Piagam Jakarta

“Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja” (Piagam Djakarta)

Dalam pandangan Prawoto Mangunkoesoemo (orang yang mewakili Masyumi dalam pembubaran sepihak oleh Pemerintah ORLA), Pancasila telah mengalami 5 kali fase perumusan.

Pertama, Pancasila sebagai bagian dari Piagam Djakarta/Mukadimah UUD 22 Juni 1945 yang disyahkan oleh BPUPKI.

Kedua, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUD 18 Agustus 1945 yang disyahkan oleh PPKI.

Ketiga, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUD RIS 27 Desember 1949.

Keempat, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUDS 17 Desember 1950.

Dan kelima, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUD 18 Agustus 1945 yang dipertautkan kembali dengan Piagam Djakarta/Mukadimah UUD 22 Juni 1945 melalui lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit tersebut kemudian diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 pada tanggal 22 Juli 1956. Kemudian juga oleh MPRS 1966 (anggota DPR hasil pemilu 1955 ditambah anggota baru dari Utusan Daerah dan Wakil Golongan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) dan juga Memorandum DPRGR (DPR hasil pemilu 1955 telah dibubarkan sepihak oleh Presiden Soekarno akibat menolak RAPBN kemudian dibentuklah DPRGR).

Sebagai perbandingan, dalam kedudukan Kesultanan Turki Usmani misalnya; Dekrit bisa dikatakan sebagai Fermen atau Firman yang berakar dari bahasa Persia (perhatikan penerjemahan Al-Qur’an dari kata Qul/Qola dalam bahasa Arab menjadi Firman/Berfirman dalam bahasa Indonesia/Melayu sebagai kata serapannya).

Dia merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan terkait banyak hal dalam medan sosial-politik yang tidak terjelaskan secara tegas dalam peraturan Syariah.

Dalam bentuk negara Monarkhi Konstitusional semacam Kesultanan Turki Usmani, Fermen atau Firman yang bersifat derivatif dari Syariah itu konstitusional.

Namun demikian, dalam bentuk negara yang bersifat Republik-Demokratis; kehadiran Dekrit menjadi bersifat inkonstitusional (apalagi terkait pengesahan UUD).

Hanya saja argumentasinya, sepanjang Dekrit Presiden tersebut tidak ada gugatan berarti dari anasir rakyat secara umum dan militer sebagai garda terakhir yang menjadi salah satu unsur keabsahan suatu negara dalam pandangan internasional; maka dia memiliki dasar yang bernilai hukum.

Apalagi, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut meskipun mencerabut hak dan peran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955; sedikit terobati dengan disusulkannya oleh penerimaan DPR hasil Pemilu 1955 yang bersifat aklamasi.

Dan kemudian diterima yang seakan-akan naik statusnya menjadi sebuah Konsensus Nasional atau dalam terminologi agama bisa dikatakan sebagai sebentuk Ijma/Ijtima mengingat betapa dahsyatnya peran dan keikut-sertaan alim ulama dalam perjuangan dan pengawalan konstitusi negara.

Dewan Konstituante adalah wakil-wakil rakyat dari hasil pemilu 1955 yang sesuai amanat UUDS 1950 diamanati membuat UUD yang lebih stabil dan permanen.

Jumlah anggotanya ada sekitar 514 orang. Hasil dari suatu proses dalam pemilihan umum terjujur dan teradil tersebut diikuti oleh 39 juta penduduk, yakni 91,54 % dari total keseluruhan populasi penduduk Indonesia pada saat itu.

Selain berdasarkan duta partai terdapat juga didalamnya wakil Golongan Tionghoa sebanyak 12 orang, Wakil Golongan Indo-Eropa 12 orang, dan Wakil Golongan dari wilayah sengketa Irian Barat 6 orang sebagai peninjau (meskipun masih dalam status pendudukan Kerajaan Protestan Belanda).

Termasuk didalamnya dikatakan adanya Wakil Golongan Arab, tapi nampaknya kurang diperkuat data dan juga karena keturunan Arab secara psikologis dan sosial sudah dianggap bagian yang melebur sebagai bagian dari golongan Pribumi itu sendiri. Hal ini sebagaimana pernah diucapkan secara lugas oleh Soekarno dalam masa persidangan BPUPKI atas andil dan jasanya secara historis dalam masa berjuang kemerdekaan sejak masa-masa yang sangat silam.

Kemudian, pada tanggal 10 November 1956 Dewan Konstituante pun dilantik. Masih pada bulan November 1956, Dewan Konstituante atau Majelis Konstituante langsung menukik pada pembahasan soal Dasar Negara. Dari sejumlah 514 anggota Dewan Konstituante, didapatlah 3 buah gagasan utama.

Pertama, merujuk pada dasar Islam sebanyak 230 anggota/suara.

Kedua, merujuk pada dasar Pancasila sebanyak 274 anggota/suara.

Dan ketiga, merujuk pada dasar Sosial-Ekonomi sebanyak 10 anggota/suara.

Nyatalah pada tahap tersebut pemilihan Dasar Negara belum mufakat dan belum pula memenuhi standar quorum dalam sistem voting. Maka masih pada bulan November 1957 dibentuklah segera Panitia Perumus Dasar Negara dengan jumlah anggota sebanyak 18 orang yang mewakili semua Golongan dan Ideologi yang ada.

Pada tanggal 21 November 1957 Soewirjo Ketua Fraksi PNI di Dewan Konstituante mengusulkan agar diadakan suatu jalan tengah untuk menghindari deadlock.

Pada bulan Mei 1958 KSAD Jendral AH Nasution dan dewan petinggi militer mendesak dikembalikannya UUD 1945 untuk mengatasi situasi politik yang dianggap mulai tidak stabil dan untuk menghindari perpecahan bangsa.

AH Nasution mencoba lobi di luar medan persidangan dengan menemui Ketua NU Idham Chalid sebagai representasi ulama dan organisasi Islam dengan basis massa yang luas.

Selain itu, Presiden Soekarno yang mendapat surat kawat darurat ketika berada dalam kunjungan di Jepang, segera berkonsultasi dengan dewan menteri dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja soal kemungkinan solusi pengembalian kepada UUD 18 Agustus 1945.

Soekarno-Djuanda kemudian menawarkan langkah-langkah pemgembalian yang akan ditutup dengan rancangan Piagam Bandoeng yang harus disyahkan sebagai hasil persidangan oleh Dewan Konstituante dimana disana ditawarkan “Klausul yang mengakui adanya Piagam Djakarta 22 Juni 1945 yang mempelopori dan mempengaruhi UUD Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai sebuah dokumen historis” (dibaca: UUD 18 Agustus 1945).

Piagam Bandung tersebut semula akan ditandatangani oleh anggota Dewan Konstituante, Presiden dan Dewan Menteri atau dalam hal ini diwakili oleh Perdana Menteri.

Usul memasukkan semangat Piagam Djakarta kedalam Piagam Bandung ditolak dan tidak membuat menarik perhatian 8 Fraksi Islam karena baginya bukan soal pengakuan historis ataupun sekedar rumusan formal, melaikan rumusan operasional dimana Syariat Islam harus mendapatkan jaminannya dalam landasan yang konstitusional untuk bisa diterapkan dalam suatu regulasi yang praktis.

Selain itu, Syariat Islam menjadi kerangka yang tidak bisa dipisahkan dalam upayanya mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dengan demikian bagi delegasi partai Islam, bukan lagi semata-mata soal diterima atau tidaknya Piagam Djakarta 22 Juni 1945 dan/atau pengakuan historisnya terhadap lahirnya UUD 18 Agustus 1945.

Keseluruhan 8 Fraksi Islam tersebut mengajukan “Usul perubahan mengenai Piagam Bandung dan stemmotivering tentang usul amandemen terhadap UUD 1945 dari 8 Fraksi Islam”.

Stemmotivering adalah pandangan umum fraksi yang dibacakan secara resmi pada akhir suatu persidangan atau pleno.

Dalam menyikapi anjuran Presiden Soekarno mengenai kembali kepada UUD 1945 maka keluarlah risalah Amandemen Masjkur, nama seorang tokoh NU yang menjadi ketua Fraksi Islam menggantikan Mr. Kasman Singodimedjo.

Dimana pada persidangan sebelumnya Mr Kasman mengingatkan janji bahwa pencoretan Syariat Islam pada Pembukaan UUD 18 Agustus 1945 sebagai sebentuk kompromi sementara dan jaminan kepercayaan bahwa soal itu akan dibahas kembali 6 bulan kemudian dalam MPR bilamana pemilu dapat dilaksanakan dengan segera dan pada faktanya momentum itu baru terlaksana dalam sidang Dewan Konstituante ini.

Melalui Amandemen Masjkur (Piagam Djakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945) dilaksanakan sidang-sidang pleno yang ditutup dengan pemilihan suara atau voting.

Pada sidang 30 Mei 1959; Pancasila 22 Juni 1945 dipilih oleh 199 orang sementara Pancasila 18 Agustus 1945 dipilih 269 orang.

Pada sidang 1 Juni 1959 dengan cara pemilihan tertutup; Pancasila 22 Juni 1945 dipilih oleh 204 orang sementara Pancasila 18 Agustus 1945 dipilih oleh 264 orang.

Pada 2 Juni 1959 dengan cara pemanggilan suara satu-persatu; Pancasila 22 Juni 1945 dipilih oleh 203 orang sementara Pancasila 18 Agustus 1945 dipilih oleh 263 orang.

Data tersebut membuat kedua belah pihak tidak memenuhi quorum 2/3 suara. Maka berdasarkan ketetapan Tata Tertib persidangan Dewan Konstituante yang telah dibuat sebelumnya sebenarnya berbunyi, jika dalam 3 X voting tawaran pengembalian UUD 18 Agustus 1945 gagal memenuhi suara quorum 2/3 bagian Dewan Konstituante; maka artinya tawaran kembali kepada UUD 18 Agustus 1945 dari pihak pemerintah sebenarnya sudah gagal untuk bisa diterima. Dan/atau dengan kata lain tertolak.

Dewan Konstituante kemudian dinyatakan gagal oleh Soekarno, meskipun sebenarnya berdasarkan pendapat anggota Dewan Konstituante sendiri bukan suatu kegagalan; melainkan adanya desakan dari pihak luar yang membuat Dewan Konstituante tidak bisa memenuhi janjinya. Bahwa batas waktu untuk persidangan masih memadai, dan mereka optimis dapat menghasilkan UUD yang baru yang telah berjalan 90% sesuai amanat yang telah ditetapkan dengan lebih sempurna dan permanen sebagaimana yang telah diharapkan sejak dimulainya persidangan dalam BPUPKI dan PPKI masa silam.

Dewan Konstituante yang mengingatkan pada Assamble Nationale Constituante Perancis pada masa Revolusi Prancis 1789 M itu pada akhirnya gulung tikar karena dibubarkan sepihak oleh pemerintah.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 selain membubarkan Dewan Konstituante adalah berfungsi untuk mengembalikan UUD 18 Agustus 1945 bersama Piagam Djakarta sebagai jiwa dan dalam suatu rangkaian utuh yang tidak bisa dipisahkan.

Sepertinya inilah jalan kompromi minimal dan terbaik yang mampu dicapai sejarah, setelah tawaran Piagam Bandung itu sendiri bersyarat, dimana Piagam Djakarta harus mendapatkan jaminannya bahwa dia bukan sekedar dokumen histori dan rumusan formal belaka. Melainkan memiliki landasan hukum dan nilainya yang bersifat operasional. Argumentasi demikian dapat dipertanggungjawabkan lewat kajian sejarah yang lebih khusus.

Sayangnya, rumusan minimal demikian pun segera melenceng jauh lewat hadirnya praktik Demokrasi Terpimpin yang membawa pada fase yang diktator dan totaliter.

Demikian juga rumusan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut tidak mendapatkan tafsir yang selayaknya pada masa Orde Baru maupun hingga periode hari ini.

“…Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 mendjiwai Oendang-Oendang Dasar 1945 dan adalah meroepakan soeatu rangkain kesatoean dengan konstitoesi tersebut…” (Dekrit Presiden 5 Juli 1959).

Catatan:

Panitia Perumus Dasar Negara pada Dewan Konstituante (Bandung, 1956-1959), jumlahnya adalah 18 orang, yakni: Enin Sastraprawira, H. Hoesein Sastro Sudarmo, KH. Sjukri, KH. Masjkur, AS. Dharta, Achmad Astrawiranata, JCT Simorangkir, Amin La Engke, Ben Mang Reng Say, Sutan Takdir Alisjahbana, Firmansjah, Baheramsjah ST. Indra, Kuasini Sabil, Oei Tjoe Tat, Sjamsu Harja Udaja, Sajogja Herdjadinata, Madomiharna.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".