Amanat Galunggung

Amanat Galunggung:

….”Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prebu” (…dunia kemakmuran tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu)

(Sosok Pemimpin Sunda dalam Gagasan dan Pengalaman: Trias Politika Dimatangkan dengan Bertapa, Bagian dari Sistem Pemerintahan Sunda oleh Tatang Sumarsono)

Tritangtu di Bumi (Tritangtu di Buana):

“Ini Tritangtu di Bumi. Bayu kita pinaka prebu, sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. Ya, Tritangtu di bumi; ya kangken pineguh ning bwana ngarana”. (Inilah Tiga Ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tiga kekuatan dunia, yang disebut peneguh dunia.

(Bagian dari Sistem Pemerintahan Sunda: Tatang Sumarsono. Hal: 119-135. Dikutip dari naskah Sunda kuno, Siksa Kandang Karesian)

Amanat Galunggung

Amanat Galunggung (AG) atau disebut pula Amanat dari Galunggung, adalah naskah yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy, Garut. Sebetulnya naskah tersebut tanpa judul, hasil pengumpulan naskah dilakukan oleh J.I.A Brandes, mulai diteliti oleh K.F. Holle, C.M Pleyte, dan R. Ng. Porbatjaraka. Isinya berupa ajaran hidup bagi para pemimpin dalam bentuk nasihat, dalam hal ini nasihat Rakeyan Darmasiksa, raja di Sunda yang memerintah pada 1175 M-1197 M, kepada anak-anak,cucu-cucu dan keturunannya. Sebelum naik tahta menjadi Raja Sunda, Darmasiksa terlebih dahulu memerintah di Saunggalah (Kuningan) yang lokasinya berada di wilayah Galunggung. Itulah sebabnya, naskah tanpa judul ini, oleh penelitinya kemudian diberi judul Amanat Galunggung (Tatang Sumarsono; 127)

Dalam buku sejarah Jawa Barat (Yuganing Raja Kawasa) karangan Drs. Yoseph Iskandar dari Naskah Pangeran Wangsakerta, Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sangyang Wisnu mengendalikan pemerintahan Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) selama 12 tahun (1175 M-1187 M), kemudian pemerintahannya pindah ke Pakuan Bogor, tinggal di keraton Pakuan selama 110 tahun (1187-1297 M), (hal;185). Kejayaan dan keadilan seorang Raja Sunda sempat dialami pula pada masa raja Galuh yang bertahta di Kawali (Galuh Kawali) sekarang Ciamis Utara yaitu, Prabu Niskala Wastu Kancana (1371 M-1475 M). Puncak kejayaan diulang kembali setelah Pemerintahan Galuh Kawali kembali pindah ke Pakuan (Bogor) saat bertahta Sri Baduga Maha Raja, Prabu Jayadewata, Pamanahrasa (Manahrasa) atau dikenal dengan Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M), putra dari Prabu Dewa Niskala (1475 M-1478 M), cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana, dan cicit dari Prabu Linggabuana (1350 M-1357 M) dikenal dengan tragedi Bubat (Diah Pitaloka/Citraresmi), ketiganya bertahta di Galuh Surawisesa, Kawali/Ciamis.

Pada masa inilah kerajaan Sunda mengalami masa keemasan, lebih dikenal dengan Kerajaan Galuh Pakuan/Pakuan Galuh atau lebih mahsyur disebut Kerajaan Padjadjaran. Dan pada saat ini pula konsep tritangtu di bumi diterapkan oleh Sri Baduga Maha Raja, sebagaimana yang tercantum dalam naskah Siksa Kandang Karesian.

Siksa Kandang Karesian (SKK), naskah kuno yang disusun pada tahun 1518 Masehi, ketika Sri Baduga Maha Raja (Prabu Jayadewata/Siliwangi) berkuasa atas tampuk pemerintahan di Kerajaan Sunda. Kutipan di atas disebut titangtu di bumi atau tritangtu di bwana (artinya tiga penentu kehidupan di dunia. Disingkat TdB). Pada konsep TdB, ada tiga unsur penting yang patut kita simak, prabu-rama-resi, yang menurut SKK merupakan inti dari kegiatan mengelola sebuah negara, demi tercapainya kesejahteraan bersama. (Tatang Sumarsono :119)

Dalam AG, SKK dan TdB, kita bisa menarik kesimpulan bahwa urang Sunda sebelum lahirnya sistem demokrasi, dikenal dengan trias politica (TP), hasil olah pikir bangsa Prancis Montesquieu (1689-1755 M). Telah mempunyai konsep mengolah negara yang jelas dan sudah dibuktikan

Dilihat dari usia lahirnya konsep urang Sunda ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara, selisih TdB dengan TP perbedaan rentang waktunya mencapai 171 tahun dari lahirnya Montesquieu, jika diukur usia meninggalnya pencipta buku l’Espirit des Lois dengan trias politica-nya (pouvoir legislative-pouvoir eksekutif-yudicaire) yang lebih dikenal dengan legislatif, eksekutif, yudikatif tentu lebih tua lagi, 237 tahun dari TdB, apalagi dengan AG. Jika merunut kepada TdB apalagi AG, urang Sunda mempunyai keunggulan, meski AG lebih menitik beratkan kepada akhlak (etika) menyiapkan bagaimana seharusnya moral yang harus dimiliki pemimpin. Setidaknya, SKK dengan TdB-nya dan AG, telah memberikan rambu-rambu calon pemimpin yang baik.

Dalam hal ini, mestinya orang Sunda harus lebih maju, bisa menerapkan konsep yang pernah disusun oleh leluhur Sunda dalam konteks kekinian, untuk mengolah suatu negara. Dan jangan lupa, moral, etika atau ahlak dalam konsep Sunda adalah segala-galanya. Rusak moral rusaklah negara. Sejarah membuktikan apapun bangsanya, jika moralnya rusak maka hancurlah negara.

Tatang Sumarsono mengupas AG dan TdB lebih jauh lagi. Ia mengatakan jika dikaji konsep baheula dalam TdB, ada yang menarik dengan penggunaan metaforanya yang begitu plastis: ngagurat batu, ngagurat lemah dan ngagurat cai.

Prabu harus bersikap seperti ngagurat batu, dalam menjalankan tugasnya, harus tegas dan tidak pandang bulu. Sedangkan rama harus mampu ngagurat lemah yang maknanya bisa membuat tanda di atas permukaan tanah, dan berfungsi sebagai petunjuk arah. Tanpa petunjuk yang dibuat rama, mereka yang berjalan diatasnya bisa kehilangan arah.

Begitu juga seorang prabu dalam menjalankan tugasnya, harus mengikuti petunjuk yang dibuat oleh rama, yang pada dasarnya menyuarakan isi hati nurani rakyat. Prabu dan rama akan bertambah kuat dalam mengolah negara jika dimbangi resi seperti ngagurat cai. Resi mempunyai tugas jika ada pihak-pihak yang bersengketa, harus mampu mengembalikan ke kondisi semula tanpa bekas, tak ubahnya permukaan air yang tetap menyatu meskipun dengan susah diukir. Tegasnya resi, harus berbuat adil dalam menentukan hukum kepada yang sedang bersengketa.

Seperti yang ditulis dalam SKK: “Sang rama, sang resi, sang prabu mangka pahi iyatnayatna di duuman siya. Sang resi ngagurat cai, sang rama ngagurat lemah, sang prebu ngagurat batu. Hedap ma duumkeun ku sang resi, sabda ma duumkeun ku sang rama, bayu ma duumkeun ku sang prebu. (Sang rama, sang resi, sang prebu harus betul-betul menyadari akan tugas yang dimiliki masing-masing. Sang resi harus mampu bersikap ngagurat cai, sang rama harus mampu ngagurat lemah, dan sang prebu harus mampu ngagurat batu. Nurani mesti dimiliki oleh sang resi, ucapan mesti dimiliki sang rama, dan kekuatan mesti dimiliki sang prebu).

Konteks dan konsep AG, disempurnakan oleh TdB yang terdapat dalam SKK, esensinya, masih relevan dengan konteks kekinian. Hanya saja, karena TdB mungkin sudah tidak dilirik lagi oleh urang Sunda, karena dianggap sudah tidak relevan dengan zaman. Terdesak oleh konsep TP yang notebene lahir dari dunia Barat (Prancis). Tetapi mungkin saja bisa diadumaniskeun esensinya, nilai moral yang terkandung dalam TdB dengan TP, yaitu TdB lebih mengutamakan atau menjungjung tinggi moral.

Seperti yang dikatakan oleh Tatang Sumarsono Trias Politika yang lahir di Prancis, bisa Dimatangkan dengan Bertapa. Bagian dari Sistem Pemerintahan Sunda. Tatang menegaskan dan perlu diketahui arti bertapa dalam AG, artinya amal atau perbuatan. Bukan pengertian tapa seperti yang kita kenal sekarang, berdiam diri ditempat yang sunyi. Tentang bertapa menurut AG, para elit pemimpin yang mendapat amanat untuk mengelola sebuah pemerintahan, yaitu bagaimana semestinya mereka (prebu-rama-resi) dalam menjalankan tugasnya. Seperti yang ditulis dalam AG. “Carekna patikrama, na urang lanang madwa, iya twah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa,, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na mana (beu(ng)hark u twah ma waya tapa” (Menurut ajaran patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal, ya bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berari buruk pula tapanya, sedang amalnya berarti sedang pula tapanya, sempurna amalnya, berarti sempurna pula tapanya, Apapun kita ini, karena amalllah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita; Tatang Sumarsono 131)

Menggali secara utuh dan komprehensif sejarah Sunda, adalah sebuah keniscayaan. Baik itu sejarah Sunda klasik atau Sunda modern. Mengapa begitu, kita khawatir ada kecenderungan, urang dan nonoman Sunda sekarang, sudah tidak reueus lagi dengan mutiara tersembunyi, yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai moral yang tinggi, dalam mengolah negara, dan sekarang sudah ditinggalkan oleh kita yang mengaku urang Sunda. Bahkan menurut hasil kajian para pakar sejarah Sunda, seperti, Dr. Ayatoerohaedi, Prof, Dr. Edi S Ekajati, Atja, Dana Sasmita dan banyak lagi yang lainnya, tidak mustahil konsep orang Sunda dalam melahirkan pemimpin dan bagaimana cara mengolah negara sudah ada sejak zaman Kerajaan Salakanagara (Banten/Pandeglang/Ujungkulon)), dan diteruskan dengan Kerajaan Tarumanagara, (Pakuan/Bogor), Galuh (Karangkamulyan/Bojong Galuh/Ciamis), Galunggung (Tasikmalaya), harus mendapat perhatian dan penelitian kita sekarang, yang sedang haus mencari pemimpin yang benar-benar memperhatikan Sunda untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.

Prabu Darmasiksa dan Prabu Siliwangi telah meninggalkan jejak dan tapak lacak yang agung, bagaimana kita mengolah negara. Pada saat dua raja inilah Kerajaan Sunda mengalami masa kejayaan dan inilah fakta sejarah yang harus diketahui oleh urang Sunda.

Menurut Yuganing Raja Kawasa. Prabu Darmasiksa adalah kakek Prabu Kretarajasa Jayawardhana, lebih dikenal Rd. Wijaya, Raja Kediri-Singosari atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Majapahit.

Mungkin banyak urang Sunda. Terutama nononam Sunda, tidak tahu, bahwa Rd Wijaya, Raja Majapahit itu sebenarnya saudara, punya tetesan darah yang kuat dengan raja-raja yang bertahta di Galuh dan Galunggung (Kerajaan Sunda). Sekedar mengingatkan dan mungkin bisa mengambil pelajaran, Prabu Darmasiksa sempat berwasiat kepada anak-anak, cucu-cucu dan keturunannya. Mungkin juga untuk kita yang mengaku teureuh Sunda.

Nasehat Sang Prabu Guru Darmasiksa kepada Rd Wijaya (Prabu Kretarajasa Jayawardhana) Penguasa Kediri – Singasari (Majapahit):

Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlha yan ngkuwus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parosparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hita sukha, Yan rajya Sunda dukhantara. Wilwaltika sakopayana maweh carana; mangkana rajya Sunda ring Wilwatika

(Jangan hendaknya, Anda mengganggu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekali pun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya. Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila Kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan, demikian pula halnya Kerajaan Sunda dan Majapahit).

(Dana Sasmita 1983;23/Sejarah Jawa Barat/”Yuganing Raja Kawasa” Drs Yoseph Iskandar: 189-190).