Risalah Tarum Areuy

(4) INDIKON DALAM CATATAN NASKAH PERIPLOUS TES ERYTHRAS THALASSES BERBAHASA YUNANI DAN BERAKSARA KOINE YUNANI ASAL ALEXANDRIA MESIR PADA ABAD KESATU MASEHI

Oleh, Gelar Taufiq Kusumawardhana (The Varman Institute)

Dalam naskah Periplous tes Erythras Thalasses, terdapat pemggunaan kata indikon, indikon melan, indikon khroma, dan indikon pharhmakon yang merujuk pada benda yang sama yang tiba ke dalam kata Inggris modern sebagai kata Indigo.

Dalam bahasa Latin, naskah tersebut diterjemahkan dengan judul Periplus Maris Erythraei. Sementara ke dalam bahasa Inggris judulnya menjadi The Periplus of the Erythraean Sea. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, judul naskah tersebut berarti Pelayaran Keliling Laut Merah.

Dalam pengertian bahasa Yunani Kuno, Erythras Thalasses (Laut Merah) tersebut adalah lautan luas yang membentang di antara Benua Afrika di Barat dan Anak Benua India di Timur. Pengertian Laut Merah pada masyarakat Yunani tersebut, bukan Laut Merah dalam pengertian masyarakat modern ini yang maknanya terbatas hanya merujuk pada lautan yang berada di antara pesisir Timur Benua Afrika dan pesisir Barat Semenanjung Arabia saja.

Pengertian Laut Merah pada masyarakat Yunani adalah merujuk pada kesatuan rangkaian dari apa yang kita sebut pada saat ini sebagai Laut Merah modern, Laut Arabia, Laut Somalia, Teluk Aden, Teluk Oman, Teluk Persia (Teluk Arab), dan bagian Barat dari Samudra Hindia modern. Suatu lautan luas yang menghubungkan belahan Dunia Barat (Eropa Barat dan Afrika Utara di kawasan Laut Tengah [Laut Mediterania]) dan Dunia Timur (Anak Benua India dan kawasan Timur Tiongkok) melalui kawasan pesisir Timur Afrika, kawasan pesisir Barat Semenanjung Arabia, Yaman, Oman, dan Persia.

Setelah melalui Laut Merah ini, Kepulauan Indonesia, Kepulauan Pilipina, Semenanjung Malaya, kawasan Indo-China, dan kawasan Asia Tenggara lainnya secara umum yang berada di belahan Timur Samudra Hindia akan menjadi wilayah antara yang akan menghubungkan Anak Benua India dan kawasan pesisir Timur Tiongkok dan kawasan Asia Timur lainnya secara umum (seperti Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang).

Sementara itu, arti Periplous dalam pengertian masyarakat Yunani adalah Pelayaran Keliling. Melalui naskah Periplous Erythras tes Thalasses tersebut, telah dirangkum didalamnya catatan-catatan perjalanan (pelayaran keliling) yang meliputi catatan mengenai pelabuhan-pelabuhan, catatan mengenai aspek kekuasaan bangsa-bangsa yang menempati wilayah-wilayah dan pelabuhan-pelabuhan, dan juga catatan mengenai komoditas-komoditas perdagangan di wilayah-wilayah dan pelabuhan-pelabuhan yang telah disinggahi dalam jalur pelayaran keliling tersebut.

Para pakar menduga, taksiran waktu dalam hal pembuatan naskah berbahasa Yunani (Greek) dengan aksara Yunani (Koine Greek) yang bersifat anonim (tidak diketahui siapa yang menjadi pengarangnya) tersebut; berkisar antara abad ke-1 M hingga abad ke-3 M. Namun demikian, pendapat yang paling kuat yang telah diberikan oleh para ahli melalui berbagai alasisis tertentu adalah; bahwa naskah tersebut diduga telah dibuat pada abad ke-1 M.

Pada rentang abad ke-1 M hingga ke-3 M tersebut, bangsa Yunani dan koloni-koloninya yang tersebar luas di kawasan Laut Tengah, Selat Bosporus, dan kawasan pesisir Afrika Utara telah berada dalam jaringan kekuasaan dan sistem kewarganegaraan Romawi Kuno. Namun demikian budaya Yunani (Helenis) dan orang-orangnya masih tetap memegang nilai strategis dalam jaringan dan sistem kekuasaan Romawi di kawasan Barat tersebut.

Boleh dikatakan, bahwa kebudayaan Romawi adalah kebudayaan yang berdiri di atas dasar-dasar kebudayaan Yunani itu sendiri sebagai sebuah mata-rantai kelanjutannya. Kecuali modifikasinya yang paling signifikan dalam bidang politik, administrasi, dan kemiliteran.

Selain itu, diaspora masyarakat Yunani tersebut telah tersebar luas hingga ke kawasan Asia Barat Daya (wilayah Arabia dan Persia), Asia Tengah (Bakhtria), dan Asia Selatan (Afghanistan, Pakistan, dan India) di belahan dunia Timur sejak masa Aleksander dari Makedonia berkuasa dan mencetuskan gagasan Helenismenya (proses peyunanian Dunia).

Melalui masyarakat Yunani yang tersebar luas dari belahan Barat hingga ke belahan Timur tersebut, andilnya masih tetap berpengaruh meskipun telah masuk ke dalam masa kekuasaan Romawi Kuno. Pada abad-abad tersebut, bahasa perdagangan dan bahasa pergaulan internasional (lingua franca) masih dilakukan dengan menggunakan bahasa Yunani.

Ada yang menarik dalam catatan Periplous Erythras tes Thalasses tersebut, bahwa indigo selain dapat digunakan dalam fungsi umumnya sebagai zat pewarna alam; biasa juga dimanfaatkan dalam fungsinya untuk kepentingan pengobatan (barangkali sekedar kepentingan kosmetik). Sayangnya, dalam naskah tersebut tidak diberitakan secara lebih khusus; dari tumbuhan jenis manakah indigo yang didatangkan dari Anak Benua India tersebut dibuat.

Hanya saja, para ahli menduga dan menetapkan berdasarkan suatu analisa tertentu, bahwa indigo yang dihasilkan pada masa kuno tersebut berasal dari jenis tumbuhan yang dalam klasifikasi ilmiah modern disebut dengan Indigofera tinctoria L. Dalam bahasa Indonesia, nama ilmiah (scientific name) Indigofera tinctoria L. tersebut biasa disebut dengan nama Melayu (vernacular name) Tarum Biji.

Suatu dugaan yang barangkali diperoleh dengan cara kerja sederhana saja. Bahwa jejak kejayaan Tarum Biji (Indigofera tinctoria L.) pada masa kuno tersebut, masih tetap lestari dalam akar tradisi dan kebudayaan masyarakat Anak Benua India hingga masa kedatangan kolonial Eropa Barat di kemudian hari. Dengan meminjam kaidah yang disampaikan James Hutton dalam lapangan Ilmu Geologi, bahwa hal tersebut berjalan di atas prinsip dasar pengamatan: “the present is the key to the past,” bahwa aspek visual yang bisa kita amati pada hari ini merupakan kunci dalam melakukan penalaran tentang bagaimana aspek visual pada masa lalu telah terjadi melalui prinsip-prinsip dasar yang mampu disarikannya.

Dalam buku The Periplus Maris Erythraei: Text with Introduction, Translation, and Commentary yang ditulis oleh Lionel Casson dan diterbitkan oleh Princeton University Press (1989 M), terdapat sedikit ulasan mengenai indigo pada sub judul pembahasan 39:13.11a Chinese Pelts, Cloth, and Yarn; See Introduction: Trade in the Indian Ocean, the Trade with India; 39:13.11-12 Indigo. Pada sub judul indigo tersebut Lionel Casson menjabarkan:

“The Greek term is indikon melan, literally “Indian black.” The same term is found in a Greek papyrus (P. Holm.9.8, 4th Century A.D.), which elsewhere uses such expressions as “Indian drug” (indikon pharmakon, 11.2 and 13.2), “Indian color” (indikon chroma, 11.6), and simply “Indian” (13.35); all of these, the editor asserts (191), mean the same, namely indigo. The term corresponds to what Vitruvius (7.10.4) and Pliny (35:42-46), in discussing the material are avaliable to painters to produce black or purple or blue, call indicum, which K Bailey (The Elder Pliny’s Chapters on Chemical Subjects i [London, 1929], 236) states “was unquestionably indigo.” His conclussion is based in Pliny’s description (35.46) of it as coming “from India, where it occure as slime adhering to foam on the reeds.” When first separated it is black, but, on treatment with water, it gives a wondrous blend of purple and blue” (trans. Bailey, ii [1932] 89). The description provides as well an explanation of why indigo was called Indian “black” rather than blue, solid indigo, as Bailey notes (ii, 219), “is very dark in colour.”

The ancients used indigo not only as coloring matter but also as a drug (Pliny 35.46), as the Indians do (cf. Watt iv 388), but not as a dye for fabrics since they lacked the requisite chemical knowledge (see Bailey i 236). Pliny is one passage (33.163) gives the price of indigo as 7 Denarii to the pound, in another (35.46) as 20; the first falls in the lower range of prices paid for exotic plant products, the second in the middle range (cf. ESAR v. 285-86).” (Lionel Casson)

(“Istilah Yunani adalah indikon melan, secara harfiah “hitam India.” Istilah yang sama ditemukan dalam papirus Yunani (P. Holm.9.8, Abad ke-4 Masehi), yang mana pada bagian lain digunakan pernyataan demikian sebagai “obat India” (indikon pharmakon, 11.2 dan 13.2), “warna India” (indikon chroma, 11.6), dan secara sederhana “dari India” (13.35); semua ini, penyunting menegaskan (191), berarti sama, yaitu indigo. Istilah tersebut terhubung dengan apa yang Vitruvius (7.10.4) dan Pliny (35:42-46), dalam perbincangan perihal bahan yang tersedia untuk pelukis dalam menghasilkan hitam atau ungu atau biru, yang disebut indicum, yang mana K Bailey (The Elder Pliny’s Chapters on Chemical Subjects i [London, 1929], 236) menyatakan “adalah tidak diragukan lagi indigo.” Kesimpulan tersebut dia dasarkan atas penjelasan Pliny (35.46) di mana benda itu didatangkan “dari India, dimana benda itu menjadi lendir yang mempel pada buih di atas alang-alang.” Ketika pertama kali dipisahkan benda itu hitam, tetapi, dengan perlakuan air, hal itu memberikan perpaduan menakjubkan dari ungu dan biru” (trans. Bailey, ii [1932] 89). Penjelasan tersebut menyajikan sebuah penjelasan mengenai mengapa indigo disebut “hitam” India, dari pada biru, indigo padat, sebagaimana Bailey catat (ii, 219), “adalah sangat gelap warnanya.”

Penggunaan indigo pada masa kuno tidak hanya sebagai bahan pewarnaan tapi juga sebagai obat (Pliny 35.46), sebagaimana orang India juga (cf. Watt iv 388), tapi bukan sebagai pencelup untuk kain karena mereka kurang persyaratan dalam pengetahuan kimia (lihat Bailey i 236). Pliny dalam suatu bagian (33.163) memberikan harga indigo 7 Denari per pound, dalam bagian lain (35.46) 20 Denari; yang pertama jatuh pada rentang harga bawah untuk membeli hasil tumbuhan istimewa, yang kedua pada rentang menengah (cf. ESAR v. 285-86).”) (Penulis)

Dinari (Inggris) adalah mata uang Yunani (Denarion) yang kemudian dilanjutkan oleh Romawi (Denarius). Berbeda dengan apa yang kita pahami melalui khazanah kebudayaan Arab, di mana Dinar (Arab) adalah sebentuk mata uang emas, maka Dinari dalam khazanah kebudayaan Romawi sebagaimana juga pada kebudayaan Yunani sebagai induknya; adalah sebentuk mata uang perak. Sebelum kemunculan Dinari, masyarakat Yunani telah mendahuluinya dengan Drakhma (Yunani) yang juga kemudian dilanjutkan Romawi (Drachma). Baik Dinari maupun Drahma yang dikeluarkan oleh Yunani maupun Romawi masih sama-sama dibangun dari bahan perak.

Ukuran Dinar dan Dirham yang dipahami sebagai pasangan mata uang emas dan perak dalam khazanah kebudayaan Arab, kemungkinan besar secara teknis lebih dipengaruhi oleh ukuran mata uang yang telah dikeluarkan Sasanid (Persia), Kushan (Yuezhi/Saka) dan Kidarit (Hun/Turk) dimana Drahma sama-sama berarti mata uang emas dan Dirham adalah mata uang perak. Namun demikian, seluruh peristilahan tersebut merujuk pada asal yang sama, yakni Denarion dan Drakhma Yunani. Pada periode Islam, mata uang Dinar dan Dirham yang telah beredar tersebut kemudian diperhitungkan ukuran-ukurannya secara lebih baku dan rinci lagi.

Dalam sistem keuangan Romawi, Dinari yang merupakan mata uang perak tersebut setara dengan 10 Assarius. Assarius yang merupakan mata uang tembaga Romawi tersebut, masih merujuk pada Assarion yang telah dikembangkan sejak masa Yunani. Pada kisaran tahun 14-37 M, Kaisar Tiberius Claudius Nero mengeluarkan mata uang Denari dengan ukuran 3,9 gram perak. Pada kisaran tahun 64-68 M, Kaisar Nero Claudius Caesar Agustus Germanicus mengeluarkan mata uang Denari dengan ukuran 3,41 gram perak. Pada kisaran tahun 85-107 M, Kaisar Titus Flavius Domitianus mengeluarkan mata uang Denari dengan ukuran 3,41 gram perak.

Sementara itu, Pound itu sendiri yang pada saat ini digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan berat di Dunia Barat; masih berakar dari ukuran Romawi yang disebut dengan Libre, sebuah alat ukur yang merupakan alat sukat atau apa yang bisa masyarakat kita sebut sebagai literan (dalam bahasa Yunani sendiri Libre disebut dengan kata Litra). Tentu saja, antara Pound dan Libre telah mengalami perbedaan tetail ukuran. Namun demikian, simbol matematika untuk Pound masih tetap mempertahankan (lb) yang merupakan kependekan dari kata libre atau libra. 1 Pound pada saat ini adalah setara dengan 453,67 gram. Sementara 1 Litra setara dengan 328,9 gram. Ada juga yang mengatakannya dalam rentang antara 322 gram sampai 329 gram. Benda yang biasa dijadikan patokan pada masa kuno dalam pengukuran antara lain gandum, anggur, atau kurma.

Harga indigo pada abad ke-1 M, dengan mengambil kasus pada ukuran mata uang yang telah dikeluarkan pada masa Kaisar Titus Flavius Domitianus misalnya 7 Dinari/Pound pada harga terendah dan 20 Dinari/Pound pada harga pertengahan jika dilakukan konversi pada harga masa kini secara kasar akan berarti. Bahwa harga indigo terendah sebanyak 1 Pound (453,67 gram) adalah 7 Dinari x 3,41 gram perak (jumlah nilai intrinsik perak) x harga 1 gram perak murni pada hari ini (Rp. 12.980), dimana hasilnya adalah Rp. 309.832,6. Sementara harga indigo pada rentang harga normal atau menengah sebanyak 1 Pound (453,67 gram) adalah 20 Dinari x 3,41 gram perak (jumlah nilai intrinsik perak) x harga 1 gram perak murni pada hari ini (Rp. 12.980), dimana hasilnya adalah Rp. 885.236. Kesimpulannya, harga indigo yang kemungkinan dikapalkan dalam bentuk lempeng kering atau serbuk kering dari India menuju Romawi melalui pelabuhan Alexandria di Mesir (naskah tersebut secara Filologi mencirikan khas koloni Yunani Alexandria) sebanyak 1 Pound atau 453,67 gram atau nyaris 1/2 kg tersebut adalah dalam kisaran IDR 309.832,6 (harga jatuh) dan IDR 885.236 (harga normal).

Meskipun istilah Yunani Indikon dan istilah Romawi Indicum digunakan pada masa kuno, peralihan masyarakat Eropa Barat untuk menggunakan kata Indigo yang diinspirasi dari daftar peristilahan tersebut tidak terjadi secara langsung dan linear dari rentang periode tersebut. Masyarakat Eropa Barat menggunakan kembali kata indigo secara bukti dokumen Filologis baru terjadi sejak pertengahan abad ke-16 M yang secara perlahan menggeser kata Anil untuk menyatakan benda yang sama yang tiba dari bahasa Arab Al-Nil (dibaca Annil) pada periode sebelumnya. Di dalam khazanah kebudayaan Melayu dan Sunda, masyarakat kita menyebutnya dengan kata Tarum. Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".