KESETARAAN gender, sebuah konsep yang lahir dari pemikiran Barat, diartikan sebagai “kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat”. Konsep tersebut lahir dari sebuah kondisi yang dikatakan orang sebagai peradaban moderen, yang di antaranya ditandai dengan kemajuan iptek, perubahan sosial-ekonomi, dan demokratisasi.
Sejarah peradaban dunia mencatat, kaum laki-laki lebih dahulu menempati posisi di atas perempuan, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan profesi, pemerintahan, atau politik. Konsep kesetaraan gender lebih sering diartikan tuntutan dari kaum perempuan atas hak-hak mereka agar sama dengan laki-laki.
Kita yang hidup pada abad ini memiliki mainstream bahwa apa yang disebut moderen selalu diposisikan sebagai antitesis dari tradisional. Secara ekstrem, kita beranggapan bahwa moderen dan tradisional adalah dua kutub yang berhadapan, yang pada proses tarik-menarik di antara keduanya di dalam kehidupan nyata, budaya moderen itulah yang dominan, sedangkan yang tradisional berada pada posisi terpinggirkan.
Meski antara moderen dan tradisi merupakan dua hal yang bertolak belakang, namun dalam memposisikan kesetaraan gender dalam konteks Sunda, saya berasumsi dapat diposisikan dalam kondisi saling melengkapi. Maksudnya, tidak selalu berhadapan, serta yang satu menjadi antitesis dari yang lainnya. Nilai-nilai budaya yang berisi kearifan lokal bisa saja dijadikan faktor penguat untuk lebih mengaktualisasikan konsep kesetaraan gender yang berasal dari pemikiran Barat moderen.
Dalam tradisi Sunda lama yang berdimensi spritual, perempuan menempati posisi paling tinggi, yaitu dengan adanya konsep Sunan Ambu. Namun kondisi ini boleh dibilang terbalik atau paradoks, sebab pada panggung sejarah Sunda, sebab jumlah perempuan yang disebut-sebut hanya ada beberapa saja, yang itu pun kemunculannya hanya sebagai pelengkap. Pada masa lalu, perempuan lebih banyak ditekankan sebagai penopang peran laki-laki.
Sejarah masa lalu pada umumnya berisi catatan tentang kehidupan para raja beserta kaum kerabatnya yang hidup di lingkungan keraton. Sejarah amatlah minim mencatat kehidupan orang banyak sebagai manusia biasa. Karena itu, agar kita bisa menukik ke tahap dasar, tentulah tidak cukup hanya dengan mengkaji sejarah, melainkan harus dilengkapi dengan kajian terhadap tradisi dan kebiasaan turun-temurun yang luput dari catatan sejarah.
Jika pada sejarah Sunda lama amat minim bertutur tentang peran perempuan—sehingga bisa saja ditarik kesimpulan belum terdapat kesetaraan gender, lain halnya jika kita mencermati kondisi yang berlangsung pada kehidupan masyarakat Sunda dari masa lalu hingga kini. Di lingkungan masyarakat desa, misalnya, perempuan punya peranan tersendiri yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Yang cukup menonjol di antaranya dalam proses mengolah lahan, apakah di ladang atau di sawah.
Pekerjaan berat di ladang ditangani laki-laki, misalnya membabat batang pepohonan (bukan menebang) serta menyiapkan lahan untuk ditanami padi. Namun pada proses menanam, memelihara, hingga memanen dikerjakan oleh perempuan. Demikian pula untuk pekerjaan di sawah. Proses magawe dan ngawuluku (membajak sawah), serta macul mencangkul, dikerjakan oleh laki-laki. Namun untuk tandur(menanam benih padi), ngarambet(menyiangi rumpun padi) serta dibuat(panen), itu semua dikerjakan oleh perempuan.
Termasuk pula dalam bidang produksi, antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi masyarakat Sunda sudah terbiasa saling melengkapi. Sebutlah dalam tradisi yang terkait dengan paneresan (membuat gula merah, baik dari nira kawung mupun nira kelapa), antara laki-laki dan perempuan punya fungsi dan peran masing-masing yang bersifat saling melengkapi. Tugas menyadap dikerjakan laki-laki. Sedangkan mendidihkan nira hingga menjadi gula, lalu mencetak dan mengemasnya, itu adalah tugas perempuan. Untuk bidang dan jenis produksi lainnya pun sama seperti itu, laki-laki dan perempuan punya tugas masing-masing yang tidak pernah tertukar.
Saya berpendapat, kesetaraan gender yang terdapat pada tradisi masyarakat Sunda bermuara pada harmoni, sebagaimana lazimnya yang tercermin pada kehidupan yang bersifat tradisional. Yang dimaksud harmoni di sini bisa diaplikasikan pada hubungan sosial laki-laki dengan perempuan, atau dapat juga diartikan harmoni kehidupan manusia (dalam arti luas) dengan alam lingkungannya. Ini merupakan nilai-nilai budaya yang dimanifestasikan dalam kearifan lokal.
Pada tradisi Sunda lama digambarkan bahwa mengolah lahan untuk pertanian bukan hanya sebatas untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan, melainkan juga untuk memelihara keseimbangan alam, serta bagian dari upacara ritual. Hal itu dapat kita simak pada sejumlah carita pantun yang merupakan warisan tradisi sastra lisan Sunda. Demikian juga untuk bidang-bidang kehidupan lainnya, khususnya yang bertalian dengan pemanfaatan sumberdaya alam, sama sekali tidak bersifat eksploitatif, melainkan untuk menciptakan harmoni.*** (Tatang Sumarsono, Staf Khusus Bidang Budaya Rektor UNPAS)
Selamat memperingati tanggal kelahiran Dewi Sartika.