Pada ulasan sebelumnya tersabit adanya keluarga bahasa Austronesia, yakni keluarga bahasa Kepulauan Selatan. Sementara pada kesempatan kali ini akan diulas sedikit adanya keluarga bahasa Ausroasia sebagai lapisan dasar dimana nanti rumpun bahasa Indo-Eropa, lebih khususnya Indo-Arya, atau lebih khususnya lagi bahasa Sanskrit sebagai tahap lebih lanjut dari bahasa Prakrit melakukan penetrasi dan akulturasi juga terhadapnya.
Jika keluarga bahasa Austronesia memiliki pemencaran di pulau-pulau yang terpisahkan selat, laut, dan samudra di wilayah Selatan (Samudra Hindia). Maka keluarga bahasa Austroasia masih menampal pada wilayah Benua Asia di bagian Selatan. Sebagaimana disabit pada ulasan sebelumnya, Austro sendiri artinya Selatan. Jika Nesos berarti Pulau atau dalam hal ini maksudnya Kepulauan, maka Asia merujuk pada nama Benua Asia.
Akar kata Asia sendiri yang berasal dari kata Asua atau Aswa sudah beredar penyebutannya sejak masa Akadia (salah-satu bangsa Arab Kuno dari rumpun Semit di Mesopotamia), yang mengandung arti tempat dimana matahari terbit atau dengan kata lain Timur. Lawan dari kata Asuwa tersebut dalam bahasa Akadia adalah Ereb atau Erebu yang berarti tempat dimana matahari tenggelam atau dengan kata lain Barat. Pada masa Yunani, kata Asia tersebut berkembang untuk merujuk pada apa yang saat ini disebut dengan kawasan Semenanjung Anatolia di Asia Kecil (Asia Minor; Turki).
Arti Asia pada bahasa Yunani tersebut kemudian mengalami proses perluasan maknanya hingga mencapai apa yang kita pahami dalam dunia modern saat ini. Demikian juga kata Erebu yang tiba ke dalam bahasa Yunani sebagai kata Europe; yang semula untuk menyatakan Dewi Europe yang berasal dari kalangan bangsa Funisia (Phoenecia). Bangsa Funisia adalah salah-satu bangsa Semit yang semula mendiami wilayah pesisir Syam atau yang biasa juga disebut dengan Kanaan, Filistin, atau Levantin (saat ini ditempati negara modern Palestina, Israil, Yordania, dan terutama Lebanon, dan Suriah) sebelum akhirnya menguasai jalur perdagangan Laut Mediterania dan Laut Merah Kuno. Kata Europe yang semula merujuk pada salah-seorang Dewi Funisia juga pada akhirnya berkembang sebagaimana yang kita pahami saat ini, yakni untuk menamai Benua Eropa.
Besar kemungkinan, kata Ereb atau Erebu tidak hanya tiba sebagai kata Europe pada masyarakat Yunani; melainkan juga pada masyarakat Arab yang semula berarti kawasan di sebelah Barat dari Akadia. Pada saat ini, istilah Arab yang semula cenderung merujuk ke kawasan Geografis di Semenanjung Arab atau Jazirah Arab atau wilayah Hijaz itu sendiri telah berkembang juga pengertiannya menjadi kawasan luas seruluh dunia berkebudayaan Arab. Kata yang sebangun dengan Ereb atau Erebu pada bahasa Akadia, dalam bahasa Arab itu sendiri disebut dengan kata Gharib atau Maghrib yang berarti tempat dimana matahari tenggelam atau Barat. Bagi masyarakat Arab sendiri, arah Barat adalah Mesir.
Kembali pada pokok persoalan keluarga bahasa Austroasia, maka perlu sedikit diinformasikan gambaran besar persebarannya. Bahwa keluarga bahasa Austroasia dengan meminjam rincian dari Harald Hammarstrom dan kawan-kawan, memiliki anggota sebagaimana berikut ini (unit kecil bahasanya tidak penulis rinci lebih khusus):
Bahasa Munda yang tersebar luas di Bangladesh, Bhutan, Nepal, dan negara-negara bagian India yakni: Maharashtra, West Bengal, Jarkhand, Chhattisgarh, Odisha, Bihar, Assam, Madhya Pradesh, Uttar Pradesh, Andhra Pradesh, Aruchanal Pradesh, Tripura, dan Mizoram.
Bahasa Khasic-Palaungic yang tersebar luas di Bangladesh dan negara bagian Meghalaya.
Bahasa Khmuic yang tersebar luas di Provinsi Oudomxay bagian Utara dari Laos.
Bahasa Mangic yang tersebar luas di China bagian Selatan dan Vietnam bagian Utara.
Bahasa Vietic yang tersebar luas di sepanjang pesisir Timur Vietnam, dari arah Selatan hingga ke arah Utara.
Bahasa Katuic yang tersebar luas di Vietnam bagian Tengah dan Laos bagian Tenggara.
Bahasa Bahnaric yang tersebar luas di kawasan pertemuan yang masing-masing masuk ke dalam bagian dari wilayah Vietnam, Kamboja, dan Laos.
Bahasa Khmer atau yang biasa disebut juga Cambodian yang tersebar luas di kawasan utama Kamboja dan Vietnam bagian Barat-Laut dan juga Thailand bagian Tenggara.
Bahasa Pearic yang tersebar luas di wilayah Kamboja bagian Barat dan Thailand bagian Tenggara.
Bahasa Monic yang tersebar luas di kawasan utama Thailand dan kawasan Myanmar bagian Selatan dan Tenggara.
Bahasa Aslian yang tersebar luas di Semenanjung Melayu (Malaysia) terutama wilayah negara bagian Kelantan, Terengganu, dan Pahang. Kata aslian sendiri diambil dari kata Orang Asli yang digunakan oleh masyarakat Melayu di Malaysia untuk mengidentifikasi mereka.
Bahasa Nicobarese yang tersebar luas di Kepulauan Nikobar (kesatuan wilayah Kepulauan Nikobar dan Kepulauan Andaman; India).
Dan Bahasa Shompen yang tersebar luas di Kepulauan Nikobar (kesatuan wilayah Kepulauan Nikobar dan Kepulauan Andaman; India), dan juga sebagian kecil wilayah Barat-Laut Pulau Sumatra (Indonesia).
Melalui pengamatan dapat kita lihat bagaimana wilayah persebaran keluarga bahasa Austroasia yang tersebar luas dari wilayah India bagian Tengah, Timur, Timur-Laut, dan Selatan. Selain tersebar luas di wilayah anak benua India (negara-negara bagian India, Nepal, Bhutan, dan Bangladesh), keluarga bahasa Austroasia juga tersebar luas hingga ke jantung wilayah utama (maindland) dari Asia Tenggara; yakni kawasan utama Indo-China hingga ke sebagian kecil wilayah Semenanjung Malaysia di Selatan dan kawasan China bagian Selatan.
Secara Antropologis (Somatologi), penampakkan fisik masyarakat pengguna bahasa Austroasia tersebut tidak jauh berbeda dengan masyarakat dari pengguna bahasa Sino-Tibet atau yang biasa juga disebut keluarga bahasa Trans Himalaya yang penandanya dimotori oleh masyarakat etnik Han bersama bahasa Mandarin yang menjadi profil mayoritas China, kemudian masyarakat etnik Tibet dengan bahasa Tibet sebagai profil mayoritas Tibet (daerah otonomi khusus China), dan masyarakat etnik Bamar dengan bahasa Bamar sebagai profil mayoritas Birma atau Burma (sekarang bernama Myanmar). Namun demikian, masyarakat pengguna bahasa Austroasia juga sepintas mirip juga dengan masyarakat pengguna bahasa Austronesia dengan profil mayoritas masyarakat dari rumpun Melayu.
Profil yang mewakili masyarakat pengguna bahasa Austroasia tersebut adalah masyarakat etnik Mon yang mendiami kawasan Siam (sekarang Thailand), Laos, dan Myanmar. Dan juga masyarakat etnik Khmer yang mendiami kawasan Kamboja, Vietnam, dan Laos. Aspek fisik dari masyarakat pengguna bahasa Austroasia (etnik Mon dan Khmer) tersebut memang terlihat sebagai pertengahan yang menghubungkan karakteristik fisik pengguna bahasa Sino-Tibet (etnik Han dan Tibet-Birma) dan pengguna bahasa Austronesia (Campa dan Melayu secara umum). Adalah hal yang wajar, secara fisik baik masyarakat Han, Tibet, Bamar, Mon, Khmer, Campa, dan Melayu secara umum seluruhnya masih terikat sebagai rumpun bangsa-bangsa Mongoloid.
Keanekaragaman kelompok etnik dan bahasa tersebut telah bertemu di wilayah Tengah, Timur, Timur-Laut, dan Selatan India modern pada masa silam; dimana pengguna bahasa Sino-Tibet, Austroasia, Austronesia, Dravida, sebagian kecil Kra-Dai atau Tai-Kadai (sebagai bagian dari keluarga bahasa Austro-Tai), dan Indo-Arya bertemu, berinteraksi, dan melakukan proses asimilasi di dalamnya. Pengguna bahasa Austroasia di wilayah India modern tersebut tersebar luas di 13 negara bagian dari total sejumlah 28 negara bagian di India (belum ditambah dengan kesatuan wilayah Kepulauan Nikobar dan Kepulauan Andaman; India). Sehingga wilayah India yang didiami oleh keluarga bahasa Austroasia tersebut terlihat lebih ‘oriental’ (dibaca: Mongoloid) dari keadaan umumnya yang tampak lebih Indo-Arya di bagian Tengah dan Barat maupun lebih Dravida (dari kata Pra-Veda/Vidya) di sebelah Selatan dan Tenggara.
Namun demikian, aspek keagamaan, ketatanegaraan, administrasi politik, dan pergaulan internasional telah mengadopsi pengaruh dari bahasa Indo-Arya dalam hal ini Prakrit dan kemudian Sanskrit yang telah melekat kuat dan menjadi warisan bersama (common heritage) yang mampu mengikat dan menghubungkan sejumlah latar belakang yang sesungguhnya memiliki akar yang masing-masing berbeda tersebut.
Di antara sekian banyak bahasa Austroasia tersebut, bahasa Mon dan bahasa Khmer adalah dua bahasa yang memiliki catatan tertua dalam rekaman-rekaman inskripsi yang dipergunakannya. Bahasa Mon sempat digunakan pada masa Kerajaan Dvaravati di kawasan Siam/Thailand, Laos, dan Birma/Myanmar dan bahasa Khmer sempat digunakan di Kerajaan Kambojadesya yang membentang sejak Kerajaan Funan, Kerajaan Chenla, hingga Kerajaan Khmer. Tentu saja, sebagaimana umumnya penetrasi kekuasaan Saka (Scythian-Saka), bersama dengan datangnya tahap perkembangan bahasa Sanskrit yang kemudian berdampingan dengan bahasa yang bersifat lebih pribumi dengan anasir-anasir konseptual Sanskrit yang tetap melekat kuat. Selain Mon dan Khmer, bahasa Vietnam juga memiliki pengaruh yang kuat meskipun identifikasi sejarah menunjukkan kurangnya penetrasi kebudayaan India Saka di dalamnya. Bahasa Vietnam yang masuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia lebih kuat berdampingan dengan pengaruh dari bahasa Mandarin yang masuk ke dalam rumpun Sino-Tibet hingga menghasilkan bahasa Sino-Tibet. Suatu pola budaya yang menunjukkan kentalnya perhubungan geopolitik antara kerajaan kuno Vietnam dan kerajaan kuno China. Baik bahasa Vietnam di Vietnam dan bahasa Khmer di Kamboja telah menduduki sebagai bahasa resmi negara (official language).
***
Pada ulasan sebelumnya telah dibahas perihal Kerajaan Campa yang berada pada kultur masyarakat pengguna bahasa Camik sebagai anggota keluarga bahasa Malayo-Camik dari keluarga bahasa Malayo-Sumbawa dari induk keluarga bahasa Austronesia. Sementara pendiri Kerajaan Campa sendiri berasal dari Kerajaan Chenla. Selain berkembang menjadi Kerajaan Campa, Kerajaan Chenla juga berkembang menjadi Kerajaan Khmer. Sesungguhnya, baik Kerajaan Khmer, Kerajaan Chenla, maupun Kerajaan Funan yang menjadi induk paling awalnya; seluruhnya dikembangkan oleh kultur pengguna bahasa Khmer yang secara umum babak-babak tersebut terangkum sebagai Kerajaan Bambojadesya. Namun demikian, pada kesempatan kali ini; kita akan mencoba untuk mengulas Kerajaan Khmer terlebih dahulu dibandingkan dengan Kerajaan Chenla dan Kerajaan Funan.
Sama seperti pendiri Kerajaan Campa yang bermama Prakasadharman atau Vikrantavarman (653-686) yang merupakan cucu Isanavarman I (616-637 M) dari garis ibu, salah-seorang raja dari Kerajaan Chenla; demikian juga dengan Jayavarman I (657-685 M) yang merupakan raja terakhir Kerajaan Chenla, juga merupakan cucu Isanavarman I dari garis ibu. Selain Vikrantavarman dari Kerajaan Campa dan Jayavarman I dari Kerajaan Chenla, terdapat juga klaim yang sama dari pendiri Kerajaan Dvaravati yang bernama Harshavarman yang berpusat di kawasan Thailand dan Laos. Suatu kerajaan yang berkembang di atas layer kebudayaan masyarakat Mon, yang sebagaimana Khmer masuk ke dalam rumpun Austroasia sebelum kedatangan masyarakat Thai dari rumpun keluarga Kra-Dai atau biasa disebut juga Tai-Kadai (sub dari Austroasia-Tai/Austro-Tai) dari arah China bagian Selatan yang kemudian mengembangkan Kerajaan Ayutthaya (Sanskrit: Ayodya).
Jayavarman I, raja terakhir Kerajaan Chenla tersebut tidak memiliki pewaris takhta berupa anak laki-laki. Maka sepeninggal Jayavarman I, putrinya yang bernama Jayadevi memimpin Kerajaan Chenla yang beribukota di Vyadapura bersama suaminya Nrpaditya atau Nrpatindravarman yang merupakan seorang pangeran dari kerajaan kota Aninditapura yang statusnya sebagai kerajaan daerah atau kerajaan bawahan Kerajaan Chenla pada masa sebelumnya.
Narendradevi I putri pasangan Jayadevi dan Nrpatindravarman meneruskan kekuasaan di ibukota Kerajaan Chelan yang diwarisi dari ibunya; yakni Vyapura. Sementara Puskharakhsa atau yang biasa juga disebut Indraloka meneruskan kekuasaan di kota Aninditapura yang diwarisi dari ayahnya. Pushkarakhsa yang berkuasa di Aninditapura kemudian menikahi Indrani yang menjadi pewaris tahta kerajaan daerah lainnya, yakni kerajaan kota Sambupura.
Dalam ulasan Trudy Jacobsen dapat terlihat bahwa sepeninggal Jayavarman I, Kerajaan Chenla kehilangan figur besar yang mampu menyatukan seluruh kota-kota yang bergerak semakin mandiri. Meskipun demikian konfederasi kota-kota tersebut tidak jika harus dikatakan sama sekali jatuh dalam situasi yang chaos, hanya saja tidak mampu dipersatukan dalam satu unit kekuasaan yang bersifat tunggal. Usaha membangun suasana kekeluargaan dengan cara melakukan perkawinan antar kota dan antar keluarga penerus garis silsilah Jayavarman I masih terus diupayakan. Namun demikian, usaha penyatuan tersebut baru benar-benar terjadi secara radikal dan signifikan ketika Jayavarman II yang baru pulang kembali dari perantauannya dari salah-satu istana kerajaan di Pulau Jawa melakukan terobosan besar dalam proses penyatuannya.
Jayavarman II melakukan proses penyatuan kota-kota bekas Kerajaan Chenla lewat pernikahan politik yang membuahkan proses kohesi dan aliansi yang terpusat kepadanya. Isteri-isteri yang dinikahi oleh Jayavarman II antara lain adalah Jayaindravallabha dari kota Sambhupura; Dharanendradevi dari kota Vyadhapura; Kambujalaksmi atau Prana dari kota Harihalaya; Bhas Svamini dari kota Vat Phu; Deviki atau Sarasvati dari Aninditapura; Ten Ayak dari kota Bhavapura; Hyang Pavitra dari kota Haripura; dan Svamini Hyang Amita atau Nrpendradevi dari kota Malyang. [Perhatikan terdapat dua isteri yang memiliki gelaran Hyang (atau Hyan) yang terdapat dalam periode Kerajaan Khmer yang sangat menarik untuk dipelajari dalam catatan tersendiri. Sebagai tambahan isteri Indravarman I yang merupakan raja ketiga setelah Jayavarman II dan Jayavarman III, juga bernama Ten Hyang Narendra.]
Jayavarman II sendiri untuk pertamakalinya menyatakan kekuasaannya pada tahun 781 M di kota Indrapura dekat Provinsi Kampong Cham atau Provinsi Kampong Thom di Kamboja modern. Bisa jadi, Jayavarman II sendiri terikat kekerabatan dengan Kerajaan Chenla atau Kerajaan Kambojadesya terutama kepada garis silsilah penguasa kota Indrapura. Dari Indrapura, Jayavarman II semakin mantap dengan memindahkan pusat kekuasaannya ke Mahendravarpata dan kemudian ke Harihalaya dengan menyatakan dirinya sebagai penguasa Kambojadesya. Kota kuno Harihalaya tersebut lebih dikenal pada saat ini dengan nama kota Angkor.
Jayavarman II, yang datang dari istana di Pulau Jawa yang menurut George Coedes kemungkinan adalah Wangsa Sailendra di Paulau Jawa (Mataram Sailendra) kemudian menyatakan dirinya sebagai Chakravartin dan Kamraten Jagat ta Raja (dibaca: Raja Dunia dan Maha Rajadhiraja) sekaligus menyatakan kebebasan Kerajaan Kambojadesya (dibaca: Kerajaan Chenla) merdeka dan terbebas dari ikatannya bersama supremasi dan hegemoni Jawa. Semenjak Jayavarman II naik tahta tersebut, maka terbentuklah daftar raja-raja Kambojadesya dari periode Kerajaan Khmer atau Kerajaan Angkor tersebut dengan nama-nama sebagai berikut (meskipun alur geneologi tidak berjalan secara linear):
(1) Jayavarman II (802-835 M)
(2) Jayavarman III (835-877 M)
(3) Indravarman I (877-889 M); dengan membuat monumen peringatan untuk Jayavarman II, Rudravarman, dan Parthivindravarman meskipun bukan keturuna langsung Jayavarman II namun masih terikat kekrabatan dengan pihak ibu dan isteri Jayavarman II yang mewarisi garis peguasa kuno Kerajaan Chenla. Dua raja terakhir menurupakan garis silsilah dari pihak ibu yang mengembalikan wibawa lama garis silsilah kuno Jayavarman I. Sebagian analis keliru dengan menempatkan Rudravarman dan Prathivindravarman dalam daftar raja setelah Jayavarman I dan Jayavarman II.
(4) Yasovarman I (889-910 M)
(5) Harshavarman I (910-923 M)
(6) Ishanavarman I (923-928 M)
(7) Jayavarman IV (928-941 M)
(8) Harshavarman II (941-944 M)
(9) Rajendravarman II (944-968 M)
(10) Jayavarman V (968-1001 M)
(11) Udayadityavarman I (1001-1002 M)
(12) Jayaviravarman (1002-1010 M)
(13) Suryavarman I (1010-1050 M); naik tahta bersama aliansi Kerajaan Chola.
(14) Udayadityavarman II (1050-1066 M)
(15) Harshavarman III (1066-1080 M); mendapatkan invasi dari Kerajaan Campa tahun 1074 M dan 1080 M.
(16) Jayavarman VI (1080-1113 M); di sisi lain Nrpatindravarman (1080-1113) mengklaim kelanjutan Harshavarman III di kota Angkor.
(17) Dharanindravarman I (1107-1113 M); menyatukan kembali kekuasaan.
(18) Suryavarman II (1113-1150 M); mendapatkan invasi Kerajaan Dai Viet dan Kerajaan Campa.
(19) Dharanindravarman II (1150-1160 M)
(20) Yasovarman II (1160-1165 M)
(21) Tribhuvanadityavarman (1165-1181 M); seorang Sino-Khmer atau Mandarin mantan menteri yang kemudian kekuasaannya ditundukkan Jaya Indravarman IV dari Kerajaan Campa hasil invasi tahun 1177 M dan 1178 M.
(22) Jayavarman VII (1181-1219 M); mengembalikan supremasi Kerajaan Khmer dari Kerajaan Campa yang sempat diduduki sejak 1178-1181 M. Melakukan serangan balasan ke Kerajaan Campa pada tahun 1190-1191 M.
(23) Indravarman II (1219-1243 M); kehilangan kembali supremasinya terhadap Kerajaan Campa dan kehilangan wilayah Siam/Thailand oleh Kerajaan Sukhottai (Sanskrit: Sukhadaya) dari Siam/Thailand.
(24) Jayavarman VIII (1243-1295 M); mendapatkan invasi dari pasukan Khubilai Khan dari Khaganat Mongol pada tahun 1283 M dan juga melakukan pertempuran dengan Kerajaan Sukhottai dari Siam/Thailand.
(25) Indravarman III (1295-1308 M)
(26) Indrajayavarman (1308-1327 M)
(27) Jayavarmandiparamesvara atau Jayavarman IX (1327-1336 M); tahun 1327 M menjadi inskripsi berbahasa Sanskrit terakhir yang pernah ada bersama bahasa Khmer.
Daftar raja selanjutnya memasuki daftar nama raja yang citarasa Sanskrit benar-benar telah pudar, seperti: Trosok Peam, Nippean Bat, Lompong Racha, Soryavong, Borom Reachea I, Thomma Saok, In Reachea, dan terakhir Barom Reachea II bersama dua kali invasi yang dilakukan Kerajaan Ayutthaya (Sanskrit: Ayodya) yang dipimpin oleh Uttong dan Ramesuan yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Sukhottai dari Siam/Thailand. Aspek pergeseran bahasa dan barangkali Demografi kependudukan dan etnik menarik untuk diperhatikan dalam catatan tersendiri.
Sebagai catatan akhir, penulis membutuhkan waktu lebih untuk melampirkan sumber inskripsi internal dari Kerajaan Khmer tersebut meskipun sebenarnya sangat banyak dan memadai. Sejauh ini penulis belum menemukan ulasan secara khusus dari sumber sekuder yang menghimpun ketersediaan inskripsi internal yang bersifat epigrafi kecuali harus dengan cara menginvestigasi dari banyak sumber yang tercecer di sana-sini.
Sebagai gambaran terbatas terdapat Kokong Inscription K. 826, Lolei Inscription K. 324, Preah Ko Inscription K. 713 a, K. 320 a, K. 318 a, K. 315, K. 713 b, Baksei Camkron Inscription K. 286, Sidak Kok Thong Inscription, dan seterusnya. (Gelar Taufiq Kusumawardhana/Varman Institute)
___
Hammarstrom, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin. (2017). Austroasiatic. Jena, Germmany. Max Planck Linguistic for the Science of Human History.
Jacobsen, Trudy. (2008). Lost Goddesses: The Denial of Female Power in Cambodian History. NIAS – Nordic Institute of Asian Studies. Copenhagen, Denmark.
Higham, C., 2001, The Civilization of Angkor, London: Weidenfeld & Nicolson.
Coedes, George (1968). Walter F. Vella (ed.). The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press.
Golzio, Karl-Heinz (2008). Considerations on the Chronology and History of 9th Century Cambodia (PDF). Center for Khmer Studies – Siksacakr No 2.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.