
Balaclava merupakan perlengkapan lapangan (outdoor equipment) yang digunakan untuk melindungi kepala, wajah, dan leher pada waktu melakukan kegiatan alam terbuka (outdoor activity).
Sehingga secara khusus, balaclava masuk dalam rumpun perlengkapan lapangan yang dikenakan oleh kepala. Dalam istilah bahasa Inggris, rumpun perlengkapan demikian dikenal dengan sebutan headgear (perlengkapan kepala) atau headwear (penutup kepala).
Adapun ciri khas yang membuat balaclava tampak berbeda dengan barang-barang lainnya dari rumpun perlengkapan kepala (headgear/headwear), adalah bagian yang bertugas untuk melindungi wajahnya.
Sehingga ketika seseorang menggunakan balaclava, yang terlihat hanyalah ruangan disekitar mata; atau ruangan disekitar mata hingga bagian bawah hidung saja. Namun demikian, balaclava terkadang digunakan untuk melindungi bagian kepala hingga leher saja; sehingga bagian wajah dapat terlihat dengan jelas.
Bahkan, balaclava dapat digunakan hanya untuk melindungi bagian leher saja, dengan cara bagian penutup kepalanya (crown) diturunkan hingga leher. Demikian juga jika balaclava tersebut digulung dari bagian leher hingga bagian kepala, maka jadilah balaclava tersebut bertugas sebagai pelindung kepala (skull cap) saja.
Awalnya, balaclava digunakan oleh pasukan Inggris pada saat melakukan Pertempuran Balaclava (Bettle of Balaclava). Suatu pertempuran yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 1854 di kota Balaclava. Sementara itu, Pertempuran Balaclava sendiri merupakan bagian dari perang panjang yang terjadi antara tahun 1853-1856 M, yang biasa dikenal dengan sebutan Perang Krimea (Crimea War).
Inggris pada waktu itu tidak bergerak sendirian, melainkan bergabung bersama sekutunya; yakni Prancis, Sardinia dan Turki Usmani (Devlet-i Alliye-i Osmaniyye). Sementara yang menjadi lawan dari Sekutu tersebut adalah raksasa tunggal Rusia (Rossiyskaya Imperiya) yang tangguh, dimana wilayah kekuasaannya sempat membentang hebat dari kepalanya yang medekati Eropa Barat, hingga Asia Tengah dan juga benua Amerika Utara.
Semula, persoalan dimulai ketika Prancis dan Rusia mulai bersengketa mengenai status kepemilikan atas hak ulayat tanah Yarusalem (Arab: Darusalam). Turki Usmani yang mulai mengalami kemunduran, mendapatkan banyak tekanan dan dipaksa untuk memberikan banyak wilayah yang semula berada dalam kekuasaannya; termasuk dalam hal ini status tanah yang dalam bahasa Ibrani disebut dengan daerah Yarusalem.
Yakni ibukota Israel Serikat, yang kemudian setelah terpecah dua pada tahun 930 SM menjadi Ibukota Israel Selatan atau yang biasa disebut dengan Kerajaan Yehuda (Malkut Yehudah); sementara Ibukota Israel Utara atau Israel disebut dengan kota Samaria.
Awalnya, Turki Usmani bersedia memberikannya kepada Rusia sebagai wakil dari bentuk pemerintahan yang berlatarkan Gereja Katolik Yunani atau Ortodok; namun demikian, Prancis sebagai bentuk pemerintahan yang mewakili corak Gereja Katolik Roma bersama Sekutunya tidak dapat menerima baik keputusan tersebut.
Sehingga keteganganpun berlanjut ke medan pertempuran fisik, dimana Turki Usmani sendiri kemudian berada di pihak Sekutu. Pertempuran mencakup bentang wilayah yang sangat luas, antara lain di sekitar Laut Hitam (Black Sea), Baltik, Balkan, sungai Danube, dan Semenanjung Krimea yang pada saat ini termasuk kedalam wilayah kekuasaan Ukraina.
Kota Balaclava yang berada di Semenajung Krimea yang pada awalnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Krimea (wilayah otonomi Turki Usmani), merupakan jantung penting dalam arena perebutan wilayah dan pergeseran garis pertempuran yang dapat menentukan titik-titik kemenangan. Sehingga wajar kedua nama perang tersebut mengambil inspirasinya dari nama wilayah dan kota tersebut, Krimea (Perang Krimea) dan Balaclava (Perang ‘Balaklapa’).
Pada waktu terjadinya Pertempuran Balaclava, wilayah sekitar Krimea dan Balaclava sedang mengalami musim salju (winter). Maka untuk menghindari resiko sakit dan kematian, pasukan Inggris yang berada digarda pertempuran utama mulai menggunakan pelindung kepala, wajah, dan leher yang merupakan hasil jahitan tangan yang diperolehnya sebagai pasokan logistik reguler.
Melalui pertempuran inilah, nama pelindung kepala seperti yang digunakan pada saat ini biasa disebut dengan nama balaclava. Secara kewilayahan, zona pertempuran tersebut berada dalam bentang wilayah beriklim Subtropik (subtropic zone), dimana cuaca dingin dan gigitan salju menjadi gejala alam yang membahayakan pada saat musim salju turun.
Dengan mengingat riwayat ini, maka menjadi sesuatu yang wajar apabila bentuk pelindung semacam balaclava cocok juga untuk digunakan di daerah beriklim sedang (temperate zone). Suatu bentang wilayah dimana selain memiliki salju, juga tingkat suhu udaranya yang jauh lebih dingin dengan sudut pancaran sinar matahari dan intensitasnya yang juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah beriklim subtropis. Demikian juga untuk daerah beriklim dingin (cold zone), dimana suhu dingin bergandengan tangan bersama salju yang terhampar abadi di sekitar kutub.
Namun demikian, bentuk pelindung wajah semacam balaclava juga berlaku di daerah tropis (tropic zone), yakni apabila melakukan suatu penjelajahan yang mengikuti prinsip kenaikan ketinggian. Sehingga hukum gigitan cuaca (weather) dingin di daerah tropis juga memiliki nilai yang setara dengan keberadaannya di daerah-daerah dengan ketinggian tertentu pada bentang wilayah beriklim (climate) lebih dingin lainnya.
Hanya saja, selain ganasnya suhu udara dingin di wilayah pegunungan; wilayah tropis juga memiliki cerita yang berkaitan dengan suhu udara yang panas dan sengatan matahari yang menghanguskan. Lebih khusus lagi, yakni pada wilayah tropis dengan medan gurun pasirnya yang gersang (arid climete) dan juga padang rumputnya yang miskin curah hujan dan juga kelembaban udaranya (semi-arid climate) yang rendah.
Pada daerah yang panas dan berdebu demikian, cikal-bakal balaclava dengan jenis kain tertentu; barangkali sejak jauh-jauh hari telah digunakan. Pada daerah tropis dengan medan jelajah berpasir dan berpadang rumput tersebut, dasar-dasar peradaban dunia mulai mengalami proses perancangan, uji-coba dan pematangannya.
Demikian juga perlengkapan pakaian yang menyerupai balaclava dalam menyiasati wacana keseimbangan, yakni usaha mendorong hubungan timbal-balik yang aman dan nyaman antara individu dan masyarakat di ruang-ruang publik (‘outdoor’) atau di medan-medan yang bernuansa lapangan perkotaan (‘urban’).
Perlengkapan untuk menutupi wajah dengan hanya menyisakan kenampakkannya di sekitar ruang pandandang (mata) tersebut, dalam bahasa Arab disebut dengan niqab.
Dengan demikian, selain menjalankan tugasnya sebagai perlengkapan untuk melindungi bagian kepala dan wajah dari cuaca; niqab mulai menjalankan pergeserannya dengan melaksanakan tugas tambahan sebagai perlengkapan penyamaran (camouflage).
Dalam bahasa Inggris, niqab terkadang dipadankan dengan dengan istilah veil. Namun demikian, veil yang berakar dari tradisi Bizantium (Kekaisaran Romawi Timur) antara tahun 330-1453 M tersebut, cenderung digunakan untuk dikudungkan saja. Meskipun sesekali, bagian ujung dari veil yang menjuntainya itu kemudian ditarik dan digunakannya sebagai tabir wajah pada waktu bertemu orang asing atau ketika berada di wilayah publik.
Namun demikian, dalam bahasa Arab; kain yang menjalankan tugasnya hanya sebagai kerudung tersebut, dinamainya khimar. Dalam bahasa Indonesia, khimar (Arab) atau veil (Inggris), disebut dengan istilah kerudung.
Dan akhir-akhir ini, kata kerudung juga mulai dipertukarkan sebagai sinonimnya dengan kata Arab, jilbab. Meskipun demikian, jilbab yang seakar dengan kata jalabib (kata majemuk dari jilbab) dan jubbah (suatu tipe pakaian); sebenarnya tidak merujuk secara khusus pada kerudung (khimar), melainkan pada berbagai jenis pakaian yang bersifat longgar dan langsung (semacam baju kurung).
Selain itu, jilbab juga sekaligus merujuk pada makna pakaian khusus yang memenuhi kaidah dasarnya sebagai pakaian rangkap luar (outer garment). Sehingga dalam bahasa Inggris jilbab biasa dipadankan dengan istilah coat, sementara dalam bahasa Prancis disebut dengan istilah manteau.
Dalam versi maskulinya, secara kongkrit pakaian jenis ini merujuk pada bentuk qamisha atau qamish atau terkadang thawb; sementara dalam versi femininnya merujuk pada pakaian yang biasa disebut dengan nama abayah. Sementara hijab, sebenarnya tidak merujuk secara spesifik terhadap pakaian.
Secara lugas, hijab artinya tabir atau penghalang; sehingga bisa merujuk pada banyak hal. Misalnya saja kain atau papan penyekat ruangan sebagaimana yang terdapat dalam kebudayaan Kristen (gereja) dan juga Islam (masjid).
Meski demikian, hijab kemudian menjadi istilah yang identik secara kultural dengan sepaket gaya berbusan; mulai dari bagian penutup kepala hingga pakaian panjangnya. Barangkali dikarenakan pakaian juga dimaknai sebagai medium pentabir atau penghalang dari arena visual publik.
Dalam bahasa Parsi, bentuk penutup wajah yang menyerupai balaclava modern; disebut dengan nama ruband atau pushiye atau chedar. Dalam bahasa Afghan dan Urdu (Pakistan dan India), disebut dengan nama burqa.
Selain dikenal dengan nama burqa, dikenal juga istilah chedar dalam kebudayaan Pakistan. Selain digunakan oleh komunitas Islam, dalam skala yang kecil; penutup wajah demikian juga digunakan oleh komunitas Yahudi di Israel modern; yakni komunitas Haredi (ultra-ortodok).
Dalam keterangan Strabo (ilmuan Yunani, antara 63 SM-24 M), komunitas Parsi sudah mengenal tabir wajah sejak awal abad Masehi yang disebut dengan nama chedar tersebut. Sementara menurut Tertullian (bapak Gereja Latin asal Kartago/Tunisia; antara 155-230 M), kebudayaan Arab (Pra-Islam) juga sudah menggunakan tabir wajah, setidaknya sejak awal abad ke-3 M. Demikian juga dalam kebudayaan Yunani dan Asia Tengah (disebut dengan istilah paranja), semacam terdapatnya adab dan kebiasaan yang menyebar secara merata dalam menggunakan tudung kepala dan juga wajah dalam suatu periode tertentu.
Dalam tafsir yang lebih ‘natural’, konsep penutup dan pelindung wajah bisa jadi berhubungan dengan proses adaptasi lingkungan. Sementara dalam tafsir keagamaan, bisa jadi terhubung dengan kaidah etik dan spiritualitas. Sedangkan dalam tafsir yang lebih menggugat, pola kebudayaan demikian dianggap terlalu bersifat menundukkan dan eksploitatif.
Jika melihat perkembangan modern, pola-pola dasar demikian dapat diperhubungkan dengan konsepsi dasar pembelahan wilayah privat (‘indoor’) dan publik (‘outdoor’). Dan dengan dasar yang sama—meskipun terkadang terkesan menjadi sesuatu yang dianggap kontradiksi dan paradok, atribut demikian sejak semula justru ditawarkan sebagai renungan positif atas pentingnya makna keterhubungan wilayah pribadi (individu) dan masyarakat (sosial).
Demikian juga terdapat gejala menarik pada saat ini (kontemporer), dimana atribut demikian dapat diperhubungkan dengan perlengkapan dasar dalam dunia ‘ksatria’ modern, yakni wacana atribut bersiasat dan bertempur di lahan-lahan perkotaan (urban tactical).
Apabila menengok perkembangannya pada abad ke-19 M, bentuk perlengkapan ini belum disebut dengan nama balaclava, melainkan dengan nama templar cap. Barangkali imajinasi masyarakat Eropa masih teringat dengan gaya pelindung kepala yang khas yang biasa digunakan sebagai kostum Ksatria Templar dalam menjalankan misi bagi gereja (Katolik Roma) sejak tahun 1129 M. Selain disebut templar cap, pada abad tersebut; balaclava biasa disebut juga dengan nama uhlan cap; yakni merujuk pada pelindung kepala yang digunakan oleh kavaleri Polandia dalam bentuk Persemakmuran Polandia dan Lituania (abad ke-18 M) dan juga Kadipaten Warsawa, yakni gabungan wilayah Polandia dan Kekaisaran Prusia (Jerman); hasil bentukkan Napoleon Bonaparte sejak tahun 1807 M.
Sementara Jerman modern, kemudian mulai menggunakan uhlan cap secara mandiri sejak terjadinya perang dunia ke-1, yakni sejak tahun 1914 M. Istilah uhlan sendiri sebenarnya berakar dari rumpun bahasa Turki/Tartar, yakni oglan atau ulan; artinya anak muda atau ksatria pemberani.
Dimana kelengkapan demikian sudah digunakan oleh rumpun bangsa Turk/Tartar sejak abad ke-17 hingga abad ke-18 M, dimana mereka tengah berporos di kawasan yang membentang antara padang rumput Asia Tengah hingga dataran rendah sungai Volga di Eropa.
Sehingga, jauh setelah terjadinya Perang Balaclava; jenis pelindung kepala ini dinamai sebagai balaclava. Atau dalam versi lengkapnya, disebut dengan balaclava helmet (pelindung balaclava). Dan seiring berkembangnya dunia olahraga di medan salju, penutup kepala ini juga biasa disebut dengan ‘masker ski’ (ski mask).
Hingga pada saat ini, balaclava biasa digunakan juga oleh gerakan teroris; sehingga jadilah simbol teror dan ketakutan. Sementara disisi lain, balaclava juga digunakan oleh para pasukan elit kepolisian anti-teror terbaik dunia; sehingga dimaknailah sebagai simbol keberanian dan kerahasiaan dalam pertempuran.
Demikian juga dalam dunia otomotif, balaclava dengan jenis kain tertentu menjadi sarat utama dalam melaksanakan prosedur balapan; baik dalam mengendarai sepeda motor maupun mobil. Fungsinya, selain menjaga keseimbangan dan perlindungan yang bersifat standar; juga sebagai perlindungan apabila terjadi kebakaran yang menimbulkan kebakaran dan percikan api.
Sedangkan bagi penggiat alam terbuka, balaclava merupakan perlengkapan penting yang dapat digunakan di medan ketinggian alam; baik pada wilayah pegunungan tropis apalagi di medan pegunungan es yang terdapat di zona tropis maupun subtropis dan daerah-daerah lebih dingin lainnya. Salam! Varman Dynasty Corp.
Senin, 10 April 2016

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.