya. Saya berada kursi depan, disamping Khairul Hakim sambil membantu navigasi dan mencatat rute yang dilewati alakadarnya. Sementara Sandrina Kemala Dewi bersama Dhahwah Anyelir Hakim berada di kursi tengah yang cukup luas. Dan tas-tas bersama logistik makanan kami simpan di ruang paling belakang.
Dari Jl Stadion Badak tempat kami memulai perjalanan kami menuju ruas utama Jl Pandeglang-Labuhan. Di suatu mini market kami berhenti terlebih dahulu untuk melengkapi beberapa keperluan, saya sendiri membeli spidol warna dan kertas hvs untuk nanti digunakan sekedar menggambar atau menyalin huruf. Dari rumah Khairul Hakim juga sudah membawa perlengkapan menulis, pinsil-pinsil sketsa, dan kertas tipis semi transparan. Rencananya saya meminta Khairul Hakim membantu bagaimana caranya agar tulisan pada prasasti batu yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan istilah Batutulis dapat didokumentasikan, direproduksi, dan dijadikan sumber media pembelajaran.
Setelah transit di mini market, kami melanjutkan kembali perjalanan hingga tiba pada persimpangan jalan antara arah ke Pulosari, Mandalawangi, dan Tanjung Lesung, Labuhan, dan Saketi; maka kami berbelok menuju arah Tanjung Lesung, Labuhan dan Saketi. Saketi merupakan salah-satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang pertama kami lalui setelah kami bergerak dari Kecamatan Majasari.
Dari Kecamatan Saketi kami melewati Kecamatan Bojong, Kecamatan Picung, dan Kecamatan Sindangresmi. Jalanan yang kami lalui dari Majasari hingga Sindangresmi beraspal sangat bagus. Hingga kami tiba pada suatu persimpangan lagi, dimana kami kini harus memasuki Jl Sindangresmi-Munjul yang mulai terlihat lebih kecil dengan diikuti pudarnya jalanan aspal menjadi sekedar hotmix yang di sana-sini ditemui lubang. Pada klasifikasi jalan, barangkali kami mulai keluar dari kelas jalan provinsi menuju kelas jalan kabupaten. Pada jalur ini kami sempat beristirahat terlebih dahulu dan melakukan shalat Dzuhur di suatu masjid sambil mengorientasi ulang perjalanan.
6
Antara pukul 12.00 atau hingga pukul 13.00 kami berada di suatu masjid pada jalur awal Sindangresmi-Munjul. Artinya kami sedang bergerak dari Kecamatan Sindangresmi menju Kecamatan Munjul tempat dimana Desa Lebak Kecamatan Munjul berada. Setelah mengorientasi ulang perjalanan dan yakin pada jalur yang benar maka selanjutnya kami mulai bergerak kembali menyusuri jalanan setelah sebelumnya mengisi waktu dengan shalat Dzuhur dan mengisi perut dengan makanan ringan dan masing-masing sebutir telur asin.
Jalanan dimulai dari aspal yang mulai pudar hingga kemudian sekedar hotmix yang merupakan taburan dari kerakal dan pasir yang gemerutuk dilindas ban mobil karena tidak solid. Sementara disana-sini mulai ditemui jalanan berlubang yang membuat laju mobil melambat. Kecamatan Munjul terasa masih jauh, jalanan makin rusak hingga akhirnya bertemu dengan titik-titik yang sangat banyak dimana ruas jalan tengah ditinggikan setengah tubuhnya dengan cara difloor. Laju mobil makin merayap dan seringkali mengantri karena separuh jalan yang digunakan harus diatur untuk kedua arah yang tengah berjalan berlawanan. Bukan hanya satu titik melainkan banyak sekali titik-titik pengerjaan jalannya.
Provinsi Banten barangkali tengah giat mengejar ketertinggalannnya dalam bidang insfrastruktur, terutama jalan yang akan memudahkan aksesibilitas masyarakat antar wilayah. Namun demikian, perhatiannya terhadap aspek lainnya barangkali menjadi belum terperhatikan; Khairul Hakim melihatnya dalam ranah aktualisasi Seni dan Budaya. Saya melihatnya jauh lebih teknis dan sederhana, tak satupun ditemui pada papan penunjuk arah jalan untuk keberadaan Situs Cidanghiang ini. Baik itu sejak dari Kabupaten Pandeglang hingga kini sudah memasuki Kecamatan Munjul.
Padahal, nilai prasasti ini tidak saja bersifat lokal atau nasional saja; melainkan bernilai internasional. Kami sesekali bertanya ditiap perhentian ketika kami mengantri urutan perjalanan pada titik-titik perbaikan jalan. Desa Lebak tidaklah begitu dikenal keberadaannya, apalagi sungai Ci Danghiang dan juga keberadaan Kampung Cidanghiang. Kami harus cukup puas untuk bisa menuju pada pusat ibukota Kecamatan Munjul saja. Rencananya kami baru akan bertanya kembali secara lebih khusus disana.
7
Pada penghujung Jl Munjul-Sindangresmi kami berhenti di sebuah kantor militer barangkali setingkat Korem atau Koramil, di sana kami mendapatkan petunjuk arah berikutnya. Bahwa sebentar lagi kami akan memasuki suatu persimpangan jalan. Di sebelah kiri kemudian kami melihat sungai tergenang tenang dan cukup besar, barangkali inilah Ci Danghiang. Kami kemudian mengambil jalur ke kanan Jl Panimbang, suatu jalur yang akan menghantarkan arah menuju ke Panimbang dan Labuan di pesisir Barat Pandeglang. Pada suatu pertemuan muara sungai Ci Danghiang dengan Selat Sunda yang akan terlewati di ujung Barat, yang masih terabadikan namanya sebagai Jl Teluk Lada (di Labuan).
Jika kita mengambil jalur ke kiri maka jalan itu akan mengantarkan pada pesisir Selatan Pandeglang, yakni Bayah dan Malingping. Dan apabila ditarik mundur pada rute kami sebelumnya, kami bergerak dari Kecamatan Sindangresmi, Kecamatan Saketi dan Pandeglang kota. Dengan demikian, Kecamatan Munjul merupakan titik dimana tiga lintasan berada, yakni menuju ke pesisir Barat, pesisir Selatan, dan dataran tinggi Pandeglang di Timur berada.
Saat itu kami sempat berpikir, melalui jalur manakah Prasasti Cidanghiang dibuat pada masanya (yakni pada masa lalu)? Mungkinkah sudah mampu ditempuh dari jalur pedalaman Pandeglang-Rangkasbitung-Bogor (Jasinga)-Bekasi-Karawang-Sundakalapa lewat jalur darat yang rapat dan bergelombang? Saya teringat nama Jl Jasinga pada pemikiran ini, apakah secara toponimi terkait nama Jayasingawarman (meskipun namanya baru muncul pada Naskah Wangsakerta sebagai pendiri Tarumanagara dari Salankayana) atau yang dalam logat Sanskrit yang lebih fasih akan berbunyi Jayasimhavarman.
Jika benar demikian, pusat Tarumanagara pada masa Jayasingawarman ketika masih menjadi kerajaan bawahan (Kadiapten) di bawah Salakanagara dengan demikian dapat diindikasikan berada di zona pedalaman (daerah Jasinga, Bogor). Ataukah lebih memungkinkan ditempuh dari Teluk Lada (pembuatan Prasasti Cidanghiang dibuat pada masa cucunya Purnawarman), mengingat dimana pada masa lalu; pelabuhan jauh lebih diandalkan sebagai terminal, zona transportasi dan titik masuk ke wilayah pedalaman (gunung).
Jarak tempuh ketiga titik lintasan itu dari Munjul (Labuan, Bayah, Pandeglang), menurut perhitungan Khairul Hakim relatif sama. Maka dengan pertimbangan itu, kami rencananya akan mencoba kembali ke Pandeglang kota melalui jalur yang berbeda; yakni via Jl Panimbang-Jl Teluk Lada, Labuhan dan kemudian naik kembali secara parabola menuju Kecamatan Saketi dan akhirnya Pandeglang.
Setelah melalui persimpangan Cikusik, Cianjus, dan Panimbang, tanpa terasa kami akhirnya sudah melewati jembatan Ci Danghiang; dan sekitar 1-2 Km dari jembatan tersebut kami menemukan penciri utama yang menurut keterangan masyarakat yakni harus melewati terlebih dahulu keberadaan SMAN 7 Pandeglang.
8
Dari jalur Sindangresmi-Munjul kami melewati pasar, Korem atau Koramil (belum sempat dipastikan) dan jembatan Ci Danghiang yang tergenang. Di sana terdapat persimpangan Jl Cikeusik-Jl Panimbang, dengan melintasi jembatan kami mantap berada pada ruas Jl Panimbang. Dan antara 1-2 KM akhirnya kami menemukan SMAN 7 Pandeglang di Kecamatan Munjul.
Dari seberang sekolah kami masuk Jalan Desa Cikaso yang dikanan kiri membentang sawah yang sudah dipanen, kering; dengan sisa-sisa batangnya yang masih hidup dan tampak menguning. Sangat luas membentang merayap mendekati gugus-gugus perbukitan. Saya membayangkan konsep Plato dalam terminologi Geografi (bukan nama Filusuf Yunani Kuno), artinya suatu kawasan pedataran di suatu daerah dataran tinggi.
Antara Desa Cikaso dan Desa Lebak yang kami lalui, sepintas saya membaca kata Cidanghiang pada papan nama masjid; artinya sudah masuk nama Kampung Cidanghiang yang berada dalam wilayah Desa Lebak. Setelah melewati Kampung Cidanghiang kami berbelok melintasi jembatan sungai Ci Danghiang kembali, air lebih surut dan bongkah-bongkah batu yang tidak terlalu besar tersingkap.
Melalui penampakan Morfologi sungai yang makin mengecil dan berbongkah batuan besar, derah ini jelas menunjukkan Genesisnya yang lebih hulu dari persimpangan jembatan Ci Danghiang yang kami lewati sebelumnya.
Di daerah Kecamatan Cikeusal (Kabupaten Serang), saya belum menemukan batuan yang masif. Ketika lereng perbukitan yang terlihat solid saya dekati dan saya jumput, ternyata memang berupa tanah yang solid saja dengan warna coklat yang muda. Barangkali inilah tanah dari jenis sedimentasi laut pada masa lalu. Ataukah hasil aktifitas Vulkanisme gunungapi purba pada masa lalu.
Berbeda dengan kawasan sungai Ci Danghiang yang memiliki batuan beku, pasti ada sumbernya. Saya sekedar menduga mungkinkah dari arah sekitar Kec Mandalawangi itu sendiri dimana gunung-gunung tertinggi berada di tanah tertinggi Kab Pandeglang; saya dengar Gunung Pulosari juga merupakan gunungapi yang masih aktif.
Setelah melintasi jembatan kami masih harus melintasi lahan persawahan, saluran irigasi dan tanjakan yang sempit dan curam. Selepas melewati hutan produksi dan sawit-sawit disepanjang kiri-kanan akhirnya kami tiba di kantor Ds Lebak yang sedang dipugar. Di sana kami bertanya letak Prasasti Cidanghiang (mengambil nama sungai) atau Prasasti Munjul (mengambil nama kecamatan) itu.
Menurut keterangan warga yang tengah membangun kantor desa, sudah dekat dan kendaraan mobil masih bisa masuk. Kami masuk dan pemukiman dalam jarak 500 pun telah meter habis.
9
Selepas melewati kampung terakhir mobil masih terus melaju pada jalanan tanah, kemudian menuruni jalanan curam yang lumayan berbahaya. Saya sendiri turun dan mengarahkan Khairul Hakim yang berada dalam kendaraan. Selepas jalan tanah menurun tajam, jalan tanah kemudian melandai; di kanan-kiri jalan terdapat hutan produksi yang cukup lebat yang menjadikannya hamparan kanopi yang rindang. Sementara di sebelah kiri terdapat berupa gundukan bukit kecil yang dijadikan lahan pekuburan masyarakat, sementara di sebelah kanannya terdapat lembah.
Mobil terus bergerak, jalur lindasan mobil sebelumnya membuat lintasan menjadi cekung. Sementara selepas jalanan lurus itu, jalan tanah kemudian menekuk dan ditemui turunan yang jauh lebih panjang, lebih sempit dan lebih curam dari sebelumnya. Padahal kami sebelumnya menduga dari hasil informasi sebelumnya bahwa selepas perkampungan tadi akan masih ada perkampungan berikutnya dan ternyata tidak ada.
Saya memutuskan untuk turun dari kendaraan dan berlari mengecek ke dalam turunan jalan itu. Dipenghujung jalan itu terhamparkan material bangunan dan kemudian buntu bagi kendaraan bermobil, kecuali percabangan-percabangan setapak yang bukan masalah jika untuk pejalan kaki. Selepas tempat ngedrop material bangunan, tepat dihadapan saya terlihat jembatan kecil. Saya pun kemudian masuk barang sedikit untuk kemudian melaporkan kembali kondisi pemantauannya kepada Khairul Hakim. Bahwa tidak ada lagi kampung, tapi yang ada adalah airan sungai yang kemungkinan masih Ci Danghiang; dan masih ada peluang menemui Situs Cidanghiang setelah kawasan tersebut.
Ketika saya kembali berjalan ke atas, ternyata Khairul Hakim sudah memundurkan kendaraannya cukup jauh kebelakang. Di sana kami memutuskan untuk kembali saja ke kampung terakhir yang sesungguhnya. Pada sudut jalanan menurun sebelumnya, pada titik bertemunya dengan jalur setapak, mobil mulai dipaksakan untuk memutar arah hingga akhirnya berhasil. Setelah memasuki kendaraan, kami bergerak kembali ke perkampungan terakhir yang dekat dan sejajar kantor desa. Kami mulai ragu, setelah sebelumnya pada beberapa titik kami pun mulai gelisah dan ragu karena perjalanan terasa jauh dan belum sampai juga. Sementara tingkat kesulitan medan kali ini puncaknya. Di halaman tanah yang cukup luas kami izin memarkir kendaraan, sementara masyarakat setempat tengah sibuk dengan pembangun rumah. Setelah mengambil nafas, kami lantas bertanya ulang.
10
Ketika kembali ke kampung terakhir yang sesungguhnya yang hanya terhalang pelataran di sebelah kantor Desa Lebak, masyarakat tengah bergotong-royong membangun sebuah rumah permanen. Kami meminta ada yang mengantarkan, hanya saja tidak ada yang bersedia. Namun demikian, mereka mampu meyakinkan dengan penjelasan yang cukup jelas berdasarkan apa yang dalam bahasa Geografi disebut dengan Letak Nisbi (letak suatu posisi didasarkan pembandin letak posisi lainnya) perihal keberadaan Situs Cidanghiang kepada kami. Bahwa setelah letak material bangunan yang menumpuk di tengah lahan agak luas, kami hanya tinggal menyeberangi jembatan kecil dan sedikit berjalan ke seberangnya melalui jalur setapak sedikit lagi; maka disanalah letak keberadaannya (Letak Mutlak didasarkan koordinat Astronomis).
Waktu menunjukkan sudah masuk sekitar pukul 16.00, saya mengajukan dialog kepada tim; mengingat waktu yang semakin larut. Namun demikian, pendapat Sandrina Kemala Dewi cukup menguatkan tekad perjalanan kami; bahwa sudah tanggung untuk kembali sebelum menuntaskannya terlebih dahulu perjalanan. Kembali tanpa melihatnya akan jauh lebih membuat kecewa.
Saya bahagia meskipun sedikit ragu menghinggapi, sungguhkah ini Situs Cidanghiang yang merupakan tinggalan masa Tarumanagara dari abad ke-4 Masehi itu. Ataukah sekedar tinggalan Megalitik (yang tidak selalu secara kronologi harus berada di atas layer Hindu) yang tidak terdapat tulisannya. Karena saya sangat ingin melihat tulisan dan saya bersama Khairul Hakim sendiri sudah menyiapkan alat tulis sekedarnya. Meskipun idealnya kami ingin membawa material yang bisa digunakan untuk mencetak tekstur diatas batu tulis tersebut.
Kekhawatiran lain adalah soal perjalanan pulang, bahwa sudah terlampau larut untuk kembali melalui jalur Sindangresmi-Munjul; selain banyak perbaikan yang menghambat waktu juga akan terlalu sepi. Kami sepakat akan melewati jalur Panimbang untuk perjalanan pulangnya. Kami berhitung, untuk meneruskan jalan kaki pulang-pergi ke lembah kita hanya punya waktu 1 jam saja.
Dan kami pun bergerak, sementara Dhahwah Anyelir Hakim yang sama-sekali tidak menunjukkan rasa jemu dan gelisah sepanjang perjalanan; melainkan banyak makan, bercerita dan tidur kini ikut dalam gendongan ibunya. Kami mengulang perjalanan dengan berjalan kaki hingga posisi mobil terakhir, kemudian saya pandu pada rute pendahuluan melewati jembatan.
11
Jarak keseluruhan antara Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang dengan letak Prasasti Cidanghiang sebenarnya hanya sekitar 1-1,5 KM saja. Selepas melewati jembatan dan jalan setapak yang rindang dengan pepohonan, kami langsung dapat melihatnya dalam hitungan 300-500 meter. Melalui jembatan urat air mengalir di bawahnya dan kemudian selepas melewati kolong, urat air itu kini berada di sebelah kiri kami, sebuah lembah sungai kecil berbatu berciri hulu (intermiten). Diperkirakan tak akan begitu jauh dari kawasan tersebut, mataair tempat untuk pertamakalinya air mengalir dapat ditemui.
Sementara tempat kami berjalan adalah punggungan rendah, di mana di sebelah kanannya juga terdapat urat air lainya. Kami belum berkesempatan mengecek hingga ke depan di mana punggungan lebih terang dari kanopi dan terbuka dari semak-belukar, suatu penciri titik nyaman di mana pejalan biasa memanfaatkannya untuk beristirahat. Dan pada daerah tersebut terlihat ciri yang menjadikannya rute setapak yang bisa mengantarkan seseorang ke seberang wilayah lainnya. Saya hanya dapat menduga di dekat titik tersebut, kedua aliran sungai kecil tersebut bergabung menjadi satu.
Sejurus kemudian kami hanyalah tertuju pada tiga buah papan nama, tampaknya 2 buah dari masa peninggalan Provinsi Jawa Barat dan satu buah dari masa Provinsi Banten. Satu-satunya tempat plang penanda keberadaan terletak dari sepanjang perjalanan yang sungguh kami nanti-nantikan.
Agak ke lembah di sebelah kiri, batu tulis itu berada dalam naungan cungkup (shelter) yang tampak dalam proses pemugaran. Sementara batu tulis tersebut tengah ditutup beberapa lembar zeng untuk menghidari kontoran dan jatuhan material pembangunan fisiknya yang tengah berjalan.
Setelah menyimpan tas-tas yang membebani, kami perlahan membuka tutup yang menghalangi prasasti. Dan alhamdulillah, memang benar; inilah dia Prasasti Cidanghiang yang kami tuju itu. Saya mengeluarkan pinsil dan kertas menyalin huruf-huruf ikal dari prasasti hingga akhirnya menyerah pada bagian ujung-ujungnya. Batasan aksara dan relief alami batu tidak begitu kentara. Khairul Hakim mengeluarkan kertas transparan dan menelungkupkannya pada batuan untuk kemudian membuat arsir dengan pinsilnya; dengan hasil yang juga sama sukar mendapatkan polanya. Waktu semakin tipis, kami hanya menaruh harapan suatu hari barangkali kami bisa kembali lagi dengan persiapan yang lebih baik.
12
Pikiran melayang-layang antara waktu tempuh sejarah manusia berjalan dan perjalanan kami yang terlalu singkat; terasa sangat kontras. Dari tempat prasasti atau inskripsi batu yang biasa menjadi kajian Epigrafi (sementara Filologi mengkaji dalam medium naskah) kami berjalan pulang melalui jalan yang sama.
Setelah pamit kepada warga setempat, kami segera bergerak kembali. Waktu menjukkan menjelang pukul 17.00. Setelah melewati Jl Batu Tulis yang berupa tanah kami segera melintasi kembali jalur Desa Lebak hingga Desa Cikaso. Dari Cikaso kami memasuki kembali Jl Panimbang, namun tidak bergerak ke tempat semula; melainkan menuju Panimbang itu sendiri. Tempat dimana Ci Danghiang bermuara di Teluk Lada, bagian penting dari Selat Sunda pada masa lampau yang jauh.
Semburat mulai terlihat di langit senja, titik-titik perbaikan jalan yang sedikit membuat perjalanan memang jauh lebih cepat. Tanpa terasa kami telah melewati Kecamatan Angsana, Kecamatan Sadang, Kecamatan Panimbang dan kini kami tengah berada di atas Jalan Teluk Lada, wajah menoleh ke arah kiri petanda arah menuju lokasi Teluk Lada harus ditempuh; sementara kendaraan kami bergerak ke arah kanan, menuju menuju arah Labuan.
Lewat waktu Magrib, horizon terlihat masih cerah; kami pun menepi sekedar menikmati keindahan pesisir pantai di Labuhan. Dan kemudian dari Labuan yang sudah merupakan Jl setingkat Provinsi, laju kendaraan terasa nyaman dan cepat. Segera kami menuju Menes dan kembali ke Saketi hingga akhirnya tiba dengan selamat di rumah Khairul Hakim, yang juga bernama Perumahan Cidangiang (tidak menggunakan konsonan H; sementara Kampung Cidanghiang dan Sungai Ci Danghiang di Banten tidak ditulis dengan Danghyang) yang berada di Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang dengan kesan yang menghinggapi perasaan.
Di rumah Khairul Hakim, saya mengerjakan shalat jama’ takhir. Sebelum akhirnya kami semua beristirahat, kami membuka kembali peta dan meraba-raba rute yang telah kami lakukan bersama. Serasa hening dan takjub atas apa yang telah kami lalui.
Catatan Perjalanan Mengunjung Situs Prasasti Cidanghiang di Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dilakukan bersama Khairul Hakim, Sandrina Kemala Dewi, dan Dhahwah Anyelir Hakim. Dilaporkan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana. Catatan lebih analitis dibuat pada tulisan yang berbeda.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.