Satu abad setelah Prasasti-Prasasti Mulawarman di Kutai Martadipura ditorehkan pada tengah abad ke-4 M di atas batuan-batuan beku yang dibuat pipih dan tegak (yupa) yang saat ini masuk ke dalam wilayah administrasi politik Provinsi Kalimantan Timur di belahan Timur Pulau Kalimantan (Borneo [kemungkin dari nama Varunadvipa]), maka Prasasti-Prasasti Purnawarman di Tarumanagara menyusul ditorehkan pada tengah abad ke-5 M di atas batuan-batuan beku berbentuk bongkahan (boulder) alamiah yang saat ini masuk ke dalam wilayah administrasi politik Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat di belahan Barat Pulau Jawa (Javadvipa).
Abad ke-4 M artinya sekitar tahun 300-400 tahun setelah Al Masih (Nabi Isa Al Masih AS) dilahirkan. Kelahiran Al Masih itu sendiri ditempatkan pada hitungan 0 dalam sistem kalender Masehi. Suatu sistem kalender Matahari yang merujuk pada perhitungan yang dibangun oleh Kaisar Julius Caesar (45 SM) dan kemudian Paus Gregorius XIII (1582 M). Maka peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum zaman dimana Al Masih dilahirkan disebut Sebelum Masehi (SM), sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah zaman dimana Al Masih telah dilahirkan disebut Masehi (M). Prasasti-Prasasti Mulawarman tersebut lebih tepatnya dibuat pada tengah abad ke-4 Masehi artinya sekitar tahun 350 M (setelah kelahiran Al Masih). Sementara Prasasti-Prasasti Tarumanagara dibuat pada tengah abad ke-5 M, artinya sekitar tahun 450 M (setelah kelahiran Al Masih).
Maka jarak antara Prasasti-Prasasti Mulawarman dan Prasasti-Prasasti Purnawarman adalah berselisih 100 tahun lamanya dimana Prasasti-Prasasti Mulawarman mendahului Prasasti-Prasasti Purnawarman. Dan dikarenakan prasasti-prasasti itu ditorehkan oleh juru pahat aksara (citralaikha) secara “live” atas instruksi raja yang bersangkutan, maka demikian juga masa hidup Mulawarman telah mendahului masa hidup Purnawarman sekitar seratus tahun lamanya. Jika ditinjau dalam suatu skema yang normal, seratus tahun adalah waktu yang mencukupi bagi berkembangnya empat tingkatan kelahiran manusia (generasi): kakek (100), anak (75), cucu (50), dan buyut (25) dengan asumsi interval antar generasi masing-masing adalah berjarak dua puluh lima tahun.
Aksara yang digunakan untuk menulis kedua kelompok prasasti tersebut, baik Prasasti-Prasasti Mulawarman maupun Prasasti-Prasasti Purnawarman menurut para ahli adalah sama-sama menggunakan Aksara Palawa (Pallava Script) dan Bahasa Sanskrit (Sanskrit Language). Palawa (Pallava) adalah nama kerajaan yang berkembang di India Selatan antara abad ke-3 M hingga abad ke-9 M. Dikarenakan aksara tersebut telah dibangun dan dikembangkan oleh kerajaan Palawa untuk pertamakalinya, maka kemudian aksara tersebut dinamai Aksara Palawa. Masa perkembangan Aksara Palawa tersebut adalah abad ke-6 M hingga abad ke-9 M.
Di sini kita akan melihat sedikit kontradiksi data yang akan menimbulkan problem keilmuan. Apabila Aksara Palawa baru dibangun pada abad ke-6 M oleh kerajaan Palawa, sementara Prasasti-Prasasti Mulawarman dan Prasasti-Prasasti Purnawarman telah ditorehkan pada abad ke-4 M dan ke-5 M juga dengan Aksara Palawa, lalu bagaimanakah penjelasannya? Untuk pokok permasalahan ini kita akan menundanya terlebih dahulu, untuk kemudian pada tulisan-tulisan selanjutnya kita akan mengeksplorasinya lebih jauh lagi melalui tahap pengenalan sejarah perkembangan kerajaan Palawa itu sendiri.
Jika aksara yang digunakan adalah Aksara Palawa, maka bahasa yang digunakan dalam Prasasti-Prasasti Mulawarman dan Prasasti-Prasasti Purnawarman adalah Bahasa Sanskrit. Suatu tahap perkembangan bahasa yang lebih baku dari pendahulunya yakni Bahasa Prakrit (Prakrit Language) yang telah ditorehkan untuk pertamakalinya pada masa Ashokawardhana dari kerajaan Jambudwipa pada abad ke-3 SM. Sementara itu, Bahasa Sanskrit sendiri dapat dilacak untuk pertamakalinya dibangun pada akhir abad ke-1 SM dan awal abad ke-1 M oleh kerajaan Satrap Utara dan Satrap Barat di India. Namun demikian, melalui kerajaan Palawa lah Bahasa Sanskrit tersebut kemudian lebih popular dan tersebar luas.
***
Kembali kepada topik yang tengah disuguhkan pada kesempatan kali ini, penulis sekedar bermaksud untuk mengenalkan adanya kata akhiran (sufix) -warman (-varman)
pada nama Purnawarman (Purnavarman) pada Prasasti-Prasasti yang dibuat oleh raja Purnawarman itu sendiri. Adanya nama Aswawarman, Mulawarman, dan Purnawarman sebagai nama-nama raja dari Kutai Martadipura dan Tarumanagara belum akan mengejutkan dan membuka cakrawala berpikir secara holistik apabila kita belum menambahkan inventarisasi nama-nama raja serupa demikian di belahan lainnya pada periode yang relatif bersamaan di Indo-China, Banglades, India Timur-Laut, pesisir Timur India, India Selatan, dan Srilangka yang dapat memberikan konsekuensi-konsekuensi penalaran tambahan. Pada periode yang lebih muda dari Kutai dan Tarumanegara di beberapa tempat dan periode kita juga masih akan bisa menemukannya.
Adapun transkripsi dari Prasasti-Prasasti Purnawarman yang dapat kita dinikmati terlampir demikian. Sebuah jasa ilmiah yang dapat merujuk pada ilmuan-ilmuan awal yang menelitinya antara lain: Jonathan Rigg (1854), HP Hoepermens (1864), AB Cohen Stuart (1875), PJ Veth (1878), Verbeek (1891), CM Pleyte (1905), H Kern (1910 dan 1917), D Bvan Hinloopen Labberton (1912), JFG Brumind (1913), NJ Krom (1914), J Ph Vogel (1915 dan 1925), Saleh Danasasmita (1984), dan seterusnya yang berjasa dalam upaya pembacaan, transkripsi, dan penterjemahannya. Namun demikian, sebagai prestise sebuah bangsa upaya mengkroscek ulang upaya pembacaan dan ketelitian penerjemahan suatu hari perlu diupayakan kembali untuk memperdalam khazanah pengetahuan kuno tersebut yang selama ini masih dikuasai dominasi ilmuan-ilmuan Eropa (dalam hal ini adalah Belanda).
***
Tugu
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau,
pravarddhannane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnnavarmmana,
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau cairtra sukla trayodasyam dinais siddhailavingsakaih ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka,
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayato krtadaksina.
(Dahulu, sungai yang bernama Chandrabhaga telah digali oleh seorang maharaja yang memiliki lengan kuat dan kencang, untuk mengalirkan (air) ke laut. Setelah saluran mengalir di istana kerajaan, pada tahun ke-22 dari tahta yang mulia raja Purnawarman yang berkilau-kilau karena kepandaian dan kebijaksannya yang menjadi panji utama (pemimpin) dari seluruh raja-raja, (maka sekarang) dia memerintahkan untuk menggali (saluran) air yang bersih dan indah, Gomati namanya. Setelah saluran mengalir melintasi ke tengah kediaman dari tetua yang mulia (kakek Purnawarman), dimana pekerjaannya telah dimulai pada hari baik tanggal 8 tengah bulan gelap pada bulan Caitra, dan (pekerjaannya) diselesaikan dalam waktu 21 hari, dengan panjang saluran 6122 busur. Maka upacara telah dilaksanakan oleh para Brahmana dengan 1000 ekor sapi diberikan sebagai hadiah.)
Prasasti Cidanghyang
vikranto yam vanipateh,
prabhuh satyapara(k)ra(mah),
narendraddhvajabhutena,
srimatah purnnavarmmannah.
(inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi utama seluruh raja-raja.)
Prasasti Jambu
siman data krtajnyo narapatir asamo yah pura tarumayam,
nama sri purnnavarmma pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo,
tasyedam pada vimbadvayam arinagarot sadane nityadaksam,
bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam.
(Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju jirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.)
Prasasti Ciaruteun
vikrantasyavanipat eh,
srimatah purnnavarmmanah,
tarumanagarendrasyah,
visnoriva vadadvayam.
(Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Wisnu, ialah telapak kaki yang mulia Purnawarman penguasa di negeri Taruma, raja yang gagah berani.)
Prasasti Tapak Gajah
jayavisalasya tarumendrasya hastinah,
airwavatabhasya vibhatidam padadvayam.
(Di sini tampak tergambar sepasang telapak kaki … yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam … dan (?) kejayaan.)
Prasasti Pasir Awi
(berupa simbol atau ornamen ikal. bukan aksara sehingga tidak bisa dibaca.)
Prasasti Pasir Muara
(berupa simbol atau ornamen ikal dan sulur. bukan aksara sehingga tidak bisa dibaca.)
***
Pada Prasasti Tugu tercatat nama Purnnavarmmana (Purnnawarmmana), pada Prasasti Cidanghyang tercatat Purnnavarmmanah (Purnnawarmmanah), pada Prasasti Jambu tercatat Purnnavarmma (Purnnawarmma), dan pada Prasasti Ciaruteun tercatat nama Purnnavarmmanah (Purnnawarmmanah). Dengan demikian tercatat variasi gramatika sebagai berikut Purnnavarmma (Purnnawarmma), Purnnavarmmana (Purnnawarmmana), dan Purnnavarmmanah (Purnnawarmmanah) sebagai variasi dari nama yang sama yakni Purnavarman (Purnawarman).
Jika merujuk pada kamus bahasa Sanskrit (Monier-William), Purna sebagaimana yang masih sampai hingga hari ini maknanya ke dalam bahasa keseharian kita artinya Komplit, Penuh, tidak ada suatu kekurangan apapun (dengan kata lain Sempurna). Purnawarman dengan demikian artinya adalah Pelindung yang Sempurna, atau secara lebih simbolik adalah Perisai yang Sempurna. Sementara Taruma, jika menginduk pada kosa-kata yang terdapat dalam Srimad Baghavatam “Kalpaka Tarum”, maka Tarum atau Taruma adalah Pohon. Sementara Negara atau Nagara adalah wilayah administrasi politik sebagaimana yang sampai pada kosa-kata kita hari ini sebagai kata Negara atau Nagara (Country/State). Maka Tarumanagara adalah Negara Pohon. Barangkali merujuk pada makna lugasnya memang demikian, mungkin juga sebagai suatu makna simbolik yang bisa merujuk pada Pohon yang lebih bersifat tafsir teologis seperti Kalpaka Taruma atau Kalpa Taru (Pohon Harapan). Bisa juga sebagaimana yang dikatakan Robert Wessing, di kawasan Tamil Nadu Taruma adalah suatu korupsi fonetik dari kata Dharma (Sanskrit) atau Dhamma (Prakrit) yang berarti Kebenaran atau Kebijaksanaan. Tarumanagara adalah Negeri yang meneladani karakteristik Pepohonan atau suatu Kebijaksanaan. Negeri yang meninggikan nilai-nilai kebenaran dan spiritualitas. (Gelar Taufiq Kusumawardhana)

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.