Dalam bahasa Inggris, Sefer Bemidbar lebih dikenal dengan nama the Book of Numbers. Sementara dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama Kitab Bilangan.
Dalam bahasa Ibrani, Sefer Bemidbar merupakan bagian dari apa yang disebut dengan Mesorah atau Tanak (Torah, Nevi’im dan Ketuvim). Kitab yang sama yang dalam istilah Nashrani disebut dengan Septuaginta atau Perjanjian Lama (Old Testament).
Pada Kitab Bilangan (Surat 15 Ayat 37-41) yang dalam bahasa Inggris disebut Chapter of Shela (Ibrani: Parasyah Syelah), terdapat istilah takelet yang diartikan sebagai suatu batasan warna tertentu yang dihasilkan dari suatu zat pewarna alam tertentu juga.
Para ahli belum bisa memberikan keterangan yang lebih khusus dan mutlak mengenai batasan dari warna tersebut. Hanya saja, secara lebih umum dan longgar; para ahli mampu memberikan kepastian, jika takelet berarti suatu spektrum warna di antara merah, ungu, dan biru.
Demikian juga dengan sumber zat alami yang digunakan untuk menghasilkan takelet tersebut. Sejauh ini, para ahli telah mencoba untuk memberikan sebentuk dugaan dan analisa sebagai ikhtiar dalam upaya memberikan jawaban-jawaban alternatif yang dianggap lebih memuaskan.
Takelet yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai hyakinthos yang secara umum diartikan ke dalam bahasa Inggris sebagai blue atau warna biru tersebut (yang jadi persoalan hanya presisi biru dan sumber pewarnaannya), terdapat sekitar 49 kali pengulangan kata dalam Mesorah.
Sebanyak 44 kali merujuk pada kelengkapan pakaian Imam Besar (Kohen Gadol) dan pada tabir ruangan Imam Besar yang terdapat dalam tenda peribadatan (misykan). Satu kali merujuk pada rumbai-rumbai yang dibubuhkan pada setiap ujung kain persegi empat (talit). Dan sisanya merujuk pada pakaian (lebasy) yang dikenakan masyarakat secara lebih umum. Adapun sepintas penjelasan terkait takelet dalam unsur-unsur atribut tersebut adalah demikian.
Pertama, takelet yang merujuk pada paroket; yakni kain khusus yang digunakan sebagai tirai dinding pada ruangan khusus Imam Besar (Kohen Gadol) yang berada dalam suatu tenda besar peribadatan (misykan). Tenda yang digunakan sebagai pusat peribadatan Bani Israil pada masa lalu tersebut (sejak masa Nabi Musa AS) masih bersifat bongkar-pasang (portable) dan terus berpindah-pindah (nomaden) sebagai konsekuensi dari suatu proses perjalanan panjang ke luar dari Mesir dan bergerak menuju ke Kanaan (exodus). Paroket dengan peraturan yang sama terus terabadikan hingga masa Nabi Sulaiman AS dalam membangun Bet Hamikdasy (Arab: Baitul Maqdis) yang bersifat permanen di Yerusalem (Kanaan). Paroket pada masa misykan dan Bet Hamikdasy tersebut terdiri dari tiga lembar kain yang dipasang tegak bergandengan dengan komposisi warna antara lain ungu (argaman), syani atau tola’at syani (merah tua), dan takelet (biru). Dalam bahasa Arab kain tirai yang dibentangkan (paroket) dan kain dinding penghalang yang digunakan untuk menyekat atau membangun keseluruhan bentuk bangunan (Ibrani: masyak), disebut dengan kata sitarah dan hijab (artinya bukan kerudung sebagaimana yang dipahami dalam keseharian bahasa Indonesia).
Kedua, takelet yang merujuk pada epod; yakni pakaian yang digunakan pada lapisan paling luar berupa baju rompi yang khusus digunakan oleh Imam Besar (Kohen Gadol) yang menjadi kewajiban turun-temurun dari garis keturunan Keluarga Lewi, sejak dari masa Nabi Harun AS hingga generasi anak-cucu selanjutnya. Baju rompi tersebut dikenakan setelah menggunakan baju kurung lebih panjang pada lapisan paling dalam (ketonet) dan baju kurung lebih pendek pada bagian luarnya (me’il). Pada unsur pewarnaan epod tersebut, takelet sebagai suatu karakter warna biru telah ditetapkan sebagai suatu keharusan. Dalam bahasa Arab, pakaian berupa rompi tersebut biasa disebut dengan satrah. Sementara baju kurung tersebut biasa disebut dengan nama qamisy (masyarakat Indonesia menyebutnya gamis). Secara umum, pakaian atau baju dalam bahasa Ibrani disebut dengan lebasy yang sebangun dengan kata Arab libas.
Ketiga, takelet yang merujuk pada tsitsit; yakni rumbai-rumbai benang yang dililitkan dan dianyam bersama dengan helai-helai benang berwarna lainnya yang wajib dipasang pada setiap ujung selembar kain berbentuk persegi empat yang biasa disebut dengan talit. Dalam pemasangan tsitsit yang berada pada talit tersebut, takelet telah menjadi suatu keharusan. Jika unsur takelet pada paroket dan epod lebih bersifat khusus, maka penggunaan tsitsit yang berada dalam talit merupakan keharusan yang mengikat secara lebih umum dan luas penggunaannya kepada seluruh masyarakat Bani Israil. Talit tersebut dalam bahasa Arab biasa disebut dengan nama syimagh atau kufiyah (masyarakat Indonesia menyebutnya sorban yang didasarkan pada bahasa Persia).
Dan keempat, takelet yang merujuk pada hal-hal lainnya yang tidak secara khusus berhubungan dengan topik keagamaan dan praktik peribadatan Bani Israil. Pada umumnya kata tekelet tersebut merujuk pada warna pakaian yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Selain berdiri sendiri, takelet biasa digandengkan dengan konteks warna lainnya seperti argaman (ungu) dan syani atau tola’at syani (merah tua) yang bisa juga disebut dengan karmiyla (merah tua). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pakaian atau baju dalam bahasa Ibrani disebut dengan lebasy. Sementara dalam bahasa Arab disebut dengan libas.
Teka-teki warna takelet dan sumber pewarnaan yang telah digunakannya pada masa lalu yang lebih bersifat historis dan otentik telah memicu serangkaian wacana dan diskusi yang hangat dan panjang dalam lintasan sejarah keagamaan dan intelektual masyarakat Yahudi.
Wacana dan diskusi perihal takelet tersebut telah dimulai sejak lahirnya dokumen-dokumen Talmud secara umum yang mulai dikerjakan oleh para rabi (berakar dari tradisi Farisi) selepas tahun 70 M dimana Yerusalem telah ditundukkan oleh Kekaisaran Romawi.
Dokumen-dokumen yang disebut dengan Talmud tersebut, adalah dokumen-dokumen yang meliputi dokumen-dokumen dari kelompok Misnah (semacam Fiqih) dan dokumen-dokumen dari kelompok Gemara (ulasan kritis terhadap topik-topik Misnah).
Selain ditemukan pada Talmud, wacana dan diskusi tekelet juga dapat ditemukan dalam Tosefta yang berada di luar bingkai Talmud. Namun demikian, sebagaimana dengan Misnah, Tosefta adalah dokumen-dokumeb yang dihasilkan para rabi pertama; rabi yang sama yang melahirkan dokumen-dokumen Misnah yang disebut generasi Tanaim. Sementara Gemara yang berada dalam bingkai Talmud itu sendiri, telah masuk pada masa kepenulisan rabi setelahnya yang biasa disebut generasi Amoraim.
Bersama dengan Midras, Tosefta merupakan bagian dari apa yang disebut dengan dokumen-dokumen Beraitot. Suatu kumpulan dokumen-dokumen yang meskipun tidak memiliki otoritas sekuat Talmud, namun dapat digunakan sebagai rujukan yang bersifat suplemen dalam tradisi keagamaan dan intelektual masyarakat Yahudi.
Wacana dan diskusi terkait topik tekelet telah berlangsung dari periode penulisan Talmud setelah keruntuhan Bet Hamikdas ketiga oleh Kekaisaran Romawi (setelah periode Kerajaan Asyuria dan Kerajaan Babilonia) tersebut, hingga sampai pada Abad Pertengahan, dan juga masa modern ini. Perbincangan yang berlangsung pada masa modern ini telah menemukan bentuknya yang berada dalam kerangka dasar keagamaan maupun kerangka dasar keilmuan yang bersifat sekular.
***
Telah dikemukakan di awal, meskipun keharusan menggunakan epod pada talit hanya merujuk pada satu keterangan saja dalam Mesorah, namun demikian keharusan tersebut berlaku secara umum; sehingga menjadi benang merah dan perekat dalam pusat perbincangan terkait takelet itu sendiri.
Pada Kitab Bilangan 15:37-41 tersebut, diberitakan demikian:
לז וַיֹּאמֶר יְהוָה, אֶל-מֹשֶׁה לֵּאמֹר.
37 And the LORD spoke unto Moses, saying:
Dan ALLAH [aslinya: YHVH] berbicara kepada Musa, berkata:
לח דַּבֵּר אֶל-בְּנֵי יִשְׂרָאֵל, וְאָמַרְתָּ אֲלֵהֶם, וְעָשׂוּ לָהֶם צִיצִת עַל-כַּנְפֵי בִגְדֵיהֶם, לְדֹרֹתָם; וְנָתְנוּ עַל-צִיצִת הַכָּנָף, פְּתִיל תְּכֵלֶת.
38 ‘Speak unto the children of Israel, and bid them that they make them throughout their generations fringes in the corners of their garments, and that they put with the fringe of each corner a thread of blue.
Katakan kepada anak-anak Israil, dan perintahkan kepada mereka bahwa mereka harus membuat rumbai-rumbai pada ujung-ujung kain mereka sepanjang generasi, dan mereka harus meletakkan pada setiap ujung rumbai-rumbai tersebut seutas benang biru (asli: takelet).
לט וְהָיָה לָכֶם, לְצִיצִת, וּרְאִיתֶם אֹתוֹ וּזְכַרְתֶּם אֶת-כָּל-מִצְוֺת יְהוָה, וַעֲשִׂיתֶם אֹתָם; וְלֹא-תָתוּרוּ אַחֲרֵי לְבַבְכֶם, וְאַחֲרֵי עֵינֵיכֶם, אֲשֶׁר-אַתֶּם זֹנִים, אַחֲרֵיהֶם.
39 And it shall be unto you for a fringe, that ye may look upon it, and remember all the commandments of the LORD, and do them; and that ye go not about after your own heart and your own eyes, after which ye use to go astray;
Dan dengan rumbai itu akan membuat kamu, ketika kamu diharapkan melihatnya, dan akan mengingat seluruh perintah-perintah ALLAH [aslinya: YHVH], dan akan mengerjakannya; dan bahwa kamu tidak akan melakukan perbuatan sekehendak hatimu atau matamu sendiri lagi, yang ssbagaimana sebelumnya telah membawa kamu pada perbuatan yang tersesat;
מ לְמַעַן תִּזְכְּרוּ, וַעֲשִׂיתֶם אֶת-כָּל-מִצְוֺתָי; וִהְיִיתֶם קְדֹשִׁים, לֵאלֹהֵיכֶם.
40 that ye may remember and do all My commandments, and be holy unto your God.
Bahwa kamu diharapkan akan mengingat dan melakukan seluruh perintah-perintah-Ku, dan akan mensucikan TUHAN-mu [aslinya: ELOHEKEM. Elohim artinya Tuhan dan Kem artinya kamu, setara dengan Ilah artinya Tuham dan Kum artinya kamu dalam bahasa Arab].
מא אֲנִי יְהוָה אֱלֹהֵיכֶם, אֲשֶׁר הוֹצֵאתִי אֶתְכֶם מֵאֶרֶץ מִצְרַיִם, לִהְיוֹת לָכֶם, לֵאלֹהִים: אֲנִי, יְהוָה אֱלֹהֵיכֶם.
41 I am the LORD your God, who brought you out of the land of Egypt, to be your God: I am the LORD your God.’
Aku adalah ALLAH [aslinya: YHVH] Tuhanku [aslinya: Elohekem]), yang membawa kamu ke luar dari tanah Mesir, supaya menjadi TUHAN-mu [aslinya: Elohekem]: Aku adalah ALLAH [aslinya: YHVH] TUHAN-mu [aslinya: Elohikum].’ (Sefer Bemidbar, Parasyah Syelah 15:37-41)
***
Rabi Gershon Hanoch Heiner (1839-1891 M), telah membuka jawaban alternatif dengan diajukannya spesies Sepia officinalis L. yang secara umum termasuk ke dalam apa yang dalam bahasa keseharian disebut dengan keluarga sotong (cuttlefish) pada tahun 1888 M. Penampilannya tidak berbeda dengan gurita dan cumi, hanya saja sotong cenderung memiliki pelindung lebih keras pada bagian dalam kulit punggungnya.
Rabi Yitzhak Herzog Halevi (1888-1959 M) kemudian menolak jawaban alternatif yang telah diberikan oleh Rabi Gershon dan mengajukan spesies Hexaplex trunculus L. pada tahun 1913 M. Spesies tersebut termasuk ke dalam apa yang dalam bahasa keseharian biasa disebut dengan keluarga siput laut (sea snail). Sebagaimana keluarga gurita, cumi, dan sotong, Hexaplex trunculus L. juga memiliki kelenjar yang dapat menghasilkan tinta pada saat menghadapi ancaman.
Dr. S.W. Kaplan pada tahun 2002 M menindak-lanjuti rekomendasi penelitian dari Rabi Yitzhak yang telah mengalami kesukaran dalam mempertahankan konsistensi warna biru yang diambil dari Hexaplex trunculus L. Dalam kesukaran tersebut, Rabi Yitzhak merekomendasikan spesies Janthina janthina Rod. Melalui hasil penelitian Dr. S.W. Kaplan, spesies Janthina janthina Rod. sebagaiman yang telah direkomendasikan oleh Rabi Yitzhak akhirnya ditolak oleh Dr. S.W. Kaplan sendiri.
Petualangan ilmiah dalam pencarian sumber pewarna takelet tersebut terikat oleh dokumen-dokumen dari tradisi Talmud dan Tosefta. Di dalam Talmud dikatakan bahwa sumber untuk pembuatan tekelet yang otentik adalah hilazhon yang dianggap suatu jenis hewan laut.
Dalam keterangan Talmud terdapat juga suatu zat pewarna yang sama yang dibuat dengan Kela Ilan yang dianggap tidak otentik karena bukan berasal dari hilazon. Para ahli modern menduga jika Kela Ilan merujuk pada tumbuhan penghasil warna biru. Sebagian ahli merujuk Kela Ilan dari spesies Indigofera tinctoria L. dan sebagian lagi merujuk pada spesies Isatis tinctoria L.
Baik Talmud maupun Tosefta, menganggap Kela Ilan sebagai sumber pewarnaan takelet yang tidak otentik dan tidak kosyer (halal). Meskipun bisa saja dipergunakan sebagai sumber pewarnaan, namun demikian tidak memiliki keabsyahan dalam hal penggunaannya pada bidang keagamaan.
Berbeda dengan masyarakat Yahudi Kerait yang tidak mengakui otoritas Talmud dari para rabi, justru menganggap penggunaan tekelet dari sumber hilazhon yang bersifat terepah (haram); karena tidak memenuhi unsur kosyer. Berbeda dengan pandangan Rabinik, dalam pandangan Kerait dengan demikian; penggunaan Kela Ilan adalah sesuatu hal yang kosyer.
***
Bukti-bukti Arkeologis menunjukkan jika pembuatan zat pewarna alam telah dilakukan dalam kebudayaan masyarakat Minoa di Pulau Kreta sejak tahun 2000 SM. Sumber pewarnaan yang digunakan oleh masyarakat Minoa pada masa itu adalah dari aneka siput laut. Spesies Hexaplex trunculus L. untuk pewarna alam biru keunguan dan Bolinus brandaris L. untuk pewarna alam merah keunguan.
Berdasarkan bukti-bukti Arkeologis, pembuatan warna alam juga telah dilakukan di kawasan Lebanon oleh masyarakat Funisia. Sumber pembuatan zat pewarna alam yang dikerjakan oleh masyarakat Funisia juga sama dengan sumber pembuatan zat pewarna yang dilakukan oleh masyarakat Minoa, yakni dengan memanfaatkan berbagai jenis siput laut dari spesies Hexaplex trunculus L. (biru keunguan) dan Bolinus bandaris L. (merah keunguan).
Dalam berita yang diperoleh melalui lempeng tanah liat Surat-Surat Amarna (Aksara Paku dan Bahasa Akadia/Akadia Kanaan), yang peristiwanya diperkirakan berlangsung di antara rentang tahun 1500 SM sampai 1300 SM. Dikatakan di sana bahwa Tusyrata, serorang raja Mitani telah mengirimkan barang-barang persembahan dimana salah-satunya adalah “subatu sa takilti” (pakaian dari takelet) kepada kepada raja Mesir yang telah menikahi putrinya.
Jika bukan kepada Amenhotep III, maka pakaian itu telah diberikan kepada Akenaten. Karena putri Tusrata, yakni Tadukipa telah menikahi Amenhotep III dan kemudian menikah kembali kepada Akenaten sepeninggal Amenhotep III (dugaan lain ketika Tadukipa tiba Amenhotep III telah meninggal sehingga menikahi Akenaten). Tusyrata sendiri merupakan putra dari Sutarna II dan adik dari Artasumara yang telah menjadi penguasa Mitani sebelumnya. Letak Geografis Mitani sendiri berada di antara kawasan Anatolia (Turki modern) di Utara dan kawasaan Syam (saat ini kawasan modern Lebanon, Palestina, Israel, Suriah, dan Yordania) di Selatan.
Perkiraan longgar para ahli dalam menentukan masa perpindahan masyarakat Bani Israil dari Mesir menuju Kanaan adalah dimulai pada tahun 1446 SM. Narasi sejarah secara umum mengatakan, bahwa setelah menyeberangi Laut Merah (Red Sea) rombongan tiba di Semenajung Sinai.
Lalu di Gunung Sinai itu Nabi Musa AS mendapatkan wahyu berupa Sepuluh Perintah Tuhan. Pada masa sebelum itu Nabi Musa AS pernah juga melarikan diri dari Mesir seorang diri dan tiba di Midian, dimana di sana bertemu Imam Yitro (Nabi Syuaib AS) yang kemudian menjadi mertuanya. Di kawasan Midian ini juga, di suatu gunung yang bernama Horeb Nabi Musa AS mendapatkan wahyu untuk pertamakalinya.
Dalam momentum-momentum setelah meninggalkan Mesir bersama Bani Israil, terberitakan dalam Mesorah jika Imam Yitro turut membatu Nabi Musa AS dalam mengatur dan memecahkan persoalan keumatan. Dengan demikian kita mengetahui secara umum lintasan perjalannya bahwa dari Mesir menuju Semenanjung Sinai lalu menuju Midian.
Midian termasuk pada wilayah yang berada di kawasan pesisir Barat Semenanjung Arabia. Berada di sebelah Utara dari tanah Hijaz dimana Makah berada. Dari Midian, Nabi Musa AS berhasil bergerak sampai ke kawasan Yordania. Di kawasan Yordania tersebut Nabi Musa AS meninggal sebelum sempat tiba hingga jantung kawasan Kanaan (Yerusalem).
Masa pengembaraan sejak dari Mesir pada tahun 1446 SM hingga sampai di Yordania adalah 40 tahun lamanya (sampai 1406 M). Jika peraturan-peraturan ibadah turun pada rentang tahun antara 1446 SM dan 1406 M, maka kawasan yang berpengaruh bagi keberlangsungan masarakat Bani Israil adalah Semenanjung Sinai yang diapit oleh Mesir dan Arab melalui Selat Suez dan Selat Aqoba dan kemudian adalah Midian dan kemudian Yordania yang telah masuk kawasan Kanaan.
Zat pewarna yang dimiliki oleh Mesir berasal dari Mitani sebagaimana yang diisyaratkan lewat baju takelet pemberian Tusrata. Sementara Mitani sendiri memiliki akses yang strategis terhadap kawasan Kanaan, termasuk Lebanon tempat dimana sumber pewarnaan dipabrikasi. Kawasan pesisir Barat Kanaan dari Lebanon hingga Palestina tentu akan terhubung ke kawasan Sinai dan Midian (termasuk Mesir).
Jika yang dibicarakan adalah sumber pewarnaan pada masa Nabi Musa AS dan bukan masa dimana Talmud dibuat, dimana Hilazhon (hewan laut) dan Kela Ilan (tumbuhan indigo) telah bersifat substitutif. Maka kemungkinan jawaban paling masuk akal dan historis dengan mempertimbangkan akses terhadap perdagangan adalah dari sumber hewan laut yang diproduksi masyarakat Funisia.
Karena sejauh bukti-bukti Arkeologi, sumber pewarnaan dari tumbuhan; termasuk Indigofera tinctoria dari India dan Isatis tinctoria yang dapat diakses dari Eropa dan Kanaan sendiri tidak tercatat setua dari tradisi Hexaplex trunculus dan Bolinus brandaris. Berita-berita dalam bentuk dokumen yang mengaitkan kepada komoditas barang yang tiba dari India baru dimulai pada fase kejayaan bangsa Yunani dan kemudian bangsa Romawi pada sekitar tahun 500 SM, dimana dunia Helenistik telah menjalin diplomasi perdagangan dengan wilayah Timur yang diwakili oleh India dan Tiongkok.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.