Pernah pada Pilpres ada calon yang menawarkan program perlindungan pasar tradisional. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar tradisional masih merupakan isyu, serta dapat dijadikan “umpan” untuk menarik simpati publik.

Bahwa kini sering dikeluhkan, keberadaan pasar tradisional semakin terpingggirkan. Sebagai gantinya, bermunculanlah super market yang dianggap salah satu ciri masyarakat moderen, yang pada kenyataannya sering juga mengundang masalah. Hal itu biasanya lantaran terkait dengan perizinan.

Namun, walaupun mungkin saja upaya penertiban tersebut dilakukan, tidak berarti mengurangi jumlah super market yang sudah ada. Bahkan dari waktu ke waktu cenderung bertambah. Sangat mungkin menjamurnya super market ini karena tuntutan (sebagian, entah besar atau kecil) masyarakat, khususnya yang merasa dirinya hidup di zaman moderen. Memang susah untuk dibendung, apalagi jika dikaitkan dengan adanya disain besar yang bertujuan untuk memarjinalkan apa-apa yang disebut tradisi.Tentu, disain besar tersebut terkait dengan kepentingan para pemilik modal raksasa yang jaringannya sudah menggurita.

Dalam kehidupan masyarakat Sunda, dan sangat mungkin pada kelompok etnik lainnya juga, sejarah kehadiran pasar dalam bentuknya yang paling sederhana berbarengan dengan tumbuhnya komunitas masyarakat yang membutuhkan sarana transaksi ekonomi. Sesuai dengan lingkupnya, transaksi ekonomi tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan primer di bidang logistik, yang itu pun hanya terbatas pada keperluan sehari-hari.

Jonathan Rigg, pada kamus yang disusunnya, A Dictionary of the Sunda Language of Java (terbit pertama kali pada 1862), memasukkan kata “pasar” dalam salah satu entrinya. Hal itu menunjukkan bahwa pasar sudah hadir dalam masyarakat Sunda sebelum kamus tersebut disusun. Atau, sangat mungkin jauh sebelumnya.

Pada awalnya, pasar hanya dibuka seminggu sekali. Rigg mencatatnya “held usually once a week”. Hari apa pasar dibuka, itulah yang dalam tradisi Sunda disebut dengan istilah poe pasar (hari pasar). Diatur sedemikian rupa agar dalam sepekan di setiap desa terdapat hari pasar, di mana pada hari itu keadaan di desa yang bersangkutan menjadi ramai dengan transaksi ekonomi. Para pedagang pun umumnya berpindah-pindah, dari satu desa ke desa lainnya, sesuai dengan hari pasar yang telah ditetapkan.

Sampai sekarang, penamaan pasar berdasarkan hari masih ada sisa-sisanya, bahkan kemudian meluas menjadi penamaan suatu wilayah. Pasar Senen atau Pasar Rebo di Jakarta, misalnya, sudah tidak lagi merujuk ke lingkungan pasar dalam arti tempat transaksi ekonomi berlangsung, melainkan menjadi nama wilayah administratif pemerintahan.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat, kegiatan pasar yang semula berlangsung seminggu sekali, kemudian berubah menjadi seminggu dua kali, yang dalam catatan Rigg disebutkan “and in some populous places twice a week”. Bahkan akhirnya menjadi setiap hari dalam seminggu.

Pada perkembangan berikutnya, muncul yang disebut pasar kojengkang. Kata “kojengkang” itu sendiri artinya melintas dengan cepat. Dinamakan begitu karena transaksi yang terjadi di pasar yang bersangkutan dalam waktu sebentar. Pertemuan penjual dengan pembeli paling hanya dua-tiga jam saja, biasanya dimulai sebelum terbit matahari, yang setelah itu kembali sepi. Tempatnya pun bukan di pasar sebagaimana pengertian umum, melainkan cukuplah di tepi jalan umum, atau di lokasi yang dianggap strategis serta mudah dijangkau. Barang yang diperjual-belikan di pasar kojengkang biasanya hanya jenis-jenis untuk keperluan dapur, atau penganan sederhana.

Di pasar, apakah yang umum atau hanya kojengkang, tidak hanya untuk kegiatan transaksi jual-beli saja, melainkan terdapat fungsi sosial lainnya. Bertemunya pedagang dengan pembeli, atau bisa juga pembeli dengan pembeli serta pedagang dengan pedagang akan mengakibatkan terjadinya interaksi sosial. Sebagai hasilnya mungkin akan terjalin hubungan persahabatan, kekerabatan, persaudaraan, bahkan perjodohan. Orang-orang yang datang ke pasar, satu sama lain terjalin dalam iklim keakraban dan kehangatan, yang hal itu merupakan salah satu ciri karakter orang Sunda.

Dalam konteks budaya, pasar tidak hanya sekadar berdimensi ekonomi, melainkan juga memperkuat semangat kebersamaan, yang dalam idiom agama merupakan bagian dari silaturahmi. Semuanya berjalan secara alamiah, tanpa harus diembel-embeli manajemen moderen yang lebih sering menyiratkan upaya meraup keuntungan finansial semata.

Tidak perlu promosi dengan segala aksesoris dan pernak-perniknya yang sering terkesan kenes atau mengada-ada. Orang berdatangan, meskipun kadang-kadang harus berbecek-becek atau mencium bau yang kurang sedap. Perputaran ekonomi dalam pengertian yang sederhana terus bergulir, serta ketahanan budaya pun terbangun. Masyarakat punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berwirausaha, sekecil apapun peranannya dalam pertumbuhan ekonomi bangsa. Justru mereka itulah yang punya kemandirian.

Kalau ada orang yang sedang berjuang menuju puncak kekuasaan menjanjikan perlindungan dan pengembangan pasar tradisional, menurut hemat saya, itu amat bagus. Dengan catatan, tidak sekadar janji belaka, yang biasanya menjadi komiditi murahan dalam setiap kampanye. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang nanti dimilikinya, janji tersebut harus dibuktikan. Namun, di hati kecil saya masih juga ragu.*** (Tatang Sumarsono)