“Nah, betul. Setahu saya, Islam di memori masa kecil saya itu indah, damai, seindah kampung halaman, seperti sungai mengalir yang jernih, seindah pupujian menyambut senja waktu saya lagi moro langlayangan di kebon, atau indahnya menyalakan petasan setelah berjama’ah Subuh di bulan Ramadhan. Untung si Mamah selalu nyuruh saya ngaji waktu itu.” (‘Ackay’ Deni Ramdani/H.o.V. Division of Art and Culture)
Senin, 06 Januari 2020 – Perpustakaan Salman ITB. Membaca gejala dimana diskursus Sunda dan Islam seakan semakin ramai dibentur-benturkan. Mengelaborasi bagaimana kemungkinan Sunda dan Islam kembali diintegrasikan dalam suatu pendekatan dan formulasinya. Dihadiri oleh Sdr. Salim Rusli, Sdr. Alfathri Adlin, Sdr. Jundi Abdullah, Sdr. Agung Ilham Setiadi (Jurnalis Senior tinggal di Tasikmalaya), Sdr. Gelar Taufiq Kusumawardhana, Sdr. Eep S. Maqdir (alumni Fisika ITB, menaruh perhatian dalam Pertanian dan klub sepeda motor), dan Sdri. Dr. Chye Retty Isnendes (Dosen Bahasa Sunda di UPI).
Pembicaraan dimulai oleh moderator Salim Rusli mengenai gejala makin masifnya gerakan merendahkan sumber nilai Islam baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, baik dengan upaya penuh kesadaran maupun upaya tanpa sengaja dan tidak disadarinya pernyataan atau sikap yang dilakukannya. Gejala tersebut ironinya berkembang seiring dengan bangkitnya geliat identitas primordial, dalam hal ini berkaitan dengan ruang, waktu, dan material identitas orang Sunda dan Kesundaannya di Tatar Sunda.
Selain adanya kegelisahan identitas dan eksistensial orang Sunda, adanya gerakan Islam Trans-Nasional baru-baru ini juga memiliki dampak buruk secara psikologis, sosiologis, dan antropologis terhadap semakin hancurnya ikatan kohesi antara aspek primordial tersebut dengan Islam. Islam tampak menjadi suatu gagasan yang melayang-layang tanpa menapaki realitas dan kebutuhan masyarakat yang hidup dan berdiri di atas tanah air yang dicintainya.
Kang Eep S. Madir yang merupakan alumni Fisika ITB menambahkan bahwa gagasan soal filsafat dan ideologi Barat masih juga menjadi daya pikat menarik yang menjerat perhatian anak-anak muda yang perlu untuk diberikan bimbingannya. Kang Eep memberikan alternatif dimana Muslim dapat memberikan kontribusinya dalam kegiatan-kegiatan positif anak muda. Misalnya saja mendampingi kegiatan touring atau kendaraan bermotor yang diarahkan pada suatu tindakan praktis, berdampak, dan bermanfaat. Selain tetap mempertahankan identitas hinrah yang menjadi animo besar kaula muda, memasukkan kegiatan penyuluhan pertanian dalam aktifitas kunjungan kedaerahan menjadi hal yang dapat menambah nilai. Tentu saja bukan soal berkendaraan saja, banyak hal dimana Islam harus mampu berkecimpung dan turun dalam aktifitas umat.
Kang Agung Ilham Setiadi yang merupakan Jurnalis Senior tinggal di daerah Selatan Tasikmalaya berbagi pengalaman dalam hal bagaimana rasanya menjadi oranf daerah, yang jauh dari magnet atau core peradaban pusat dalam hal ini Bandung. Kang AIS berharap bahwa daerah jangan dibiarkan dalam kesendiriannya dalam berjuang. Arus komunikasi dan distribusi informasi dirasakan kurang dan senjang. Potret daerah jarang diangkat, sementara orang kota jarang berkunjung ke daerah. Pusat-pusat gerakan dan pembaharuan yang bertumpu pada kota-kota besar saja. Renungan tersebut didapatkannya dari kenyataan lapangan dimana Kang AIS sendiri tinggal di dalamnya sebagai jurnalis. Islam dalam hal ini juga digarapkan mampu memberikan panduan dan kontribusinya.
Saya sendiri memberikan dorongan agar bagaimana paradigma keilmuan Islam Abad Pertengahan atau Islamic Golden Age dapat dijadikan model dan rujukan. Pada periode ini Islam terasa maju dalam hal vitalitasnya. Islam dalam hal ini juga tidak meninggalkan pijakannya pada realitas. Kita semua paham, dan Barat sendiri jujur bahwa semua pihakan peradaban yang mereka kembangkan hingga saat ini berpijak pada Magnum Opus atau Kitab Kuning Islam Abad Pertengahan itu sendiri.
Jika Barat mengambil alih seluruh dasar-dasar peradaban Islam minus Teologinya, maka dunia Islam saat ini mengambil alih hanya akar-akar kajian Islam yang bersifat ukhrawinya saja: Quran, Hadits, Fiqih, Nahu, Saraf, Balaghah, dan seterusnya. Dunia Islam saat ini tidak memahami bahwa Sosiologi berkembang dari Mukadimah Ibnu Khaldun, Orientalisme berkembang dari Al Hind Al Biruni, Geografi berkembang dari Shurat Al Ardh Al Khawarizmi atau Ibnu Hauqal dan seterusnya. Islam adalah wujud keterpecahan wajar Barat dan dunia ketiga Islam itu sendiri.
Dasar Paradigma Ilmiah Islamic Golden Age adalah: Poliglot, menguasai banyak bahasa. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia untuk mengakses sumber informasi otentik yang tersebar dalam banyak fondasi kebudayaan. Polimat, menguasai banyak disiplin ilmu. Islam tidak bergerak secara linear dan parsial. Islam bergerak seperti bagaimana sistematika Quran dikodifikasi, tidak seperti text book yang runut dan sistematik. Melainkan acak dan melompat-lompat. Dasar-dasar Quran, Hadits, Bahasa, dan seterusnya telah dipersiapkan pada usia dasar hingga kemudian antusiasme seorang muslim bergerak pada kajian selera dan kebutuhannya. Dan kebutuhan manusia muslim tidak mentok pada satu kerangka topik dan disiplin. Dan muslim juga tidak mengandalkan pada otoritas kajian seseorang lainnya, apalagi berhenti karena tidak ada yang melakukan studi otoritatif. Al Biruni bisa saja dikenal sebagai Ahli Kebudayaan India, tapi dia tentu saja Ahli Quran, dan Ahli Hadits. Topik-topik menjadi terpisah sekedar soal bagaimana ilmuan Islam kemudian melakukan klasifikasi dan falsifikasi kajiannya menjadi Matematika, Fisika, dan seterusnya. Gaya logika kreatif yang sulit dibendung seperti ini perlu diledakkan kembali untuk mengimbangi kerangka berpikir Barat. Komitmen kita pada sumber nilai Islam tidak berarti akan diam pada praktik dan kultur Islam yang berkembang jika itu tidak baik dan tidak menggairahkan vitalitas sejati Islam. Umat Islam harus kembali tumbuh dewasa dan kembali menawarkan solusi solusi alternatif di setiap zaman.
Teh Chye Retty memaparkan bahwa kohesi antara Islam dan Sunda sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Sungguh aneh ketika akhir-akhir ini upaya memecah keterhubungan yang intim antara Sunda dan Islam dilakukan makin hari makin massif. Teh Chye memandingkan bahwa pola dasar keyakinan Sunda Wiwitan yang berkembang di perkotaan itu sungguh berbeda pola dan kemungkinan akarnya dengan Sunda Wiwitan di Baduy.
Baduy memang tidak menerima Islam sepenuh hati, terutama soal praktik ibadat dan ritus-ritus syariat. Tapi Baduy memiliki budaya yang jujur dan terus terang soal hal itu. Kesadaran keengganan masyarakat Baduy terhadap totalitas penerimaan risalah Nabi Muhammad SAW, tidak membawa pada sikap mereka yang julid dan dengki. Mereka tetap menghargai Islam dan masyarakat Islam. Apalagi masyarakat Sunda Islam dimana mereka semuanya terikat adas dasar persaudaraan dan kekerabatan. Akar Sunda Wiwitan di kota-kota besar lebih cenderung menginduk pada adat istiadat dan tradisi teosofi Kejawen. Akar historis dan paririmbonnya mungkin masih pendek pada Mei Kartawinata atau Madrais atau paling tua pada freferensinya terhadap filsafat dan selubung aliran keagamaan Syek Siti Jenar soal Manunggaling Kawula Gusti yang akan dijadikan landasan dan tameng anti syariat dan anti ritus peribadatan dan dengan kata lain akan menjadi selubung anti Islam.
Seorang pembicara akhir Al Fathri Adli dengan latar belakang STF Driyakara memganjurkan tetap pada pola disiplin dasar, dalam hal ini basik nilai agama. Komitmen basis penguasaan agama harus menjadi fondasi aqidah. Seorang muslim bisa saja mahir dalam kajian kajian filsafat dan scientific Barat, tapi komitmennya akan tetap pada Islam. Karena filsafat dan scientifik Barat menurunya memiliki nilai dan bobot yang sesungguhnya jauh lebih rendah dari hasil pencapaian filsafat dan scientific dunia Muslim. Suatu hal yang tidak bisa dimengerti bagaimana bisa seorang muslim harus dan lebih terpikat gemerlap keilmuan Barat dibandingkan komitmennya pada Islam sendiri. (Gelar Taufiq Kusumawardhana)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.