Muamalat dan Iqtishad (Sosial dan Ekonomi)
Bangsa Indonesia lahir sebagai jawaban atas kolonialisme. Melalui komitmen kebangsaan yang baru, elemen-elemen masyarakat di Nusantara telah berhasil menyingkirkan penjajahan. Nasibnya telah membawa pada keberuntungan, tidak seperti nasib yang di alami masyarakat pribumi di Benua Amerika (Indian), di Benua Australia (Aborigin), atau di Kepulauan New Zeland (Maori). Secara fisik bangsa Indonesia mampu melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan kemudian mampu membangun sistem pemerintahannya sendiri dengan format Republik Indonesia.

Namun dengan telah diraihnya kemerdekaan secara fisik, pekerjaan rumah masih panjang menanti. Kekuasaan pemerintaan bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dari skema dan sistem global yang menjeratnya lewat sentuhan jarak jauh. Di atas dasar-dasar baru Nation States di seluruh dunia, sebenarnya masih ada penguasaan tertinggi di tangan segelintir keluarga-keluarga Bankir yang tidak bisa tersentuh. Lewat International Monetary Fund (IMF), Wold Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO), United Nation (Perserikatan Bangsa-Bangsa) seluruh tatanan dunia dipaksa harus tunduk.

Lewat pinjaman internasional, seluruh negara-negara akan berhutang. Lewat regulasi keuangan, seluruh mata uang-mata uang kehilangan kemerdekaan nilainya, lewat skema perdagangan bebas, nyatanya tidak sungguh-sungguh bebas. Dia masih merupakan sistem kebebasan pasar yang semu; monopoli dan tertutup. Dan lewat perserikatan, kekaisaran dunia dijalankan dengan veto para pemenang.

Kembali kepada wacana Filsafat dan Ideologi lama sebagai pegangan dalam menentukkan sudut pandang dan paradigma modern ini tampaknya telah menunjukkan aspeknya yang bersifat kadaluarsa. Kita akan mengetahui bersama kelahiran Liberalisme, Kapitalisme di satu sisi dan Sosialisme, Komunisme di satu sisi yang lainnya adalah kelahiran dari rahim yang sama.

Pengembangan teori Merkantilisme dari abad ke-16 M hingga abad ke-18 M telah membawa penundukan satu negara terhadap wibawa negara lainnya, satu bangsa terhadap bangsa lainnya demi mengejar kekayaan yang tidak berbatas. Penjajahan di atas dunia, dan kelahiran Kolonialisme dan Imperialisme.

Pengembangan Revolusi Industri pada tahun 1750 M hingga 1850 M bukan hanya meletakkan dasar-dasar bangkitnya kasta-kasta baru Saudagar dan Pemilik Modal (Borjuise), kasta-kasta penguasa Pabrik dan Industri. Tapi juga melahirkan kasta-kasta Buruh (Proletar) yang menguras waktu dan tenaganya untuk kemajuan produksi dan penguasaan pasar. Suatu kelas Kaya yang tumbuh di atas penderitaan kelas Miskin yang terpaksa. Bukan hanya menyisakan masalah kesenjangan Sosial-Ekonomi di daratan Eropa, tapi jauh lebih dasyat lagi; dampaknya merambat pada pemerasan sumberdaya alam dan manusia di tanah-tanah yang mengalami Imperialisme dan Kolonialisasi di kawasan yang jauh dari Eropa.

Revolusi Amerika yang diletuskan pada tahun 1765-1783 M, tidak ada hubungannya dengan kemerdekaan bangsa Indian dari penjajahan bangsa Eropa (bahkan hingga hari ini). Lepasnya tanah koloni dari tanah imperialnya sekedar perebutan kepemilikan tanah jajahan dari para penjajah itu sendiri, bukan dalam arti mengurusi kebebasan nasib pribumi. Yakbi hanya berfungsi sebagai usaha pembebasan yang dilakukan oleh para Saudagar (Borjuis) dari tangan para Bangsawan (Aristokrat) klasik yang menguasai sistem Monarki dan Imperial (Imperium).

Kemudian Revolusi Perancis 1789-1799 M, sesungguhnya hanyalah dampak rambat selanjutnya dari keberhasilan Amerika Serikat dimana kasta-kasta Borjuis yang telah tumbuh lewat penguasaan Ekonomi merasa mampu untuk menumbangkan sistem Monarki yang dikuasai para Aristokrat lama. Dimana di dalam Majelis Kerajaan Perancis, terdapat etat atau golongan atau fraksi Agamawan (Pendeta) pada kelas pertama. Kemudian etas Aristokrasi yang mewakili para bangsawan-bangsawan dan pemilik wilayah-wilayah (tanah-tanah) daerah. Dan etat ketiga yang disebut dengan etat Commune artinya masyarakat kelas biasa.

Dalam pengertian Revolusi Perancis, Commune yang dalam bahasa Inggrisnya Common; dan yang lebih dikenal sebagai kata Communis adalah orang-orang di luar kasta Pendeta dan Aristokrat yang menentukan dan memonopoli regulasi kekuasaan selain keluarga kerajaan (King) dalam Consultative Assembly. Common dalam hal ini adalah terdiri dari kaum Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah masyarakat biasa yang berhasil melakukan mobilitas sosial vertikal lewat usaha perdagangan. Sementara Proletar adalah kelas-kelas pekerja atau buruh industri dan kelas-kelas rendah lainnya secara Sosial-Ekonomi.

Agen Revolusi Perancis adalah kelas Communis tersebut dengan sayap pergerakan paling radikal yang dinamai Sancullot. Kebebasan, Kesederajatan, dan Persaudaraan adalah jargon yang didengungkan bersama-sama etat Common. Tumbangkan Monarki dan Aristokrasi (nobility) dan ganti dengan sistem Republik dan Demokrasi adalah tuntutan harga mati mereka. Pemerintahan harus diserahkan kembali kepada rakyat (Re-Publik; Latin) dan pengelolaan kekuasaan harus berada di tangan rakyat (Demo-krasi; Yunani).

Untuk menandingi kekuasaan Raja Lois, Majelis Rakyat bayangan kemudian berdiri di Kota Paris. Dan kemudian secara bebas dan langsung etat Commune dan etat-etat yang membelot dari etaat Pendeta dan etat Aristokrat mengangkat seorang Walikota untuk pertamakalinya secara Republik-Demokratis. Keberhasilan Komunisme yang berumur pendek, kemudian disusul dengan kekacauan dan suksesi kekuasaan yang cepat silih berganti; hingga berakhir dengan kenaikannya penguasa militer yang mengambil alih chaos revolusi, Napoleon Bonaparte.

Kenangan indah akan keberhasilan Commune Paris telah menjadi memori historis yang membanggakan dan sekaligus menanamkan rasa kepedihan akan kegagalannya. Revolusi yang dihantarkan pada akhirnya hanya memindahkan kelas penindas dari para Raja, para Aristokrat, dan para Pendeta menuju kelas baru penguasa: Borjuasi yang menguasai aspek-aspek Kapital (Kapitalis).

Kenangan dan kesadaran bahwa revolusi belum berhasil pada tahap yang diinginkan, mendorong para Ideolog dan Teoretikus merenungkan bagaimana menuntaskan kesenjangan akut Sosial-Ekonomi yang akan membawa pada jurang kehancuran Eropa. Salah-satunya adalah Karl Marx dimana teorinya diterima luas sebagai paradigma keilmuan yang bersifat solusi alternatif untuk mengenyahkan Liberalisme-Kapitalisme lewat risalahnya yang termasyhur Das Kapital dan Manifesto Komunis yang disokong dan kemudian disunting ulang kawan karibnya Frederich Engel.

Suatu hari Lenin mendapatkan risalah tersebut dan menggunakan grand teori dan experimental approch yang dibangun Karl Marx untuk meletupkan Revolusi Bolshevik, menumbangkan Tsar Nikolas Rusia dan mencoba untuk membumikan masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa penghisapan; Komunisme. Masyarakat tanpa kelas pada akhirnya hanyalah menjadi realita yang utopia belaka. Keadaan Komunis yang diharapkan Marx hanya berakhir sebagai apa yang dalam transisi Liberalisme-Kapitalisme dinamai Marx sebagai Diktator Proletariat; dan tak ada Komunisme. Praksisnya adalah praktik Totaliterianisme ditangan para elit partai sebagai pemegang penuh tafsir revolusi belaka atas nama penguasaan negara. Di tangan Lenin, Marxisme tumbuh menjadi Marxisme-Leninisme. Komunis lewat Moskow telah berkembang sebagai kiblat Komunisme Internasional.

Tidak semua pemegang risalah Karl Marx nyatanya mengklaim sebagai Komunis. Sebagaimana juga tidak semua Sosialisme-Komunis memegang prinsip-prinsip yang sama dengan Lenin (misalnya saja Trotsky). Risalah Karl Marx nyatanya juga telah menjadi grand teori pengembangan bagi gerakan Sosialisme Demokratik. Sosialisme yang moderat dan perjuangan yang adaptip melalui prinsip-prinsip kompromistik dan praktij pemilihan umum. Tidak lagi memegang teguh secara mutlak lewat pendekatan untuk mematangkan syarat-syarat Revolusi Fisik. Meskipun mengadaptasi gagasan Filsafat Idealisme dari Frederich Hegel dan bukannya menginduk pada Filsafat Materialisme sebagai antitesa yang dikembangkan Karl Marx untuk menentang dan menyempurnakan Frederich Hegel, kekuatan NAZI Jerman tak pelak menunjukkan jejak perkawinan gagasan antara Nasionalisme (Arianisme Anti Semit) di satu sisi dan juga unsur-unsur Sosialisme yang disandarkan atas Marxisme yang berkembang sejak tahun 1933 M hingga 1945 M.

Jawabannya sederhana bahwa tidak ada suatu skema alternatif yang digunakan masyarakat Barat untuk mengatasi persoalan Liberalisme-Kapitalisme, kecuali harus berpegang pada Marxisme. Sejak Sosialisme, Komunisme, Fasisme (Nasionalisme-Sosialisme), hingga Anarkisme adalah masih berpegang pada Marxisme. Dan sayangnya, antara Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme, Anarkisme hanyalah merupakan suatu kesatuan spektrum yang dihasilkan dari pancaran cahaya yang sama. Dia tidak bersifat Alternatif melainkan hanya bersifat Substitutive (jika tidak bisa dikatakan Complementer).

Dan terlebih lagi, jika melihat bagaimana proses kelahiran Revolusi Bolshevik itu sendiri di luar wacana teoretik dan paradigmatik; nyatanya asas-asas perjuangannya masih diberikan sandangan dana dari kantung yang sama yang juga mampu mendanai gerakan Liberalisme Kapitalisme. Bahkan ketika Revolusi Kemerdekaan meletus, atas nama anti gerakan Fasisme; gerakan Sosialisme-Demokratik dan Sosialisme-Komunis di Indonesia memilih untuk bertiarap hingga menyisakan Nasionalisme-Sekular dan Nasionalis-Islam. Selain karena di Eropa Blok Kapitalis dan Blok Komunis sedang bekerjasama untuk menundukkan Jerman lewat perjanjian Posdam, pembiayaan gerakan bawah tanah di Indonesia juga tercium aroma pendanaan yang ironisnya masih berasal dari mantan Gubernur Jendral Hindia Belanda terakhir.

Di atas dasar demikian, House of Varman dapat menarik skema pemikiran dalam bidang Sosial Ekonomi, bahwa berpaling pada spektrum-spektum yang ada tersebut tidak akam menjadikannya solusi alternatif, melainkan paling banter hanya akan bersifat substitutif dan lagi tidak akan memiliki signifikansinya yang nyata dalam perombakan struktur Sosial-Ekonomi. Tanpa berpijak pada agama yang bersifat doktriner pun, kejujuran dalam memegang kerangka berpikir teoretik dan akademis hanya akan menunjuk sisa alternatif yang sesungguhnya dari banyaknya suguhan alternatif tersebut; yakni Islam. Dan Islam sebagai Ideologi dan Paradigma dan juga Sosial-Ekonomi Approach tidak memiliki hambatan dan benturan dengan Pancasila sebagai Philoshopical Grondslag (Landasan Filsafat dan Ideologi) atau Perjanjian Para Bapak Pendiri Bangsa (Gentlement Agreement). Sepanjang tidak mengkhianati rangkaian kesatuan dari sila-sila yang secara niscaya telah menjadikannya persyaratan mutlak dalam perjanjian kebersamaan.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".