HUJAN emas di negeri sendiri, lebih baik daripada hujan batu di negeri orang. Demikian peribahasa yang telah melembaga pada kehidupan sebagian besar penduduk di sebuah negeri, yang konon dulunya subur makmur, sehingga VOC sangat berminat mengembangkan usaha di tanah ini.

Tapi, yang namanya hujan, ya, tetap saja air. Mana mungkin ada hujan emas, baik yang masih berupa bijih atau sudah menjadi batangan. Hujan bermula dari awan yang berkondensasi, lalu turunlah berupa titik-titik air ke muka bumi. Menurut teori, sebagian besar dari air hujan yang jatuh mestinya terserap tanah. Sebab, kalau yang mengalir ke sungai lebih banyak, maka akan terjadi banjir.

Ya, banjir; seperti yang pernah terjadi di negeri yang dulu dijajah Belanda itu. Menurut kabar, banjir tersebut alangkah hebatnya. Perkampungan menjadi tergenang, itu sudahlah tentu. Yang terbawa hanyut bukan hanya sebatas barang dan khewan, melainkan juga orang yang bernasib naas, dalam jumlah cukup banyak

Kenapa sampai terjadi banjir yang begitu dahsyat? Berbagai pendapat ramai dikemukakan, sehingga memerlukan pembahasan dari seminar ke seminar. Para ahli, baik yang betul-betul ahli, ataupun yang pura-pura sebagai ahli, bersilang pendapat. Masing-masing bertahan dengan argumentasinya.

Konon, pada saat terjadi bencana tersebut, sebetulnya ada hal lain yang luput dari perhatian publik, yaitu hanyutnya nurani bersama air bah. Tak ada yang tahu, serta tak ada yang mau tahu, apakah nurani mereka terus mengalun menuju laut lepas, atau tersangkut di batu-batu karang, atau mungkin saja sudah menjadi santapan ikan hiu. Dan anehnya, sedikit sekali orang yang menyadari bahwa mereka telah hidup tanpa nurani.

Dan, inilah yang kemudian terjadi setelah peristiwa banjir tersebut: hukum tidak berpihak kepada keadilan, ekonomi menggelembung namun isinya melulu hutang, target politisi hanya untuk membetulkan letak dasi, birokrasi telah berubah menjadi semacam mesin ketangkasan, para pakar dan budayawan memilih gaya hidup salon dan flamboyan.

Suasana seperti itu berimplikasi lebih jauh lagi terhadap kehidupan sehari-hari. Karena hidup tanpa nurani, maka orang-orang bisa dengan mudah mengidentifikasi diri; terserah kemauan atau kepentingan masing-masing. Ada yang merasa dirinya sebagai bebek; pandainya cuma sebatas berwek-wek-wek, namun selalu meminta honorarium besar dengan segala fasilitas kemewahan. Ada yang lebih senang menjadi kecoak, atau kutu busuk yang menjijikkan. Tak kurang pula yang memilih sebagai binatang purba; tenaganya sih memang kuat, tapi bodohnya tak ketulungan. Atau menjadi merak yang kenes, namun begitu bulunya rusak sedikit, langsung terkena stress bahkan stroke. Pilihan lainnya adalah menjadi musang, bunglon, dan buaya.

Mereka hidup hanya untuk makan. Dibangunlah industri-industri raksasa, yang hasil produksinya untuk memenuhi hasrat makan mereka. Tidak hanya sebatas itu, melainkan dibuka pula keran impor seluas-luasnya. Produk asing berdatangan melimpah ruah. Kemudian dibangun pula berbagai tempat kesenangan, yang secara mentah-mentah meniru perilaku tidak beradab di negara antah-berantah.

Semuanya terlihat sibuk; ada yang betul-betul bekerja, namun tak sedikit pula yang hanya merasa dirinya bekerja, padahal tidak berbuat apa-apa. Yang disebut terakhir itu adalah mereka yang hidup beruntung; lahir pada jaman yang tepat, negara yang tepat, serta koneksi yang tepat!

Denyut kehidupan begitu tinggi; dan semuanya diukur dengan uang. Lahirlah semboyan: keuangan yang maha esa. Dalam hal mencari, bahkan kalau bisa menumpuk uang, sudah tidak jelas lagi ukuran moral dan etika. Semua serba boleh. Boleh mencuri, boleh menipu, boleh korupsi, boleh pula memangsa sesama. Yang penting, bisa hidup senang! Apakah kesenangan yang diperoleh tersebut telah menyebabkan pihak lain rugi atau mampus, itu soal lain, serta bisa diselesaikan secara lain pula.

Jadi, tak perlu heran jika kekayaan alam dikuras habis. Minyak bumi, barang tambang, hutan belantara, gunung, laut, serta pulau telah masuk ke dalam perut, kemudian diubah menjadi energi yang hanya dapat dimanfaatkan untuk persetubuhan semata.

Namun, kehidupan ini ibarat roda yang menggelinding. Tak mungkin selamanya ada di atas, atau selalu menempati posisi di bawah. Selalu bergerak, karena yang demikian itu sunatullahnya dunia.

Alkisah, tibalah saatnya badai krisis, dalam banyak hal. Orang-orang terhenyak dan terhempas, lalu ambruk tak berdaya. Mereka yang hidup tanpa nurani itu merasa kesulitan dalam mengidentifikasi diri, sebab jenis apapun yang dimetamorfosa selalu penuh resiko, bahkan resiko yang sangat mengerikan. Tiba-tiba saja orang bisa dibakar bak sebuah obor hidup, atau majikan didemo habis-habisan karena mencolek pantat buruh perempuannya, atau seorang pejalan kaki ditembak di pinggir jalan tanpa alasan yang jelas, apalagi masuk akal.

Dalam suasana seperti itu, lalu ada sebagian orang yang ingat terhadap nurani miliknya yang telah lama hanyut terbawa banjir. Mereka ingin sekali mencarinya, sekali pun sangat mahal biayanya.

Maka diadakanlah ekspedisi untuk menemukan kembali nurani mereka yang telah lama hilang. Sebuah kapal disiapkan, lengkap dengan peralatan canggihnya.

Setelah semuanya dianggap siap, berlayarlah ke tengah lautan, diiringi lambaian jutaan tangan. Ada secercah harapan, mudah-mudahan nurani yang telah lama hilang itu dapat ditemukan, lalu berhasil dibawa kembali untuk difungsikan sebagaimana mestinya.

Hingga tulisan ini disusun, belum ada kabar berita, bagaimana keadaan dan nasib kapal tersebut. Sebab, setelah beberapa saat tarik jangkar, tiba-tiba langit yang cerah berubah menjadi mendung, dipenuhi mega yang akan menurunkan hujan. Kalau tidak hari ini, mungkin esok lusa akan turun mengguyur bumi, lalu berubah menjadi banjir besar, yang tidak mustahil akan menghanyutkan pasar, rumah sakit, sekolah, bank dan bursa efek, bahkan istana.

Jadi, sebaiknya Anda bersiap-siap saja: sedia perahu sebelum hujan.*** (Tatang Sumarsono)