Menguak tapak lacak Galunggung, tidak akan lepas dari cikal bakal lahir kerajaan Galuh, yakni Kerajaan Kendan (sekarang Kampung Kendan, Desa Citaman, Kec. Cicalengka Kab. Bandung). Sehingga melahirkan Kerajaan Galuh (sekarang Situs Bojong Galuh, Desa Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis)
Galuh punya arti yang dalam galeuh atau inti, seterusnya mengalami pergeseran dari inti menjadi hati. Sedangkan hati adalah inti dari sumber perilaku manusia. Pengertian lain dari galeuh diartikan sama dengan galih kata halus dari kata beuli/beli (Yuganing Raja Kawasa; Drs Yoseph Iskandar).
Yoseph mengatakan wajar jika dari sini lahir akar kata dan muncul menjadi nama sebuah kerajaan Galuh Pakuan atau Galih Pakuan. Berbeda dengan Poerbatjaraka ia mengartikan Galuh sama dengan perak atau permata.
Sedangkan menurut Van der Meulen Galuh sama artinya dengan bahasa Tagalog (Piliphina) artinya air. Ia punya pendirian dari lidah orang Banyumas (Jawa Tengah), kata sakaloh berubah lapal menjadi Saga-luh. Iapun menambahkan nama Galuh banyak digunakan oleh orang Jawa Tengah bagian Barat, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbalingga), Sirah Galuh (Cilacap), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purwarejo) dan Segaluh (Purwodadi)
Meulen membagi Galuh menjadi tiga bagian, pertama Galuh Purba (Galuh Lama), yang berpusat di Kabupaten Ciamis (Bojong Galuh Desa Karangkamulyan), Jawa Barat. Kedua, Galuh Utara (Galuh Baru –Galuh Lor-Galuh Luar) berpusat didaerah Dieng Jawa Timur dan Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh Tasikmalaya (sekarang di Desa Cikuya, Kecamatan Culamega dan Desa Cicombre, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya/Tasikmalaya selatan dulu Galuh Selatan).
Masih menurut Van der Meulen Galuh pertama, yaitu Galuh zaman Pemerintahan Sempakwaja dan Purbasora, Galuh kedua zaman Pemerintahan Senna (Bratasenawa) dan Galuh ketiga yaitu Galuh zaman pemerintahan Ranghyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua Galuh lain dalam perebutan kekuasaan (Yuganing Raja Kawasa/YRK;hal 97)
Kaitannya adanya kekuasaan Galuh di Jawa Tengah atau jawa Timur hal itu bisa dikuatkan dengan ditemukan prasasti Canggal yang bertuliskan tahun 654 Saka (732 Masehi). Dalam prasasti itu diceritakan bahwa Sanjaya membuat pemujaan untuk Dewa Siwa dengan mendirikan sebuah lingga diatas Stirangga yang berasal dari Kunjarakunjadesa.
Prasasti Canggal yang berbahasa Sansakerta, disamping menyebut nama Sanjaya juga menyebut nama dua tokoh yaitu Sanna (Senna; Sunda) dan Sannaha. Dalam prasasti tersebut ditulis bahwa Sanjaya itu anak Sannaha dan saudara pepermpuan Raja Sanna.(YRK hal 98)
Tokoh Sanjaya diceritakan dalam koropak, dalam bentuk naskah kuno secara kurang lengkap ditulis diatas daun nifah berasal dari Galuh. Menurut para ahli naskah itu ditulis sekitar abad ke 16. Dalam naskah kuno itu diceritakan Sanjaya adalah Raja Galuh, sedangkan putra dan salah satu cucunya memerintah di Jawa Tengah. Sehingga naskah kuno tersebut bisa dihubungkan dengan prasasti Canggal.
Hal ini diperkuat dengan naskah kuno Carita Parahiyangan (CP), sebuah naskah unikum berbahasa dan bertuliskan Sunda lama yang berasal dari abad ke 16. Bedanya dalam CP hanya mengungkapkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena (mungkin sama dengan Sanna) tanpa menyebutkan tokoh ibunya.
CP juga mengungkapkan bahwa Sanjaya ada hubungannya dengan Galuh karena Sena berkuasa di Galuh. Hal ini berkaitan dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rangyang Purbasora dan adiknya Ranghayang Demunawan ikut serta Ranghyang Bimaraksa putra dari Raja Denuh Jantaka/Resi Wanayasa/Ranghyang Kidul.
Dalam CP dinyatakan nama kecil Sanjaya yaitu Rakean Jambri. Sedangkan nama Sanjaya dinobatkan setelah ia menjadi Raja. Yang menjadi pertanyaaan kita (urang Sunda) nama Sanjaya seolah tidak ada sangkut pautnya dengan Galuh (Jawa Barat), Hanya dikenal di Jawa Tengah. CP selain menyebutkan Galuh, juga menyebutkan daerah Kuningan, Denuh dan Galunggung. Naskah CP juga menyebutkan seorang tokoh Tohaan di Sunda.
Teka-teki yang jadi persoalan besar antara prasasti Canggal dan Carita Parahiyangan terletak dalam hal orangtua Sanjaya. Inti persoalan pertama, kedua sumber cocok tentang raja yang digantikan oleh Sanjaya yaitu Sanna atau Sena. Kedua, prasasti Canggal menyebutkan Sanjaya putra Sannaha saudara perempuan Sanna, tanpa menyebutkan ayahnya (Amara/Madiminyak/Putra bungsu Raja Galuh Purba Wretikandayun) dan ketiga CP menyebutkan bahwa Sanjaya putera Sena tanpa menyebutkan Ibunya (Pohaci Rababu istri Raja Galunggung pertama Sempakwaja/Danghyang Batara Guru).
*****
Danghiyang Sempakwaja
Galuh merdeka setelah memisahkan diri dari induknya Kerajaan Sunda Sembawa yang menjadi Rajanya Tarusbawa (Kabupaten Bogor sekarang), berlangsung 669-723 M, tanpa harus terjadi dengan pertumpahan darah dan nyawa, cukup dengan selembar surat.
Peletak kerajaan pertama Galuh Wretikandayun putra bungsu dari Raja Kendan Sang Kandiawan yang punya gelar Rajaresi Dewaraja. Ia mengundurkan diri jadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Iapun menunjuk penggantinya putra bungsu (ke 5), Sang Wretikandayun yang pada waktu itu sudah menjadi Rajaresi di Menir.
Diketahui dari, leluhurnya ayah, kakek dan buyutnya Wretikandayun, semuanya menjadi raja dan merangkap sebagai guru dan pemimpin keagamaan dianggap satu-satunya oleh Sang Kandiawan yang pas meneruskan tahta kerajaan di Kendan.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa baru menggantikan kedudukan ayahnya, pada tanggal 14 bagian terang bulan Citra tahun 534 Saka (23 Maret 612 Masehi). Tatkala naik tahta Wretikandayun baru berusia 21 tahun da ia lahir tahun 591 M (YRK/hal 107)
Wretikandayun merupakan Raja keempat dari Dinasti Kendan. Saat dinobatkan menjadi Raja Kendan Ia sejaman dengana Raja Tarumangara Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M), hingga sampai ke penguasa Tarumanagara lainnya, dari Sang Sudawarman, Sang Nagajayawarman dan Sang Linggawarman (666-669 M). Raja Kendan sendiri masih menjadi bawahan Kerajaan Tarumangara.
Namun sejak dinobatkan menjadi raja, ia memindahkan Ibukota kerajaan yang semula di Kendan atau Medang Jati pindah ke ibukota baru yang diberi nama Galuh (permata). Lokasi Kerajaan Galuh berada di lahan yang diapit oleh Sungai Cimuntur dan Citanduy (sekarang Situs Bojong Galuh, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis).
Sejak pamor Kerajaan Sunda Sembawa Tarusbawa terus menurun, pada tahun 670 M, Kerajaan Tarumangara sebuah kerajaan besar di Jawa Barat telah berkahir, sekaligus mengakhiri kekuasaan Dinasti Warman.
Setelah Dinasti Warman lenyap, muncul dua kerajaan, disebelah barat Sungai Citarum menjadi Kerajaan Sunda, sedang di kawasan sebelah timurnya menjadi Kerajaan Galuh. Setelah berpisah Wretikandayun membuktikan kepiawaiannya dihadapan Tarusbawa. Kepada Tarusbawa dalam suratnya ia menyatakan mendapat dukungan dari raja-raja yang ada di Jawa Tengah.
Wretikandayun menggalang persahabatan dengan Kerajaan Kalingga (630 M) Jawa Tengah. Tidak disebutkan rajanya pada saat itu, hanya saja sebagai raja dari ayah Kartikayesinga, juga sebagai mertua Maharani Sima (YRK/YI/hal 111).
Persahabatan Galuh dengan Kalingga mulai terjalin pada saat Raja Kartkeyasinga bertahta di Kalingga (648-674 M), dari Permaisuri Ratu (Maharani) Sima punya dua anak yang sulung perempuan bernama Parwati sedangkan yang bungsu bernama Narayana
Untuk mempererat persahabatan, Wretikandayun lewat tali perkawinan putra mahkota Galuh, Amara yang terkenal dengan nama Mandiminyak ditikahkan dengan putra Mahkota Kalingga Dewi Parwati. Sang Rajaresi Wretikandayun diberi umur panjang. Lima raja yang bertahta di Tarumanagara yang pernah jadi jungjunannya selama kurun 58 tahun
Dari permaisuri Candraresmi (Manawati, dalam CP Pwah Bungatak Mangale-ngale), Wretikandayun dikarunai anak tiga, putra cikal lahir 620 M, tidak dikenal nama kecilnya, namun setelah dewasa karena giginya tanggal (ompong) maka dikenal dengan nama Sempakwaja, (kelak menjadi Rajaresiguru pertama di Galunggung dengan gelar Danghiyang Batara Guru, ia dijodohkan dengan Pohaci Rababu), yang kedua lahir tahun 622 M, dikenal dengan nama Jantaka/Resi Wanayasa/Ranghyang Kidul, setelah dewasa ia menderita penyakit kemir atau hernia, (kelak menjadi rajaresiguru di Denuh/ Tasikmalaya selatan). Sedangkan yang bungsu Amara/Mandiminyak (kelak meneruskan tahta kerajaan Galuh ayahnya Wretikandayun sekaligus putra mahkota Galuh).
Sang Wretikandayun dikaruniai umur panjang usia 111 tahun. Ia wafat tahun 702 M, sebagai penggantinya jatuh ke putra bungsu juga putra mahkota Mandiminyak. Disisi lain Mandiminyak sebelum menggantikan ayahnya di Galuh, Sang Mandiminyak telah menjadi penguasa di Kalingga Utara.
Dari mertuanya Maharani Sima yang wafat tahun 695 M. Mandiminyak bersama istrinya Parwati mendapat warisan menjadi penguasa di Kalingga Utara yang lebih dikenal dengan nama Bumi Mataram (695-716 M)
Sempakwaja dan Jantaka menurut tradisi kerajaan tidak bisa menjadi putra mahkota (yuwaraja), karena giginya tanggal dan kemir. Dari sinilah muncul awal benih-benih permusuhan antara dinasti Galuh (Amara/Mandiminyak dengan putranya Sena (Bratasenawa), dilain pihak Galunggung Sempakwaja dengan putranya Purbasora dan Demunawan serta Denuh dalam hal ini Jantaka dengan anaknya Bimaraksa, (Denuh dibawah kekuasaan Jantaka lebih bersikap netral).
Sempakwaja (Danghiyang Batara Guru) menikah dengan Pohaci Rababu, putri berasal dari petapaan (batur) Kendan mempunyai dua anak. Pertama, Sang Purbasora lahir 643 M (kelak merebut kerajaan Galuh dari Sena) dan yang kedua Sang Demunawan lahir tahun 646 M (kelak menjadi Raja di Saung Galah di Kuningan. Pubasora, Demumawan dan Bimaraksa bersama-sama merebut kerajaan Galuh dari Sena karena mereka bertiga beranggapan punya hak meneruskan kerajaan Galuh dari kakeknya Wretikandayun (bukan Sena).
Setelah Galuh dikuasai Purbasora, Demunawan dan Bimaraksa otomatis Purbasora dan Demunawan yang asalnya berkedudukan di Galunggung bersama ayahnya Sempakwaja, pindah ke Keraton Galuh (Situs Bojong Galuh Karangkamulyan) . Dan Sena meloloskan diri ke Jawa tengah (Gunung Merapi) mengikuti jejak istrinya Sannaha dan mertuanya Parwati.
Sang Rajaresi Wretikandayun berusia panjang hidup selama 111 tahun. Ia wafat tahun 702 M. Penggantinya putra Mahkota Mandiminyak (Amara). Bibit pemusuhan dan perebutan kekuasaan semakin meruncing setelah tahta Kerajaan Galuh diserahkan Mandiminyak kepada Sena.
Dua kerajaan besar yang cukup tangguh (Indrapahasta dan Kuningan) sebagai bawahan Galuh menjadi sekutu Danghiyang Guru Sempakwaja. Sebagai penguasa Kerajaan Galunggung, Sang Sempakwaja menguasai 12 kerajaan kecil disekitarnya.
Sang Mandiminyak wafat pada tahun 709 Masehi, pengantinya Sena, kesempatan sangat tebuka lebar bagi keturunan Galuh lainnya dari Sempakwaja (Purbasora dan Demunawan) dibantu dari keturunan Jantaka (Bimaraksa). Sandungan pamannya Mandiminyak yang menjadi pelindungnya Sena telah tiada.
Sang Purbasora untuk merebut tahta kerajaan Galuh dibantu oleh pasukan bayangkara yang terkenal jago memanah dari kerajaan Indrapahasta Cirebon (sekarang terletak di Cirebon Girang atau Cirebon Selatan, Kabupaten Cirebon) Rajanya Resi Padmahariwangsa atau Sang Maharesi Sentanu seorang Maharesi dari daerah Sungai Gangga India berkuasa dari 707-719 M. Ia adalah mertua Purbasora karena menikah dengan anaknya Citra Kirana.
Keikutsertaan pasukan Bimaraksa dalam pasukan Purbasora dan Demunawan memiliki nilai pulitik yang sangat besar. Tiga kekuatan tiga cucu Wretikandayun mengempur pasukan Sena yang semakin terjepit dan jatuh. Senapun meloloskan diri ke Jawa Tengah. Purbasora membiarkannya tidak membunuh Sena.
Akibat peristiwa perebutan kekuasaan yang dilakukan Purbosara, Demunawan dan Bimaraksa. Sang Sena hanya memerintah selam 7 tahun (709-716 M). Saat berhasil merebut tahta Kerajaan Galuh, Purbosara dinobatkan menjadi Raja Galuh (716 M) saat itu usianya sudah 73 tahun.
Istrinya Citra Kirana putri sulung Raja Idrapahasta menjadi permaisuri. Putera sulungnya Wijayakusuma yang lahir tahun 665 M, diangkat menjadi putra mahkota Kerajaan Galuh
Sedangkan Bimaraksa putra Sang Jantaka dari Denuh diangkat menjadi patih (Senapati) Kerajaan Galuh. Dengan dmikian Keraton Galuh dikuasai oleh keturunan Sang Sempakwaja dan Sang Jantaka yang keduanya-duanya putra Sang wretikandayaun. Dari ketiga putra Sang Wreikandayaun, putra bungsu Sang Mandiminyak yang lebih dulu meninggal, sedangkan kedua kakaknya berumur panjanag.
Terusirnya Sang Sena dari Keraton Galuh membangkitkan kekecewaan dan kemarahan kelaurga Keraton Bumi Mataram (Kalingga Utara). Untuk menentramkan dan menyejukan hati menantunya (Sena). Ratu Parwati pada saat itu pula menyerahkan tahta kerajaan Bumi Mataram kepada Sena dan Sanaha.
Suami dan istri saudara seayah yang sekaligus saudara tiri tersebut menjadi penguasa di Bumi Mataram selama 16 Tahun (716-732 M). Sedangkan Ratu Parwati dan Sang Mandiminyak adalah suami istri orangtua Sanaha, yang memerintah di Bumi Mataram selama 14 tahun (688-702 M). Setelah itu sejak Sang Mandiminyak jadi penguasa Galuh dan wafat tahun 709 M, Ratu Parwati memerintah seorang diri d Bumi Mataram (702-716 M).
Darah Sanjaya menggelegak mendengar kerajaan ayahnya (keraton Galuh) Sena jatuh ke tangan Purbasora. Saat perebutan kekuasaan Sanjaya baru beumur 33 tahun. Kejadian jatuhnya kekuasaan Sena (716 M). Sang Sanjaya bertindak sangat hati-hati. Ia hanya akan menghabisi Purbasora tidak yang lainnya, sesuai dengan amanah ayahnya Sena
Iapun meminta nasihat datang sendiri kepada Sang Rajaresi Denuh Jantaka, Resi Wanayasa untuk meminta pertimbangan, supaya Denuh bisa dijadikan tempat awal permulaan penyerbuan (penyerangan ke Keraton Galuh yang sudah dikuasai Purbasora).
Namun dengan sangat halus dan bijaksana menyadari dengan posisi Sena secara hirarki memang Sanjaya punya hak untuk menduduki tahta Kearaton Galuh. Secara diplomasi Jantaka menyatakan ketidak setujuannya Denuh dijadikan tempat awal penyerbuan.
Bagaimanpun di Keraton Galuh ada anaknya Bimaraksa. Iapun memutuskan bersikap netral dengan menasehati Sanjaya agar pergi ke Kerajaan Sunda (Bogor) leluhurnya dari pihak istri Sanjaya, Teja Kancana Ayupurnawangi cucu Tarusbawa.
Jantaka mengatakan jika Sang Sanjaya mempersiapkan gerakan dari Denuh menurut Resi Wanayasa; “Sugan Siya kanyahoan ku ti Galuh” (mungkin engkau akan ketahuan oleh orang Galuh), tegas Jantaka seperti yang ditulis oleh Yoseph Iskandar dalam YRK hal 129.
Strategi perang dalam hirarki Karajaan Galuh dan Sunda dikenal dengan Pustaka Ratuning Bala Sariwu (PRBS). Sebuah kitab kuno yang didalamnya diajarkan tentang bagaimana berperang yang efektif dengan lawan. Menghadapi Purbasora untuk merebut kembali Keraton Galuh Sanjaya dengan pasukannya menerapkan siasat yang tertulis dalam PRBS warisan leluhur Kerajaan Sunda dan Galuh terbukti ampuh.
Diceritakan dalam Yuganing Raja Kawasa, Sang Sanjaya, bersama pasukannya, melakukan serangan kilat di malam hari, ketika pasukan Galuh sedang tidur nyenyak. Bayangkara Keraton Galuh yang tediri dari pasukan Indrapahasta, sangat disegani lawan karena kemahirannya menggunakan panah dan tombak, tidak sempat menggunakan keterampilannya, karena mereka harus bertempur dalam jarak pendek dan dalam ruang yang sempit. Pertempuran tersebut terjadi di dalam keraton (kadatwan wus dumadi ranasabha).
Akibat serangan mendadak dalam kegelapan malam dan kepanikan yang amat sangat, menguntungkan pihak penyebu. Karena pasukan Sanjaya sudah sangat telatih dalam pertempuran malam. Bayangkara dan semua penghuni keraton hampir semuanya gugur. Situasi itu dimangpaatkan Sanjaya dengan cepat, ia sendiri menghadapi Sang Purbasora secara jantan lawan satu-satu. Purbasora jatuh tersungkur dan tewas, langsung ditangannya sendiri Sang Sanjaya. Purbacura Pinejahan Dering Sanjaya Yudhakala (Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya dalam waktu perang).
Patih Senapati Bimaraksa dengan beberapa pasukannya mencoba melindungi raja. Namun niat itu diurungkannya, Sang Bimaraksa tidak nekat. Iapun meloloskan diri bersama pengiringnya, dalam kegelapan malam ia behasil menyelinap di luar kerajaan. Bersama pengikutnya ia bersembunyi di Geger Sunten (sekarang adalah Kampung Sodong Desa/ Kecamatan Tambaksari, dulu Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis).
Sanjaya tidak memperdulikan lolosnya Bimaraksa karena ingat amanat ayahnya Sena. Ia ingin membalas dendam hanya kepada musuh yang telah menjatuhkan ayahnya yakni Purbasora. Sebagaimana janjinya Sang Sanjaya tidak ingin menanamkan permusuhan dengan Resiguru Wanayasa di Denuh. Sanjaya tidak ingin memanamkan permusuhan kepada keluarga lain. Musuh utamanya hanyalah Purbasora. Sanjaya merebut Keraton Galuh hanya dalam waktu satu malam. Purbasora gugur sebagai penguasa Galuh dalam usia 80 tahun.
Saat Purbosara tewas ditangan sepupunya sendiri Sanjaya. Danghyang Guru Sempakwaja masih jumeneng usianya 103 tahun. Pubasora yang terbunuh oleh Sanjaya masih ada kaitan kerabat dari istri Sempakwaja yang cantik, Pohaci Rababu. Ia (Pohaci Rababu) samarakarya dengan adik kandungnya sendiri Mandiminyak.
Sempakwaja sangat terpukul dengan perasaan sedih yang sangat mendalam. Rajaresi pertama di Galunggung ini tentu saja tidak rela anaknya terbunuh. Tidak ada keterangan kapan ia mulai menjadi Rajaresi di Galunggung.
Sanjaya ingat akan pesan ayahnya Sena, harus berbuat hormat kepada leluhurnya dari keturunan Sempakwaja dan Jantaka kecuali Purbasora. Setelah Keraton Galuh bisa direbut kembali dari tangan Purbasora. Sanjaya mengutus patihnya menghadap ke Danghiyang Guru Sempakwaja meminta Sang Demunawan (adiknya Sang Purbasora) drestui memjadi pemegang kekuasaan di Galuh
Naluri resiguru Sempakwaja menolak dengan beberapa pertimbangan. Ia masih ragu permintaan itu hanya akal-akalan untuk menjebak anaknya masuk dalam perangkapnya di Galuh dan untuk dibinasakan. Hati Sempakwaja masih diselimuti luka yang sangat dalam, anaknya sendiri Purbasora tewas ditangan Sanjaya, bagaimanapun sulit untuk dilupakan dan dimaafkan. Iapun sadar betapa berat perjuangan ayahnya (Wretikandayun ) mendirikan kerajaan Galuh menjadi Negara yang mahardika (merdeka).
Danghiyang Sempakwaja tidak mengindahkan pemintaan Sanjaya. Ia justru menunjuk Prema Dikusumah putra patih Wijayakusumah, cucu Sang Purbasora. Dengan perasaan terpaksa suka atau tidak Sanjaya menerima keputusan Sempakwaja. Untuk mengimbanginya Sanjaya menunjuk putranya Tamperan Barmawijaya menjadi patih sekaligus wakil di Galuh.
Setelah itu Sempakwaja menobatkan anaknya Demunawan (723 M) menjadi Raja di Saung Galah Kuningan. Sebagai Rajaresi Sempakwaja menguasai beberapa kerajaan kecil yang ada disekitarnya Ia meminta Sang Pandawa yang menjadi guruhaji (resiguru) di Layuwatang menyerahkan Kerajaan Kuningan kepada Demunawan. Wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan kecil bawahannya semuanya diserahkan Sempakwaja kepada Demunawan.
Danghiyang Resiguru Sempakwaja wafat pada tahun 729 M, dengan usia cukup panjang 109 tahun. Ia meninggal dunia saat Galuh dan Galunggung dalam keadaan penuh perdamaian, tidak ada lagi permusuhan diantara trah Galuh nu Agung (Galunggung).
Sedangkan Tarusbawa Raja Sunda yang bertahta di Pakuan (Bogor) kekuasaan berlangsung dari 669-723 M. wafat lebih dulu sebelum meninggalnya Sempakwaja. Tarusbawa wafat tahun 723 M dalam usia 91 thun. Tarusbawa wafat disaat perseteruan Purbasora dan Sanjaya meruncing.
*****
Batari Hiyang Janapati
Timbul tenggelam penerus tahta kerajaan Galuh dan Galunggung setelah wafatnya Danghiyang Resiguru Sempakwaja (729 M) kembali terjadi perebutan kekuasan diantara raja-raja yang berkuasa antara keturunan pewaris tahta Kerajaan Galuh dan Galunggung disebelah timur Citarum dan Kerajaan Sunda disebelah Barat Sungai Citarum.
Berdasarkan hasil Gotrasawala Perjanjian Perdamaian Galuh (Perjanjian Galuh terajdi 739 M) yang diprakarsai Sang Rajaresi Demunawan yang bertahta di Saung Galah Kuningan, setelah gotrayudha (perang saudara) antara keturunan Purbasora dan Sena kembali pecah.
Manarah alias Sang Suratoma dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana putra dari Prema Dikusumah, cucu Wijayakusumah, buyut (cicit) dari Purbasora buah perkawinannya dengan Dewi Naganingrum (cucu Bimaraksa) dan Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya putra Tamperan Barmawijaya putra Sanjaya , cucu dari Sena dengan Dewi Pangrenyep (putri dari Kerajaan Sunda), gotrayudha pecah kembali
Melihat keturunan Sena (Galuh) dan Purbasora (Galunggung) kembali berperang saling berebut kekuasaan, tampil ke depan Ranghyang Resiguru Demunawan yang bertahta di Saung Galah. Ia dengan pengaruh kuat dan wibawa yang sangat tinggi, mengadakan gotrasawala di Keraton Galuh dengan mengundang dua kekuatan besar yang sedang berseteru.
Saat itu usia Demunawan kelahiran kabuyutan (pertapaan) Gunung Galunggung usianya 93 tahun, memimpin pertemuan untuk mengutuhkan kembali rukunnya diantara putra Galuh. Hasil yang disepakati dari gotrasawala tersebut.
Diantara hasil kesepakatan, menyudahi permusuhan (mawusana panyatrwanan) diantara mereka yang berperang, mengadakan perjanjanjian persahabatan (mitrasamaya), bekerjasama (atuntunan tangan), dan saling membantu (parasparopakara) diantara mereka, tidak boleh mengadakan pembalasan (pharibaksa) terhadap sesamanya karena mereka masih satu keturunan (tunggal kawitan), semua prajurit tertawan harus dibebaskan, bila timbul perselisihan diantara mereka harus diselesaikan (telasaken) dengan damai (apakenak) dan musyawarah (mapulungrahi), dengan semangat persaudaraan (kahareup paduduluran), tidak boleh saling menyerang atau merebut kota-kota (parapura), masing-masing dan terkahir, menghormati hak ahli waris yang sah (maryada sakengsitutu)
Yaitu, pertama, kerajaan Sunda dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh Sang Kamarasa (Banga), kedua kerajaan Galuh dengan wilayah Citarum ke timur dirajai oleh Sang Suratoma (Manarah), ketiga Resiguru Demunawan menguasai kerajaan Saung Galah dan bekas kerajaan Galunggung dan keempat Sanjaya memerintah di Jawa Tengah (Bumi Mataram).
Sang Rajaresi Demunawan, penguasa Saung Galah , juga sebagai pengundang dan memprakarsai Perjanjian Galuh (739 M) wafat tahun 754 M dalam usia 128.
Sang Maharaja Sanjaya, yang pernah berkuasa di Sunda-Galuh-Kalingga. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Sanjaya selain menjadi Raja di Galuh. Iapun meneruskan tahta di Kerajaan Sunda (723 – 732 M).
Paska merebut tahta Kerajaan Galuh dari Purbasora bukti pembalasan sakit hati dan dendam ayahnya Sena. Sanjaya dinobatkan menjadi Raja di Galuh pada tanggal 14 bagian Caitra tahun 645 Saka (18 April 723 M).
Atas permintaan ayahnya Sena, Sanjaya juga menjadi pewaris tahta Kerajaan Medang Bumi Mataram (Jawa Tengah) tahun 731 M. Karena ketiga tahta itulah Sang Sanjaya menobatkan diri sebagai Maharaja di Pulau Jawa (taraju Jawadwipa). Sanjaya yang bergelar Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sawarjitasatru Yudhapumajaya wafat 754 M.
*****
Paska Perjanjian Galuh yang sangat bersejarah itu. Sekitar 200 tahun ke dapan Kerajaan Galuh, Galunggung dan Sunda sedikit mereda, tidak tampak perebutan kekuasaan yang menyulut perang besar, dua kekuatan yang sangat berpengaruh.
Saat Kerajaan Sunda dipegang oleh Sang Darmaraja putra dari Sri Jayabhupati dari istrinya yang pertama Dewi Wulansari, pemberontakan kembali terjadi dipimpin oleh Sang Wirakramajaya panglima angkatan laut Kerajaan Sunda. Hanya saja pemberontakan dapat ditumpas. Ia melarikan diri dan mencari perlindungan ke Kerajaan Sriwijaya. Sang Darmaraja menunjuk penggantinya Sang Wirakusumah.
Sedangkan wilayah Galuh dipercayakan kepada Dewi Sumbadra. Ia mendapat menjalankan roda pemerintahan Galuh tanpa ada gejolak yang berarti bertahta di Galuh hingga 1065 M selama 38 tahun. Penggati selanjutnya Prabu Arya Tunggalningrat (1091 M)
Putrinya Dewi Surastri menjadi Permaisuri Sang Maharaja Darmaraja. Dari pernikahannya dengan Sang Darmaraja dengan Dewi Surastri mempunyai anak tiga, yang sulung bernama Parabu Langlangbumi, putra mahkota calon pengganti ayahnya, kedua Darmanagara menjadi mangkubumi kerajaan, sedangkan yang bungsu menjadi panglima angkatan perang.
Sri Jayabhupati dari istrinya yang ketiga Dewi Pertiwi melahirkan Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. Ia berputra beberpa orang diantaranya, Dewi Puspawati dan Dewi Citrawati. Kerajaan Galunggung kembali membawa peradaban dan kebudayaan yang cukup maju saat kendali kerajaan Galunggung dipegang seorang perempuan bernama Dewi Citrawati.
Sebelum dinobatkan menjadi raja di Galunggung Dewi Citrawati terlibat perebutan calon suami dengan kakak kandungnya sendiri Dewi Puspawati. Ia menaruh dendam kepada kakaknya Dewi Puspawati karena telah diperistri oleh Prabu Langlangbumi. Tidak hanya itu hasrat cintanya mengebu-gebu dan cemburu yang amat sangat ia berniat ingin membunuh kakaknya.
Melihat gelagat perselisihan yang sangat meresahkan hati Sang Purnawijaya mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarmawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Setelah menikah Resiguru Sudakarmawisesa lebih memilih menjadi pertapa mendalami agama dan menyerahkan tahtanya kepada istri Dewi Citrawati.
Saai itu di pedesaan Galuh, Galunggung dan Sunda kondisinya sangat tidak aman, sering terjadi kekacauan akibat ulah perampok. Akibat kerawanan itu kerap menjadi perselisihan yang tajam antara Langlangbumi Raja Sunda dengan Penguasa Galunggung Dewi Citrawati, Setelah dinobatkan menjadi Raja Galunggung nama nobatnya Batari Hyang Janapati.
Selama memegang dan mengendalikan tahta kerajaan Galunggung Batari Hyang Janapati hatinya selalu diliputi oleh kecemasan akan adanya serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam kesumat kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam.
Untuk mempertahankan eksistensinya ia membangun angkatan perang yang kuat, membangun parit pertahanan (nyusuk). Saat inilah pusat ibukota Galunggung oleh Batari Hiyang Janapati (BHJ) dipindahkan ke Galunggung.
Tidak hanya membangun ibukota dan pasukan angkatan perang yang kuat, BHJ juga membuat prasasti, kini dikenal dengan Prasasti Geger Hanjuang.
Prasati Geger Hanjuang ditemukan di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang atau kabuyutan Lainggawangi. Karena letak ditemukan prasasti semula terdapat di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya (sekarang prasasti Geger Hanjuang menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta diberi nomer koleksi D. 26)
Dalam buku Yuganing Raja Kawasa dijelaskan bahwa prasasti Geger Hanjuang berhuruf dan berbahasa Sunda kuno
Tra ba I gune apuy nasta gomati sasakala rumatak disuse(k) ku batari hyang pun.
Prasasti tersebut bertanggal tra (trayodasi=ke-13, ba (badramasa=bulan Badra),tahun gomati=1, nasti=0, apuy=3 gune=3 Saka
Terjemahan kurang lengkapnya”Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1003 Saka Rumatak disusuk oleh Batari Hiyang. Perhitungan menurut kalender Masehi 21 Agustus 1111 M. Rumatak yang diamksud oleh prasasti Geger Hanjuang adalah ibukota baru untuk Kerajaan Galuh. Penduduk tempat ditemukannya prasasti tersebut masih mengenalnya dengan nama Rumantak.
Jalan damai kembali ditempuh akibat perseteruan antara Prabu Langlangbumi dengan Batari Hijayang Janapati. Inisiatif ini dilakukan oleh Langlangbumi dengan pendekatan melalui dengan ayahnya Dewi Citrawati, Batara Hiyang Purnawijaya dengan pamannya sendiri Panglima Suryanagara. Langkahnya itu dilakukan karena tidak ada niatan sedikitpun Sang Maharaja Lanlangbumi untuk menyerang Galunggung. Ia beprikir jika tidak segera diatasi akan menjadi duri dalam daging.
Perjanjian Damai itu dihadiri oleh Batara Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Danghiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Senapati Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menakluhur, Permaisui Puspawati, Ratu Galunggung Batari Hiyang Janapati (Dewi Citrawati) dan beberapa raja (ratu) dari darah bawahan Kerajaan Sunda dan Galuh.
Hasil kesapakatan perundingan jalan damai wilayah Jawa Barat kembali dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan;
Pertama sebelah barat sebagai Kerajaan Sunda dibawah kekuasaan Prabu Langlangbumi bersama permaisuri. Kedua, sebelah timur Kerajaan Galuh, dibawah kekuasaan Batari Hiyang Janapati, dengan Ibukotanya Galunggung.
Batara Hiyang Janapati Ratu Galunggung memerintah Galunggung selama 41 tahun (1111 -1157 M). Selanjutnya digantikan oleh putranya ialah Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa. Ia memerintah di Galunggung hanya 5 tahun (1152-1157 M). Penggantinya putranya sendiri Sang Darmakusumah. Ia kelak menikah dengan Ratna Wisesa
*****
Darmasiksa
Puncak kejayaan dan keemasan Kerajaan Galunggung berlangsung dalam masa Prabu Darmasiksa. Dalam kurun waktu dan jaman yang cukup panjang lebih dari seabad lebih Prabu Darmasiksa bertahta menjadi Raja Galunggung, hanya saja Prabu Darmasiksa mengendalikan pemerintahannya tidak di Galunggung sepert Batari Hyang Janapati. Namun dalam mengendalikan kerajaan Galunggung tidak berkedudukan di Galunggung. Tapi berpusat dan dikendalikan dari Pakuan Bogor, setelah sebelumnya bertahta di Saung Galah Kuningan
Yoseph Iskandar (YRK) berdasar dari naskah Pangeran Wangsakerta, Darmasiksa mengendalikan pemerintahan Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) asalnya di Kuningan (Saung Galah) kemudian pemerintahannya pindah ke Pakuan Bogor, tinggal di keraton Pakuan (Bogor).
Jika dilihat keturunan ke atas Prabu Danghiyang Darmasiksa masih bersambung kepada Batari Hiyang Janapati dan masih ada kekerabatan dengan Prabu Langlangbumi. Ia lahir pada pada tahun 1038 M, wafat 1155 M.
Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati (kakaknya Dewi Citrawati), Prabu Langlangbumi punya putra beberapa orang dua diantaranya, Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur dan Sang Cakranagara yang menjadi mangkubumi.
Pengganti Linggabumi setelah wafat jatuh kepada putranya Rakeyan Jayagiri (Prabu Menakluhur). Sebelum menggantikan ayahnya ia pernah memegang jabatan, yuwara (putra mahkota), selama 18 tahun, panglima angkatan laut (senapati sarwajala) selama 20 tahun, mangkubumi 15 tahun yang wafat, Mangkubumi Darmanagara
Prabu Menakluhur memperistri Ratna Satya dan dijadikan permaisuri dari perkawinan itu Prabu Menakluhur memperoleh seorang putri Ratna Wisesa. Prabu Darmakusumah cucu Batari Hiyang Janapati menjadi istri Ratna Wisesa
Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama. Maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma. Ia bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan; Galunggung, Galuh dan Sunda.
Prabu Darmakusuma memerintah selama 18 tahun, Mangkubumi yang mendampingi pemerintahannya adiknya Mangkubumi Adimurti. Karena ia berkedudukan di Galunggung sebagai daerah di wilayah kerajaan Sunda, dipecayakan kepaada Prabu Arya Santika, putra Mangkubumi Cakranagara yang juga terhitung adik misan Prabu Menakluhur.
Prabu Darmakusuma dari pernikahan dengan Ratna Wisesa berputra beberapa orang diantaranya Darmasiksa. Ia menggantikan kedudukan ayahnya dengan nama nobat Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sangyang Wisnu (1175 M).
Ia bertahta mengendalikan pemerintahan Kerajaan Sunda (temasuk Galuh dan Galunggung) asalnya ibukotanya di Saung Galah Kuningan selama 12 tahu (1175-1187 M). Kemudian pemerintahan pindah ke Pakuan (Bogor) selama 110 tahun (1187-1297 M).
Ia mempunya istri tiga; Pertama Putri Saung Galah, berputra beberapa orang diantaranya Rajapurana (1168 M). Kedua, Puteri Darmageng, berputra beberapa orang, daiantaranya Ragasuci (bergelar Rahiyang Saung Galah) , ketika ayahnya Darmasiksa pindah ke Pakuan Ragasuci memegang pemerintahan di Saung Galah dan istri ketiga Puteri Swarnabhumi (Sumatera) bernama Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, keturunan Sangramawijayayattunggawarman penguasa Kerajaan Sriwijaya (1018-1027 M) berputra beberapa orang, diantaranya Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.
Menurut Yuganing Raja Kawasa Jayadarma beristrikan Dewi Naramurti yang bergelar Dyah Lembu Tal, puteri Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Jayadarma dan Dewi Naramurti (Dyah Lembu Tal) melahirkan berputra Sang Nararya Sangngramawijaya atau Rakean Wijaya dalam sejarah Jawa Timur dikenal dengan namaRraden Wijaya.
Prabu Darmasiksa menasehati putranya Jayadarma, sempat menitipkan kabuyutan ( semacam tanah yang dianggap suci) di Galunggung. Sebab di Galunggunglah bersemayam dangiang (kekuatan spiritual/aura) kerajaan. Jika rajaputra Rahiyang Saung Galah gagal mempertahankan dan melindungi kabuyutan di Galunggung maka rajaputra derajatnya lebih hina dari kulit lasun di jarian (tempat sampah)
Rahiyang Jayadarma yang memperistri Dyah Lembu Tal, tidak sempat menjadi raja. Ia hanya menjadi penguasa di wilayah Jayagiri, ia bergelar Rahiyang Jayagiri. Ia meninggal dalam usia muda,yaitu 44 tahun.
Kerana suaminya telah meninggal Dyah Lembu Tal, memohon kepada mertuanya (Prabu Guru Darmasiksa), agar diperbolehkan pulang dan tinggal di Tumapel, bersama putranya (Raden Wijaya). Prabu Darmasiksa yang arif dan bijaksana mengerti akan perasaan hati menantunya Dyah Lembu Tal diantarkan ke Tumapel.
Setelah dewasa Wijaya menjadi senapati Kerajaan Singasari dibawah pemerintahan Prabu Kretanagara (1268-1292 M). Namun tidak berlansung lama di Singasari terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan Prabu Jayakatwang dari Kediri yang bersekutu dengan Arya Wiraraja Bupati Sumenep Madura. Prabu Kretanagara terbunuh.
Jayakatwang dengan pasukan Kedirinya berhasil merebut Keraton Singasari. Sedang Raden Wijaya bersama pengikutnya berhasil melolokan diri atas bantuan penduduk desa Kudadu. Ia dengan pengikutnya dan minta perlindungan dari Arya Wiraraja di Sumenep Madura.
Berkat pendekatan dan kepercayaan yang dilakukan Arya Wiraraja, Prabu Jayakatwang memberikan hadiah pengampunan berupa tanah Tarik kepada senapati Raden Wijaya. Yang terletak di delta Sungai Brantas.
Hutan tanah tari delta Sungai Brantas oleh Senapati Wijaya dan pengikutnya atas bantuan orang-orang Madura, berhasil dikembangkan manjadi sebuah desa kemudian dijadikan sebuah desa bernama Wilwatikta.
Pada akhirnya dengan bantuan paukan Madura dan memanfaatkan pasukan Mongol yang diperintah Kubhilai Kahan untuk menghukum Prabu Kretanegara, kekuasaan Jayakatwang berhasil direbut oleh oleh senapati Wijaya.
Empat hari setelah melakukan serangan balik terhadap pasukan Mongol yang tidak mengetahui siasat senapati Wijaya, berhasil membinasakan dan mengusirnya.
Senapati Wijaya didaulat menjadi Raja Singasari-Kediri dengan nama nobat Kretarajasa Jayawardhana, nama kerajaan dirubah oleh Wijaya menjadi Majapahit. Dalam kebesarannya dan Kejayaan Kerajaan Majapahit Rakeyan Wijaya yang sudah menjadi Sang Kretarajasa Jayawardhana, masih sempat berbakti kepada kakeknya Prabu Darmasiksa di Galunggung (Sunda) mengunjungi kota Pakuan sambil mempersembahkan hadiah.
Pertemuan dengan cucunya yang sudah menjadi Maharaja Majapahit itu Prabu Darmasiksa melampiaskan kerinduannya dan memeberikan nasihat sekaligus mendoakan cucunya itu agar menjadi raja besar yang bijaksana da disegani
Yuganing Raja Kawasa mengabadikan nasihat Prabu Darmasiksa kepada Prabu Kretarajasa Jayawardhana sebagai berikut:
Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlha yan ngkuwus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya
Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parosparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hita sukha, Yan rajya Sunda dukhantara. Wilwaltika sakopayana maweh carana; mangkana rajya Sunda ring Wilwatika (Jangan hendaknya, Anda mengganggu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekali pun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya. Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila Kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan, demikian pula halnya Kerajaan Sunda dan Majapahit. (Dana Sasmita 1983;23/Sejarah Jawa Barat/Yuganig Raja Kawasa, Drs Yoseph Iskandar: 189-190).
***
Sumber Rujukan
- Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat : Yuganing Raja Kawasa Bandung : Geger Sunten.
- Ekadjati, Edi S. 2006. Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda. Bandung : Kiblat Buku Utama
- Ekajati, Edi S Sejarah Kabupaten Kuningan
- Suherman, Yuyus. 1995. Sejarah Perintisan Peyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung : Pustaka
- Ekadjati, Edi S, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta : Pustaka Jaya